Jumat, 02 Mei 2014

You've Got Me From Hello 1 -cakshill stories-


You’ve got me from hello
Santhy agatha










Okey sengaja mimin share sekarang, biar cepet ending~










NO COPAST
KALO PENGEN COPAS IZIN DULU
TYPO?SORRY










Okey, ini mimin share pertama seminggu trus ini 2 hari sekali, sekali share 2 warna(?)










Happy reading...









“Ucapan ‘Halo’ di saat pertama kali bertemu mungkin saja akan berubah menjadi ucapan ‘aku cinta padamu’ di saat berikutnya.”

1
                                                                                              
Apartemennya masih berantakan, dia belum sempat merapikan pakaian dan beberapa barang pribadi yang baru dibelinya, sebuah televisi dan dispenser kecil. Untunglah apartemen ini sudah menyediakan perabotan dasar seperti tempat tidur, sofa, dan dapur. Shilla memutar bola matanya ketika menatap dapur itu. Dia mungkin butuh berkunjung ke supermarket terdekat, mengisi bahan makanan di kulkas dan membeli beberapa peralatan memasak.
Tubuhnya lelah setelah perjalanan yang panjang dan dilanjutkan dengan mengurus surat-surat kontrak apartemennya, Angel, editornya yang kebetulan tinggal di kota ini sudah berbaik hati membantu mencarikan apartemen yang siap pakai untuknya. Ya, Shilla memang berangkat ke sini karena usul dari Angel. Selain sebagai editornya, Angel adalah sahabatnya, meskipun mereka kebanyakan berkorespondensi melalui email semata. Jadi, begitu Shilla menceritakan pengkhianatan Raka dan rasa sakitnya, Angel mengusulkan agar Shilla pindah sementara ke kotanya sampai hatinya tenang.
Dia hanya berpamitan kepada kedua orangtuanya, dan tidak mengatakan kepergiannya kepada siapapun. Tetapi lambat laun Raka pasti akan mengetahuinya juga. Shilla mendesah pahit. Sekarang ingatannya akan Raka dipenuhi rasa muak dan sakit hati.
Ah ya ampun. Lelaki. Shilla tidak akan pernah percaya lagi kepada lelaki. Mereka semua adalah mahluk lemah yang tidak tahan godaan.
Ponselnya berkedip-kedip dan Shilla mengernyit, dia mengangkatnya ketika melihat nama Angel tertera di layarnya.
“Halo?”
“Aku sudah sampai rumah dan baru teringat.” Angel berkata, “Naskah bab tujuhmu sudah selesai dikoreksi. Ada beberapa catatan kecil di sana, mungkin kau ingin melihatnya.”
“Aku akan melihatnya nanti.” Gumam Shilla lemah. Ia menyandarkan tubuhnya di sofa, “Saat ini aku lelah sekali.”
“Istirahatlah dulu. Kau tidak akan bisa menyelesaikan tulisanmu kalau kau sakit.”
“Kenapa kau memikirkan tulisanku? Bukan aku?” Shilla tersenyum
“Karena sudah mendekati deadline dan kau baru sampai di bab tujuh, Shilla. Novelmu banyak ditunggu-tunggu oleh penggemarmu, penerbit sudah mengejarku untuk kepastian penyelesaian novelmu.” Angel tergelak, “Tetapi bukan berarti aku tidak mempedulikanmu, sebagai sahabat aku mencemaskanmu. Jangan banyak pikiran ya. Lepaskan semuanya dan biarkan hatimu tenang.”
Mata Shilla berkaca-kaca. Menyadari bahwa hatinya sama sekali tidak tenang, “Terima kasih Angel.” Gumamnya serak sebelum menutup pembicaraan.
Matanya nyalang menatap langit-langit kamar. Mencoba melupakan rasa yang menyesakkan dada. Dia tidak akan bisa tidur malam ini, sambil menghela napas panjang, Shilla meraih jaketnya dan melangkah keluar dari apartemennya.
⧫⧫⧫
Setelah berjalan tanpa tujuan di sekitar kompleks apartemennya yang cukup ramai karena terletak di area pusat perbelanjaan, Shilla begitu saja memasuki cafe itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi suasana tetap saja ramai.
Cafe itu terletak di pinggir jalan, di area yang dipadati pejalan kaki yang lalu lalang. Suasananya sangat sejuk dan menyenangkan, karena dipenuhi oleh tanaman hijau yang ditata dengan indahnya, dengan dinding-dinding dari kaca yang memantulkan lampu jalan. Cafe itu buka duapuluh empat jam. Dan Shilla langsung menemukan tempat yang cocok untuk duduk dan menulis. Dia duduk di sebuah sudut yang nyaman dan membuka buku menu yang ada di meja. Suasana cafe cukup ramai meskipun sudah malam, seakan-akan kehidupan terus berjalan di dalam sini.
Pada saat yang sama seorang pelayan, pria setengah baya mendekatinya dan tersenyum ramah kepadanya,
“Selamat malam, apakah anda ingin memesan sesuatu?”
Shilla mendongak menatap wajah yang ramah itu dan tersenyum, “Saya ingin steak yang ada di menu ini.” Ditunjuknya gambar yang menggiurkan di buku menu itu, lalu mengernyit bingung ketika akan memesan minuman.  “Segelas anggur merah akan membuat tidur anda nyenyak.” Pelayan itu memberi saran dengan ramah.
Shilla menatap pelayan itu ragu bertanya-tanya kenapa pelayan itu bisa mengetahui bahwa dia sudah tidur... Jangan-jangan matanya sudah seperti panda? Dengan malu Shilla menundukkan kepalanya dan kembali menekuri daftar menu, tergoda. Dia bukan peminum, meskipun di acara-acara pesta dia tidak menolak segelas champagne atau coctail manis sebagai bentuk kesopanan. Tetapi kata-kata pelayan itu tampak menggiurkan. Sudah beberapa hari sejak kejadian Raka, Shilla tidak bisa tidur, menghabiskan waktunya dengan menatap nyalang langit-langit kamar, dan diakhiri dengan menangis sesenggukan.
Dia butuh tidur, kalau tidak dia akan sakit.
“Baiklah, saya pesan itu juga.” Jawab Shilla pelan, lalu menatap pelayan yang membungkukkan tubuhnya dengan sopan dan melangkah pergi.
Segelas anggur merah tidak akan membuatnya mabuk.
Shilla membuka laptopnya dan mulai menulis, tetapi baru beberapa detik dia mendesah. Novel yang ditulisnya adalah kisah romansa antara dua anak manusia yang saling mencintai. Shilla dulu sangat lancar menulis novel percintaan, kata-kata akan mengalir mudah dari jari-jarinya, membentuk rangkaian huruf yang membuaikan pembacanya. Tetapi sekarang, setiap dia akan menulis kisah cinta, hatinya mencemooh. Ingatan akan Raka menyerbunya, membuat jemarinya kaku dan tidak bisa mengetikkan kisah romantis apapun. Ternyata menulis itu dipengaruhi oleh hati. Ketika dia patah hati, jemarinya menolak untuk menuliskan kisah cinta yang menyentuh hati. Jiwanya tidak percaya akan keindahan romansa, semua terasa palsu baginya sejak pengkhianatan Raka kepadanya.
“Biasanya kalau aku susah mendapatkan inspirasi aku akan mendengarkan musik.”
Suara yang maskulin itu mengejutkan Shilla dari lamunannya, dia mendongakkan kepalanya dan langsung bertatapan dengan sosok tampan yang begitu mendominasi ruangan, dengan pakaian serba hitam dan wajah klasik yang misterius.
Shilla mengernyitkan keningnya, menoleh ke belakangnya, tidak ada orang lain di dekatnya. Jadi memang benar lelaki ini sedang menyapanya. Dia tidak mengenal lelaki ini, bagaimana lelaki ini bisa mengetahui bahwa dia sedang menulis?
“Para penulis biasanya datang ke cafe ini di malam hari, memenuhi setiap sudutnya dan berusaha mencari inspirasi.” Lelaki itu tersenyum, “Maafkan aku tidak sopan menyapamu begitu saja.” Dia mengulurkan tangannya, “Halo, Aku pemilik cafe ini, namaku Cakka.”
Shilla tetap ragu, meskipun begitu, demi kesopanan dia menyambut uluran tangan lelaki itu,
“Halo juga....” Shilla masih bingung harus berkata apa, “Aku Shilla.” Gumamnya pelan. Masih terpukau atas senyum ramah dan ketampanan lelaki di depannya itu.
“Oke kalau begitu, aku harap kau tidak bosan berkunjung kemari.” Lelaki itu menganggukkan kepalanya lalu melangkah pergi.
Shilla masih terdiam, mengamati kepergian lelaki itu. Mungkin sudah budaya di cafe ini untuk ramah kepada para pelanggannya, pikirnya dalam hati.
Lelaki itu tampak baik, ramah, dan sopan.... tetapi kemudian ingatan akan Raka menyerangnya dan membuatnya merasa pahit. Semua laki-laki sama di dunia ini, meskipun yang berpenampilan paling sempurna sekalipun.
Shilla mencoba memfokuskan diri kepada tulisannya, berusaha mengenyahkan pikiran tentang lelaki tampan itu dari benaknya ketika pelayan datang mengantarkan steak pesanannya. Piring berisi daging beraroma harum dan menggiurkan yang diletakkan di depannya,
“Dan ini anggurnya.” Pelayan setengah baya itu tersenyum ramah, “Anda tahu, daging steak sangat cocok dinikmati dengan anggur merah.”
Ketika pelayan itu pergi, Shilla menyentuh gelas anggurnya dengan ragu. Lalu setelah menghela napas panjang dia menghirup aromanya pelan. Aroma anggur yang manis menguar dari sana, menggoda Shilla untuk menyesap anggur itu, disesapnya anggur itu dan mendesah nikmat.
Ada manis yang kental bercampur rasa pekat alkhohol yang pas, tidak berlebih. Ini adalah jenis anggur yang bisa dinikmati di kala santai tanpa takut mabuk. Dan Shilla sungguh-sungguh berharap anggur ini benar-benar berkhasiat untuk membuatnya tidur. Dia sungguh butuh tidur nyenyak malam ini.
⧫⧫⧫
“Dan dia sangat tampan.” Shilla bercerita kepada Angel sahabatnya, “Dia juga pemilik cafe yang indah itu.”
Angel mencomot roti bakar di piring Shilla, mereka sedang menghabiskan minggu pagi di apartemen Shilla. Angel berkunjung untuk membantu Shilla merapikan tempat barunya,
“Cafe itu cukup terkenal di kota ini, sangat ramai karena menyediakan semua yang dibutuhkan. Di pagi hari kau bisa memesan menu sarapan yang lezat. Dan di malam hari, barnya dibuka sehingga semua orang yang ingin bersantai bisa duduk-duduk di sana selama mungkin dan menikmati minumannya. Tapi dari ceritamu, pemilik cafe itu sepertinya masih muda.”
“Masih muda.” Shilla merenung, masih muda dan sangat tampan batinnya.
“Apakah dia sudah menikah?” tanya Angel tiba-tiba.
Shilla tergelak, “Kenapa aku harus memperhatikan apakah dia sudah menikah atau belum?’
“Karena kau harus belajar melepaskan diri dari Raka.” Angel mengedipkan sebelah matanya, “Pemilik cafe itu menyapamu, dan dia masih muda, siapa tahu dia juga tampan.”
“Dia tampan.” Gumam Shilla akhirnya.
“Nah! Mungkin dengan mencoba membuka lembaran baru kau bisa menyembuhkan lukamu.”
“Tidak.” Shilla mengernyitkan keningnya dengan pedih, “Semua lelaki sama, Angel. Mereka selalu bilang bahwa mereka adalah pecinta sejati. Tetapi di sisi lain mereka mudah berpindah hati.”
“Kau tidak bisa terus-terusan seperti itu, Shilla. Masih banyak lelaki di luar sana yang berjiwa baik dan setia.” Angel menghela napas panjang, “Seperti pemilik cafe yang tampan itu. Dia tampaknya baik, dan dia menyapamu, berarti dia ada perhatian kepadamu.”
“Tidak.” Shilla menggelengkan kepalanya sambil terkekeh, “Mungkin itu memang sudah menjadi ciri khas cafe itu, bersahabat dengan pelanggannya, bahkan pelayannya pun ramah-ramah.” Tatapan mata Shilla lalu berubah serius, “Aku tidak ingin membuka hatiku untuk lelaki manapun, Angel. Aku sudah dikecewakan dan bagiku semua lelaki itu sama, mereka adalah pengkhianat.”
Shilla meyakini kata-katanya. Pengalamannya dengan Raka sudah membuktikan semuanya. Dia tidak akan pernah percaya kepada laki-laki lagi, apalagi lelaki yang luar biasa tampannya seperti pemilik cafe itu kemarin. Lelaki setampan itu pastilah pemain perempuan. Karena dengan ketampanannya dia bisa mendapatkan banyak perempuan yang dengan sukarela mau bertekuk lutut di bawah kakinya.
⧫⧫⧫
Tetapi malam itu Shilla tidak bisa tidur lagi, dia sudah mencoba berbaring tetapi hanya berguling bolak-balik di atas ranjang. Akhirnya dia memutuskan untuk berjalan keluar. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi kawasan tempat tinggalnya cukup aman dan ramai untuk keluar di malam hari.
Lagipula cafe itu terletak begitu dekat, hanya di seberang kompleks apartemennya....
Tanpa terasa Shilla sudah berjalan ke sana, memasuki cafe itu. Pelayan setengah baya yang sama yang menyambutnya,
“Segelas anggur lagi untuk teman makan malam?” Lelaki itu menyapa dengan ramah ketika Shilla duduk di pojok yang rindang dengan dekorasi taman yang menyejukkan.
Shilla tersenyum, “Tidak, malam ini aku ingin kopi.”
“Apakah anda akan begadang untuk menyelesaikan pekerjaan anda?” pelayan itu melirik ke arah laptop yang diletakkan Shilla di mejanya.
Shila terkekeh, “Aku seorang penulis dan aku dikejar deadline.”
“Penulis?” Pelayan itu tampak tertarik, “Penulis novel?”
Shilla menganggukkan kepalanya, “Ya. Novel percintaan.”
“Ah.” Pelayan itu tersenyum penuh arti, “Saya sudah menduganya, itu sesuai dengan penampilan anda yang lembut.”
“Terima kasih atas pujiannya.” Gumam Shilla sambil tertawa. Ia mulai membuka laptopnya di atas meja itu, “Mungkin aku akan di sini sampai pagi.”
“Anda tidak tidur?”
“Pekerjaanku kan penulis, aku bisa begadang semalaman dan tidur besok pagi.” Shilla tergelak, “Semoga di sini diperbolehkan duduk sampai malam.”
“Tentu saja.” Pelayan itu mengedipkan sebelah matanya, “Asal anda terus mengisi cangkir kopi anda setiap dua jam, anda boleh duduk di sini selamanya.” Candanya sambil tertawa, “Saya akan mengambilkan pesanan anda. Dan karena sepertinya anda akan menjadi pelanggan kami, anda boleh memanggil saya Albert.”
Shilla tersenyum menanggapi keramahan pelayan itu, “Terima kasih, Albert.” Gumamnya lembut.
⧫⧫⧫
Hampir pukul tiga pagi dan Shilla masih menulis di sudut yang sama, dia sedang menulis adegan sedih, perpisahan antara kedua tokohnya karena kesalahpahaman. Dan itu sesuai dengan perasaannya sekarang, karena itulah jemarinya mengalir lancar.
Tiba-tiba ponselnya berkedip-kedip, membuatnya mengernyitkan kening.
Siapa yang meneleponnya pagi-pagi begini?
Diambilnya ponselnya dan wajahnya memucat ketika melihat nama yang tertera di sana.
Raka...
Shilla tanpa henti, begitu mengganggunya. Sani mendesah kesal, mood menulisnya langsung hilang begitu saja melihat nama Raka di layar itu.
Dan meskipun dia sudah berusaha mengabaikannya, ponsel itu terus menerus bergetar tak tahu malu. Seolah Raka tidak akan menyerah sebelum dia mengangkatnya.
Akhirnya setelah menghela napas panjang, Shilla mengangkat ponsel itu.
“Ada apa Raka?” gumamnya kesal.
“Shilla, akhirnya.” Suara Raka terdengar lega di seberang sana, “Aku datang ke rumahmu dan orangtuamu bilang bahwa kau pergi keluar kota. Kau kemana?”
“Sudah bukan urusanmu lagi kan?” jawab Shilla dingin.
“Astaga Shilla. Sebegitu kejamnyakah kau padaku? Apakah kau pergi meninggalkan kota ini gara-gara aku?”
Kenapa pula Raka harus bertanya? Tentu saja Shilla melakukannya karena Raka. Dia sudah muak bahkan untuk mengetahui bahwa dia menghirup udara yang sama dengan laki-laki itu, karena itulah dia pindah.
“Aku rasa apapun alasanku adalah urusanku.” Shilla bergumam, “Dan aku harap kau tidak menggangguku lagi.”
“Shilla... sayang... dengarkan aku... kau pindah kemana sayang? Orangtuamu tidak mau memberitahukan kepadaku, dan aku mencemaskanmu.”
“Aku baik-baik saja.” Shilla menguatkan hatinya, merasakan matanya berkaca-kaca, lalu langsung mematikan ponselnya.
Dia terpekur cukup lama di depan laptopnya, menatap hampa kepada tulisannya yang masih setengah jadi. Saat ini yang dia lakukan adalah membuat kisah tragedi, dengan akhir yang tragis dan memilukan untuk tokoh-tokohnya, kisah menyedihkan yang sama seperti yang sekarang dia alami.
⧫⧫⧫
Cakka memperhatikan Shilladari dalam ruang kerjanya. Tentu saja Shilla tidak menyadarinya, ruang kerja Cakka terletak di lantai dua, di atas tangga dengan kaca yang gelap yang didesain satu arah. Di mana Cakka bisa dengan leluasa mengawasi seluruh bagian cafe miliknya dan orang dari luar tidak akan bisa melihat menembus ke dalam.
Cakka tidak pernah merasakan ketertarikan seperti ini pada perempuan manapun. Tetapi semalam, ketika kebetulan dia sedang berdiri di tempat ini, tempat yang sama, mengawasi cafenya, dia melihat perempuan itu masuk. Ia menatap keraguan perempuan itu, dan entah kenapa ada sesuatu yang mendorongnya untuk mendekati perempuan itu.
Padahal penampilan perempuan itu sederhana, dia mengenakan rok panjang dan kemeja warna polos yang membungkus tubuhnya yang mungil. Tidak ada yang istimewa dan heboh dari penampilannya, rambutnya dikuncir kuda sekenanya, dan perempuan itu tidak berdandan. Tetapi Cakka tetap saja tidak bisa melepaskan pandangannya dari perempuan itu.
Bahkan kemudian dia tidak bisa menahan diri untuk menyapa perempuan ini, ingin melihat lebih dekat. Cakka tidak pernah menampakkan dirinya di depan pelanggan. Dia selalu bersembunyi di balik dinding kaca gelap yang misterius, hanya Albertlah yang dipercayanya sebagai tangan kanannya. Cakka memiliki jaringan cafe dan hotel di seluruh kota ini, tetapi Garden Cafe adalah favoritnya. Tempat inilah satu-satunya dari seluruh tempat yang dimilikinya yang membuatnya merasa nyaman.
Dan kemudian dia menemukan perempuan ini, perempuan yang langsung merenggut hatinya. Ketika berucap “halo” dan menyambut uluran tangannya, lalu mengatakan namanya. Shilla... Cakka mencatat nama itu dengan penuh rahasia, jauh di dalam hatinya yang kelam.










To Be Continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar