You’ve got me from hello
Santhy agatha
Okey sengaja mimin share sekarang, biar cepet ending~
NO COPAST
KALO PENGEN COPAS IZIN DULU
TYPO?SORRY
Okey, ini mimin share pertama seminggu trus ini 2 hari
sekali, sekali share 2 warna(?)
Happy reading...
“Ucapan
‘Halo’ di saat pertama kali bertemu mungkin saja akan berubah menjadi ucapan
‘aku cinta padamu’ di saat berikutnya.”
1
Apartemennya masih berantakan, dia belum sempat
merapikan pakaian dan beberapa barang pribadi yang baru dibelinya, sebuah
televisi dan dispenser kecil. Untunglah apartemen ini sudah menyediakan
perabotan dasar seperti tempat tidur, sofa, dan dapur. Shilla memutar bola
matanya ketika menatap dapur itu. Dia mungkin butuh berkunjung ke supermarket
terdekat, mengisi bahan makanan di kulkas dan membeli beberapa peralatan
memasak.
Tubuhnya lelah setelah perjalanan yang panjang dan
dilanjutkan dengan mengurus surat-surat kontrak apartemennya, Angel, editornya
yang kebetulan tinggal di kota ini sudah berbaik hati membantu mencarikan
apartemen yang siap pakai untuknya. Ya, Shilla memang berangkat ke sini karena
usul dari Angel. Selain sebagai editornya, Angel adalah sahabatnya, meskipun
mereka kebanyakan berkorespondensi melalui email semata. Jadi, begitu Shilla
menceritakan pengkhianatan Raka dan rasa sakitnya, Angel mengusulkan agar
Shilla pindah sementara ke kotanya sampai hatinya tenang.
Dia hanya berpamitan kepada kedua orangtuanya, dan
tidak mengatakan kepergiannya kepada siapapun. Tetapi lambat laun Raka pasti
akan mengetahuinya juga. Shilla mendesah pahit. Sekarang ingatannya akan Raka
dipenuhi rasa muak dan sakit hati.
Ah ya ampun. Lelaki. Shilla tidak akan pernah percaya
lagi kepada lelaki. Mereka semua adalah mahluk lemah yang tidak tahan godaan.
Ponselnya berkedip-kedip
dan Shilla mengernyit, dia mengangkatnya ketika melihat nama Angel tertera di
layarnya.
“Halo?”
“Aku sudah sampai rumah dan baru teringat.” Angel
berkata, “Naskah bab tujuhmu sudah selesai dikoreksi. Ada beberapa catatan kecil
di sana, mungkin kau ingin melihatnya.”
“Aku akan melihatnya nanti.” Gumam Shilla lemah. Ia
menyandarkan tubuhnya di sofa, “Saat ini aku lelah sekali.”
“Istirahatlah dulu. Kau tidak akan bisa menyelesaikan
tulisanmu kalau kau sakit.”
“Kenapa kau memikirkan tulisanku? Bukan aku?” Shilla
tersenyum
“Karena sudah mendekati deadline dan kau baru
sampai di bab tujuh, Shilla. Novelmu banyak ditunggu-tunggu oleh penggemarmu,
penerbit sudah mengejarku untuk kepastian penyelesaian novelmu.” Angel
tergelak, “Tetapi bukan berarti aku tidak mempedulikanmu, sebagai sahabat aku
mencemaskanmu. Jangan banyak pikiran ya. Lepaskan semuanya dan biarkan hatimu
tenang.”
Mata Shilla berkaca-kaca. Menyadari bahwa hatinya sama
sekali tidak tenang, “Terima kasih Angel.” Gumamnya serak sebelum menutup
pembicaraan.
Matanya nyalang menatap langit-langit kamar. Mencoba melupakan rasa yang
menyesakkan dada. Dia tidak akan bisa tidur malam ini, sambil menghela napas
panjang, Shilla meraih jaketnya dan melangkah keluar dari apartemennya.
⧫⧫⧫
Setelah berjalan tanpa tujuan di sekitar kompleks
apartemennya yang cukup ramai karena terletak di area pusat perbelanjaan,
Shilla begitu saja memasuki cafe itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh
malam, tetapi suasana tetap saja ramai.
Cafe itu terletak di pinggir jalan, di area yang
dipadati pejalan kaki yang lalu lalang. Suasananya sangat sejuk dan
menyenangkan, karena dipenuhi oleh tanaman hijau yang ditata dengan indahnya,
dengan dinding-dinding dari kaca yang memantulkan lampu jalan. Cafe itu buka
duapuluh empat jam. Dan Shilla langsung menemukan tempat yang cocok untuk duduk
dan menulis. Dia duduk di sebuah sudut yang nyaman dan membuka buku menu yang
ada di meja. Suasana cafe cukup ramai meskipun sudah malam, seakan-akan
kehidupan terus berjalan di dalam sini.
Pada saat yang sama seorang pelayan, pria setengah
baya mendekatinya dan tersenyum ramah kepadanya,
“Selamat malam, apakah anda ingin memesan sesuatu?”
Shilla mendongak menatap wajah yang ramah itu dan
tersenyum, “Saya ingin steak yang ada di menu ini.” Ditunjuknya gambar yang
menggiurkan di buku menu itu, lalu mengernyit bingung ketika akan memesan
minuman. “Segelas anggur merah akan
membuat tidur anda nyenyak.” Pelayan itu memberi saran dengan ramah.
Shilla menatap pelayan itu ragu bertanya-tanya kenapa
pelayan itu bisa mengetahui bahwa dia sudah tidur... Jangan-jangan matanya
sudah seperti panda? Dengan malu Shilla menundukkan kepalanya dan kembali
menekuri daftar menu, tergoda. Dia bukan peminum, meskipun di acara-acara pesta
dia tidak menolak segelas champagne atau coctail manis sebagai
bentuk kesopanan. Tetapi kata-kata pelayan itu tampak menggiurkan. Sudah
beberapa hari sejak kejadian Raka, Shilla tidak bisa tidur, menghabiskan
waktunya dengan menatap nyalang langit-langit kamar, dan diakhiri dengan
menangis sesenggukan.
Dia butuh tidur, kalau tidak dia akan sakit.
“Baiklah, saya pesan itu juga.” Jawab Shilla pelan,
lalu menatap pelayan yang membungkukkan tubuhnya dengan sopan dan melangkah
pergi.
Segelas anggur merah tidak akan membuatnya mabuk.
Shilla membuka laptopnya dan mulai menulis, tetapi baru beberapa detik
dia mendesah. Novel yang ditulisnya adalah kisah romansa antara dua anak
manusia yang saling mencintai. Shilla dulu sangat lancar menulis novel
percintaan, kata-kata akan mengalir mudah dari jari-jarinya, membentuk
rangkaian huruf yang membuaikan pembacanya. Tetapi sekarang, setiap dia akan
menulis kisah cinta, hatinya mencemooh. Ingatan akan Raka menyerbunya, membuat
jemarinya kaku dan tidak bisa mengetikkan kisah romantis apapun. Ternyata
menulis itu dipengaruhi oleh hati. Ketika dia patah hati, jemarinya menolak
untuk menuliskan kisah cinta yang menyentuh hati. Jiwanya tidak percaya akan
keindahan romansa, semua terasa palsu baginya sejak pengkhianatan Raka
kepadanya.
“Biasanya kalau aku susah mendapatkan inspirasi aku
akan mendengarkan musik.”
Suara yang maskulin itu mengejutkan Shilla dari
lamunannya, dia mendongakkan kepalanya dan langsung bertatapan dengan sosok
tampan yang begitu mendominasi ruangan, dengan pakaian serba hitam dan wajah
klasik yang misterius.
Shilla mengernyitkan keningnya, menoleh ke belakangnya,
tidak ada orang lain di dekatnya. Jadi memang benar lelaki ini sedang
menyapanya. Dia tidak mengenal lelaki ini, bagaimana lelaki ini bisa mengetahui
bahwa dia sedang menulis?
“Para penulis biasanya datang ke cafe ini di malam
hari, memenuhi setiap sudutnya dan berusaha mencari inspirasi.” Lelaki itu
tersenyum, “Maafkan aku tidak sopan menyapamu begitu saja.” Dia mengulurkan
tangannya, “Halo, Aku pemilik cafe ini, namaku Cakka.”
Shilla tetap ragu, meskipun begitu, demi kesopanan dia
menyambut uluran tangan lelaki itu,
“Halo juga....” Shilla masih bingung harus berkata
apa, “Aku Shilla.” Gumamnya pelan. Masih terpukau atas senyum ramah dan ketampanan
lelaki di depannya itu.
“Oke kalau begitu, aku harap kau tidak bosan
berkunjung kemari.” Lelaki itu menganggukkan kepalanya lalu melangkah pergi.
Shilla masih
terdiam, mengamati kepergian lelaki itu. Mungkin sudah budaya di cafe ini untuk
ramah kepada para pelanggannya, pikirnya dalam hati.
Lelaki itu
tampak baik, ramah, dan sopan.... tetapi kemudian ingatan akan Raka
menyerangnya dan membuatnya merasa pahit. Semua laki-laki sama di dunia ini,
meskipun yang berpenampilan paling sempurna sekalipun.
Shilla mencoba memfokuskan diri kepada tulisannya,
berusaha mengenyahkan pikiran tentang lelaki tampan itu dari benaknya ketika
pelayan datang mengantarkan steak pesanannya. Piring berisi daging beraroma
harum dan menggiurkan yang diletakkan di depannya,
“Dan ini anggurnya.” Pelayan setengah baya itu
tersenyum ramah, “Anda tahu, daging steak sangat cocok dinikmati dengan anggur
merah.”
Ketika pelayan itu pergi, Shilla menyentuh gelas
anggurnya dengan ragu. Lalu setelah menghela napas panjang dia menghirup
aromanya pelan. Aroma anggur yang manis menguar dari sana, menggoda Shilla
untuk menyesap anggur itu, disesapnya anggur itu dan mendesah nikmat.
Ada manis yang kental bercampur rasa pekat alkhohol
yang pas, tidak berlebih. Ini adalah jenis anggur yang bisa dinikmati di kala
santai tanpa takut mabuk. Dan Shilla sungguh-sungguh berharap anggur ini
benar-benar berkhasiat untuk membuatnya tidur. Dia sungguh butuh tidur nyenyak
malam ini.
⧫⧫⧫
“Dan dia sangat tampan.” Shilla bercerita kepada Angel
sahabatnya, “Dia juga pemilik cafe yang indah itu.”
Angel mencomot roti bakar di piring Shilla, mereka
sedang menghabiskan minggu pagi di apartemen Shilla. Angel berkunjung untuk
membantu Shilla merapikan tempat barunya,
“Cafe itu
cukup terkenal di kota ini, sangat ramai karena menyediakan semua yang
dibutuhkan. Di pagi hari kau bisa memesan menu sarapan yang lezat. Dan di malam
hari, barnya dibuka sehingga semua orang yang ingin bersantai bisa duduk-duduk
di sana selama mungkin dan menikmati minumannya. Tapi dari ceritamu, pemilik
cafe itu sepertinya masih muda.”
“Masih muda.” Shilla merenung, masih muda dan sangat
tampan batinnya.
“Apakah dia sudah menikah?” tanya Angel tiba-tiba.
Shilla tergelak, “Kenapa aku harus memperhatikan apakah dia sudah
menikah atau belum?’
“Karena kau harus belajar melepaskan diri dari Raka.”
Angel mengedipkan sebelah matanya, “Pemilik cafe itu menyapamu, dan dia masih
muda, siapa tahu dia juga tampan.”
“Dia tampan.” Gumam Shilla akhirnya.
“Nah! Mungkin dengan mencoba membuka lembaran baru kau
bisa menyembuhkan lukamu.”
“Tidak.” Shilla mengernyitkan keningnya dengan pedih,
“Semua lelaki sama, Angel. Mereka selalu bilang bahwa mereka adalah pecinta
sejati. Tetapi di sisi lain mereka mudah berpindah hati.”
“Kau tidak bisa terus-terusan seperti itu, Shilla.
Masih banyak lelaki di luar sana yang berjiwa baik dan setia.” Angel menghela
napas panjang, “Seperti pemilik cafe yang tampan itu. Dia tampaknya baik, dan
dia menyapamu, berarti dia ada perhatian kepadamu.”
“Tidak.” Shilla menggelengkan kepalanya sambil terkekeh, “Mungkin itu
memang sudah menjadi ciri khas cafe itu, bersahabat dengan pelanggannya, bahkan
pelayannya pun ramah-ramah.” Tatapan mata Shilla lalu berubah serius, “Aku
tidak ingin membuka hatiku untuk lelaki manapun, Angel. Aku sudah dikecewakan
dan bagiku semua lelaki itu sama, mereka adalah pengkhianat.”
Shilla meyakini kata-katanya. Pengalamannya dengan
Raka sudah membuktikan semuanya. Dia tidak akan pernah percaya kepada laki-laki
lagi, apalagi lelaki yang luar biasa tampannya seperti pemilik cafe itu
kemarin. Lelaki setampan itu pastilah pemain perempuan. Karena dengan
ketampanannya dia bisa mendapatkan banyak perempuan yang dengan sukarela mau
bertekuk lutut di bawah kakinya.
⧫⧫⧫
Tetapi malam itu Shilla tidak bisa tidur lagi, dia
sudah mencoba berbaring tetapi hanya berguling bolak-balik di atas ranjang.
Akhirnya dia memutuskan untuk berjalan keluar. Waktu sudah menunjukkan pukul
sembilan malam, tetapi kawasan tempat tinggalnya cukup aman dan ramai untuk
keluar di malam hari.
Lagipula cafe itu terletak begitu dekat, hanya di
seberang kompleks apartemennya....
Tanpa terasa Shilla sudah berjalan ke sana, memasuki
cafe itu. Pelayan setengah baya yang sama yang menyambutnya,
“Segelas anggur lagi untuk teman makan malam?” Lelaki
itu menyapa dengan ramah ketika Shilla duduk di pojok yang rindang dengan
dekorasi taman yang menyejukkan.
Shilla tersenyum, “Tidak, malam ini aku ingin kopi.”
“Apakah anda akan begadang untuk menyelesaikan
pekerjaan anda?” pelayan itu melirik ke arah laptop yang diletakkan Shilla di
mejanya.
Shila terkekeh, “Aku seorang penulis dan aku dikejar deadline.”
“Penulis?” Pelayan itu tampak tertarik, “Penulis
novel?”
Shilla menganggukkan kepalanya, “Ya. Novel percintaan.”
“Ah.” Pelayan itu tersenyum penuh arti, “Saya sudah
menduganya, itu sesuai dengan penampilan anda yang lembut.”
“Terima kasih atas pujiannya.” Gumam Shilla sambil
tertawa. Ia mulai membuka laptopnya di atas meja itu, “Mungkin aku akan di sini
sampai pagi.”
“Anda tidak tidur?”
“Pekerjaanku kan penulis, aku bisa begadang semalaman
dan tidur besok pagi.” Shilla tergelak, “Semoga di sini diperbolehkan duduk
sampai malam.”
“Tentu saja.” Pelayan itu mengedipkan sebelah matanya,
“Asal anda terus mengisi cangkir kopi anda setiap dua jam, anda boleh duduk di
sini selamanya.” Candanya sambil tertawa, “Saya akan mengambilkan pesanan anda.
Dan karena sepertinya anda akan menjadi pelanggan kami, anda boleh memanggil
saya Albert.”
Shilla tersenyum menanggapi keramahan pelayan itu,
“Terima kasih, Albert.” Gumamnya lembut.
⧫⧫⧫
Hampir pukul tiga pagi dan Shilla masih menulis di
sudut yang sama, dia sedang menulis adegan sedih, perpisahan antara kedua
tokohnya karena kesalahpahaman. Dan itu sesuai dengan perasaannya sekarang,
karena itulah jemarinya mengalir lancar.
Tiba-tiba ponselnya berkedip-kedip, membuatnya
mengernyitkan kening.
Siapa yang meneleponnya pagi-pagi begini?
Diambilnya ponselnya dan wajahnya memucat ketika melihat nama yang
tertera di sana.
Raka...
Shilla tanpa henti, begitu mengganggunya. Sani
mendesah kesal, mood menulisnya langsung hilang begitu saja melihat nama Raka
di layar itu.
Dan meskipun dia sudah berusaha mengabaikannya, ponsel
itu terus menerus bergetar tak tahu malu. Seolah Raka tidak akan menyerah
sebelum dia mengangkatnya.
Akhirnya setelah menghela napas panjang, Shilla
mengangkat ponsel itu.
“Ada apa Raka?” gumamnya kesal.
“Shilla, akhirnya.” Suara Raka terdengar lega di
seberang sana, “Aku datang ke rumahmu dan orangtuamu bilang bahwa kau pergi
keluar kota. Kau kemana?”
“Sudah bukan urusanmu lagi kan?” jawab Shilla dingin.
“Astaga Shilla. Sebegitu kejamnyakah kau padaku?
Apakah kau pergi meninggalkan kota ini gara-gara aku?”
Kenapa pula Raka harus bertanya? Tentu saja Shilla
melakukannya karena Raka. Dia sudah muak bahkan untuk mengetahui bahwa dia
menghirup udara yang sama dengan laki-laki itu, karena itulah dia pindah.
“Aku rasa apapun alasanku adalah urusanku.” Shilla
bergumam, “Dan aku harap kau tidak menggangguku lagi.”
“Shilla... sayang... dengarkan aku... kau pindah
kemana sayang? Orangtuamu tidak mau memberitahukan kepadaku, dan aku
mencemaskanmu.”
“Aku baik-baik saja.” Shilla menguatkan hatinya,
merasakan matanya berkaca-kaca, lalu langsung mematikan ponselnya.
Dia terpekur cukup lama di depan laptopnya, menatap
hampa kepada tulisannya yang masih setengah jadi. Saat ini yang dia lakukan
adalah membuat kisah tragedi, dengan akhir yang tragis dan memilukan untuk
tokoh-tokohnya, kisah menyedihkan yang sama seperti yang sekarang dia alami.
⧫⧫⧫
Cakka memperhatikan Shilladari dalam ruang kerjanya.
Tentu saja Shilla tidak menyadarinya, ruang kerja Cakka terletak di lantai dua,
di atas tangga dengan kaca yang gelap yang didesain satu arah. Di mana Cakka
bisa dengan leluasa mengawasi seluruh bagian cafe miliknya dan orang dari luar
tidak akan bisa melihat menembus ke dalam.
Cakka tidak pernah merasakan ketertarikan seperti ini
pada perempuan manapun. Tetapi semalam, ketika kebetulan dia sedang berdiri di
tempat ini, tempat yang sama, mengawasi cafenya, dia melihat perempuan itu
masuk. Ia menatap keraguan perempuan itu, dan entah kenapa ada sesuatu yang
mendorongnya untuk mendekati perempuan itu.
Padahal penampilan perempuan itu sederhana, dia
mengenakan rok panjang dan kemeja warna polos yang membungkus tubuhnya yang
mungil. Tidak ada yang istimewa dan heboh dari penampilannya, rambutnya
dikuncir kuda sekenanya, dan perempuan itu tidak berdandan. Tetapi Cakka tetap
saja tidak bisa melepaskan pandangannya dari perempuan itu.
Bahkan kemudian dia tidak bisa menahan diri untuk
menyapa perempuan ini, ingin melihat lebih dekat. Cakka tidak pernah
menampakkan dirinya di depan pelanggan. Dia selalu bersembunyi di balik dinding
kaca gelap yang misterius, hanya Albertlah yang dipercayanya sebagai tangan kanannya.
Cakka memiliki jaringan cafe dan hotel di seluruh kota ini, tetapi Garden Cafe
adalah favoritnya. Tempat inilah satu-satunya dari seluruh tempat yang
dimilikinya yang membuatnya merasa nyaman.
Dan
kemudian dia menemukan perempuan ini, perempuan yang langsung merenggut
hatinya. Ketika berucap “halo” dan menyambut uluran tangannya, lalu
mengatakan namanya. Shilla... Cakka mencatat nama itu dengan penuh
rahasia, jauh di dalam hatinya yang kelam.
To Be Continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar