Rabu, 07 Mei 2014

You've Got Me From Hello 4 -cakshill stories-


You’ve Got Me From Hello
Santhy Agatha










NO COPAST!










“Dan aku masih berdiri di sini, menatap punggungmu yang berlalu pergi.”
4
“Alvin?”
“Ya ini aku.” Alvin terkekeh, "apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku mengantar temanku.” Shilla mendongakkan kepalanya, mencoba mencari tetapi Angel sepertinya sudah ditelan keramaian jauh di depannya, “Dan sepertinya dia sudah hilang.” Gumam Shilla, mendesah kesal.
Alvin tertawa, “Begitulah kalau kau berjalan di baazar tahunan. Keadaannya selalu seperti ini setiap tahun, selalu ramai.”
Shilla masih menatap ke arah kepergian Angel. Berharap bahwa sahabat sekaligus editornya itu akhirnya menyadari bahwa mereka terpisah dan kemudian kembali untuk mencarinya.
“Kau sendiri apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya kepada Alvin kemudian ketika menyadari bahwa laki-laki itu tidak berniat untuk pergi.
“Aku?” Alvin tertawa. Lelaki ini benar-benar ceria dan banyak tertawa, jauh berbeda dengan Cakka, Gumam Shilla dalam hati, “Aku lelaki bebas, kudengar di sini ada keramaian jadi aku datang untuk melihat, itu saja.”
“Shilla!” itu teriakan Angel, perempuan itu akhirnya menyadari bahwa dia terpisah jauh dari Shilla. Dia sedang berjuang menembus keramaian untuk menghampiri Shilla  yang sudah menepi bersama Alvin di dekat stan sepatu.
Akhirnya Angel berhasil mendekatinya, napasnya terengah-engah, “Fyuh ramai sekali di sana, kita bahkan tidak bisa menawar dengan nyaman....” Lalu Angel tertegun menyadari lelaki luar biasa tampan yang sedang berdiri bersama Shilla, mulutnya bahkan ternganga.
“Hai.” Alvin tersenyum ramah, sepertinya lelaki itu sudah biasa dipandang dengan tatapan kagum oleh para perempuan, “Aku Alvin, aku kenalan Shilla.” Gumamnya mengulurkan tangannya.
Angel membalas uluran tangan itu seolah terhipnotis, matanya menatap terpesona pada Alvin.
Alvin hanya melemparkan tatapan geli kepada Shilla, lalu melangkah menjauh, “Sepertinya kau sudah menemukan temanmu.” Ditepuknya pundak Shilla dengan akrab, “Lain kali hati-hati ya.” Gumamnya lalu melambaikan tangan dan melangkah pergi.
Mata Angel bahkan terpaku sampai Alvin menghilang dari pandangan matanya.
“Wow...” dia menatap terpesona, lalu menoleh kepada Shilla dengan pandangan menuduh, “Katakan padaku di mana kau menemukan lelaki setampan itu. Dia bilang dia kenalanmu bukan?”
Shilla terkekeh melihat betapa tertariknya Angel kepada Alvin, “Dia saudara kembar pemilik cafe yang kuceritakan kepadamu.”
“Setampan itu dan ada dua orang?” Angel terperangah, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, “Hebat Shilla, aku yang sudah bertahun-tahun di kota ini, belum pernah beruntung menemukan lelaki dengan penampilan fisik dan senyuman sesempurna itu. Dan kau baru beberapa waktu disni, kau sudah berkenalan dengan dua laki-laki tampan.”
Shilla tertawa tergelak, “Ah kau melebih-lebihkan.” Dia menatap cemas ke sekeliling yang mulai ramai, “Kita pulang saja yuk, aku lelah.”
Untunglah Kali ini Angel tidak menolak.
⧫⧫⧫
“Aku bertemu dengan gadis itu.” Alvin baru saja datang berkunjung ke Garden Cafe, dan Cakka menemuinya di apartemennya. Lelaki itu langsung waspada ketika Alvin menyebut tentang ‘gadis itu’.
Dan benar saja, Alvin langsung melemparkan pertanyaan yang sama sekali tidak disukai oleh Cakka.
“Apakah dia alasan kau tidak pernah pulang ke rumahmu lagi dan selalu menginap di sini?”
Cakka memasang wajah keras, “Apa maksudmu?”
“Yah. Kau bertingkah di luar kebiasaanmu, para pelayanmu di rumah bilang kalau kau tidak pernah tidur di sana dan selalu tidur di cafe ini. Dan kau juga menyapa gadis itu.” Alvin mengangkat bahu ketika Cakka melemparkan tatapan tajam kepadanya, “Aku tahu info itu dari gadis itu ketika aku bertabrakan dengannya. Katanya kau menyapanya ketika dia duduk di cafe itu, dia bilang mungkin itu budaya cafe ini, sang pemilik menyapa ramah pelanggannya.” Lirikan Alvin berubah penuh arti, “Tetapi kita tahu bahwa itu tidak benar bukan? Kau selalu menghindari semua pengunjung cafe dan hotelmu seperti mereka adalah hama. Kau selalu bersembunyi di balik sosok pemilik perusahaan yang misterius, kau tidak pernah menyapa pelanggan sebelumnya, gadis itu adalah satu-satunya pelanggan yang kau sapa.”
“Bisakah kau bicara langsung saja dan tidak berputar-putar dengan analisa konyolmu?” Cakka menyela dengan ketus, membuat Alvin terkekeh,
“Yah, kesimpulannya, kau tertarik kepada gadis itu, kepada Shilla.” Alvin menatap Cakka dengan waspada, “Begitu juga aku.”
Kemarahan langsung merayapi mata Cakka, membakarnya, “Jangan Alvin.”
“Mau bagaimana lagi? Kita sepertinya selalu dianugerahi kutukan perasaan yang sama terhadap perempuan. Bagaimana kalau kita lakukan permainan seperti masa remaja kita dulu? Permainan ‘dia pilih kamu atau aku?’, sepertinya itu akan menyenangkan.” Gumam Alvin setengah tertawa.
Tanpa diduganya Cakka bergerak secepat kilat, meraih kerah baju Alvin dan mendorongnya ke tembok dengan mengancam.
“Ini bukan permainan, Alvin dan aku serius, Kalau kau hendak main-main dengan Shilla, kau harus menghadapiku dulu.”
Alvin membiarkan dirinya ditekan oleh Cakka di tembok, dia menatap Cakka dengan penuh perhitungan,
“Apa kau lupa Cakka? Kau sudah punya Kay.”
“Itu tidak menghalangiku untuk memiliki Shilla.” Sahut Cakka keras.
Hal itu membuat Alvin tertawa terbahak-bahak, tidak peduli akan tatapan marah Cakka,
“Tidak menghalangimu katamu?” Alvin melepaskan tangan Cakka yang mencengkeram kerah bajunya dan melangkah menjauh, dia masih tertawa, “Tentu saja itu sangat menghalangi, kau punya tunangan dan kau akan menikah. Atas pilihanmu sendiri karena rasa bertanggungjawabmu yang bodoh itu! Jadi kau tidak bisa menawarkan hubungan apapun, apapun! Kepada Shilla.” Alvin menatap Cakka dengan menantang, “Tetapi aku beda, aku lelaki bebas.”
“Jangan menantangku, Alvin. Kau tahu bukan apa yang akan aku lakukan kalau aku marah.”
“Aku tahu.” Alvin melirik waspada ke arah Cakka, tetapi dia memutuskan untuk tidak mundur, “Tetapi Shilla layak dicoba untuk diperjuangkan.” Alvin melangkah keluar dari apartemen Cakka. Ketika sampai di tengah pintu, Alvin menoleh lagi dan tersenyum manis, “Sepertinya perang akan dimulai, kakak.”
Cakka tertegun, menatap kepergian Alvin. Diacaknya rambutnya dengan frustrasi. Apa yang ditakutannya terjadi lagi, mereka bersaing untuk seorang perempuan.
Seakan beban masalahnya belum cukup berat saja....
⧫⧫⧫
Malam itu Shilla pulang terlambat, dia membahas tentang novelnya di rumah Angel dan mereka lupa waktu. Angel menyuruhnya menginap saja, tetapi Shilla memutuskan bahwa dia harus pulang. Tidur di kamarnya sendiri saja dia kesulitan, apalagi harus tidur di rumah orang. Bagaimanapun juga Shilla merasa lebih nyaman beristirahat di tempatnya sendiri.
Ketika berjalan turun dari taksi dan hendak memasuki pintu putar menuju lobi apartemennya, Shilla melirik ke arah Garden Cafe itu di seberang jalan, sudah dua hari dia tidak kesana. Apa kabarnya Cakka? Pikiran itu terus mengganggunya sepanjang hari ini. Otaknya selalu dipenuhi bayangan lelaki itu yang begitu tampan dan tampak begitu dewasa.
“Shilla?”
Shilla terperanjat kaget mendengar namanya disebut, dia langsung menoleh dengan waspada. Wajahnya pucat pasi ketika menemukan Raka ada di sana. Lelaki itu tampak berantakan dan sedikit tidak fokus.
“Aku menunggumu lama sekali di sini, kau kemana saja?” Nada suara Raka meninggi seolah tidak bisa mengontrol emosinya. Dan ketika Raka melangkah sedikit mendekatinya, dia langsung bisa menciumnya, aroma alkohol yang pekat dan memuakkan. Seolah lelaki itu menghabiskan malamnya dengan meminum alkohol murahan yang menguarkan bau khas.
Shilla langsung merasakan jantungnya berdegup kencang, Raka sedang mabuk. Dan sepertinya dia mabuk berat. Bahkan dalam keadaan sadarpun, Shilla tahu bahwa Raka sering kali tidak bisa mengendalikan emosinya, apalagi dalam keadaan mabuk.
Mata Shilla berkeliling waspada, memandang semua orang. Adakah yang bisa menolongnya di sini? Dia mulai panik ketika menyadari bahwa suasana sekeliling sudah sangat sepi. Hanya ada beberapa pedagang rokok dengan lampu remang, itupun jauh di sudut sana. Shilla  tidak yakin kalau dia berteriak pedagang itu akan mendengarnya.
Mata Shilla melirik ke Garden Cafe di seberang jalan. Cafe itu masih buka tentu saja, meskipun sudah jam dua malam, tetap penuh pengunjung. Tetapi sayangnya para pengunjung itu berada di dalam, sedang dihibur oleh aliran musik slow yang menenangkan hati di sana.
Tidak ada yang bisa menolong Shilla kalau Raka lepas kendali....
“Kenapa kau kemari lagi, Raka.” Tanya Shilla hati-hati, berusaha mundur dan tetap menjaga jarak, meskipun lelaki itu terus mencoba mendekatinya.
“Kenapa?” Raka tertawa, “Karena kau bodoh dan pendendam.” Suaranya meninggi lagi, “Kau membesar-besarkan masalah seolah-olah aku melakukan kesalahan yang sangat besar. Kau menolak memaafkanku dan mengusirku seolah aku ini sampah.” Raka tersenyum sinis, “Mungkin jangan-jangan kau dulu tidak mencintaiku, karena kalau orang yang mencintaiku, tidak akan mungkin dia tidak bisa memaafkanku.”
Oh Astaga, lelaki ini sungguh tidak tahu malu. Membesar-besarkan masalah katanya? Perempuan mana di dunia ini yang bisa memaafkan kelakuan seperti itu dari tunangannya, di saat perkawinan mereka tinggal menghitung bulan?
“Aku rasa lebih baik kau enyah dari kehidupanku Raka. Aku sudah sangat muak kepadamu, dan aku tidak mungkin mau kembali kepadamu.” Shilla terpancing emosi sehingga nada penuh kebencian keluar dari suaranya.
Hal itu memancing Raka, tatapan lelaki itu membara, dipenuhi oleh alkohol yang diminumnya. Dia tiba-tiba saja sudah melompat dan mencengkeram kedua lengan Shilla dengan kasar hingga terasa menyakitkan.
“Tidak mau kembali kepadaku?” Raka terkekeh, suaranya menakutkan dan aroma alkohol kembali menguar dari sana, membuat Shilla ketakutan dan berusaha meronta dengan panik. Tetapi lelaki itu sangat kuat dan semakin Shilla meronta, semakin kuat Raka mencengkeramnya, hingga terasa sakit.
“Sakit! Raka, kau menyakitiku!” Shilla mencoba meronta, mulai menjerit.
Tiba-tiba tubuh Raka tertarik dengan kasar ke belakang sehingga hampir terjengkang. Lengan yang menarik Raka itu lalu mendorong Raka dengan kasar hingga jatuh terbanting di trotoar.
Shilla langsung mengenali penyelamatnya, itu Cakka. Lelaki itu mengenakan pakaian hitam-hitam sehingga membuat Shilla tidak menyadari kapan lelaki itu datang dan mendekat. Tetapi bagaimanapun juga, dia menyukuri kehadiran Cakka di saat yang tepat untuk menyelamatkannya.
“Kau lagi.” Meskipun mabuk, Raka rupanya mengenali Cakka dari insiden siang itu. “Sebenarnya kau ini siapa? Kenapa selalu mengganggu urusanku dengan tunanganku?” Raka bangkit dari duduknya dan berdiri dengan posisi waspada, siap menyerang.
“Mantan tunangan.” Cakka bergumam tenang, tubuhnya lebih tinggi dan lebih kuat daripada Raka. Dan dia memegang sabuk hitam dalam ilmu bela diri, menghadapi Raka akan sangat mudah baginya. “Sebaiknya kau menyingkir dari sini dan tidak mengganggu Shilla lagi, kalau tidak kau akan menghadapiku.”
Raka membelalakkan matanya marah, sejenak tampak berpikir untuk menyerang Cakka. Tetapi kemdian dia memilih mundur ketika melihat nyala membunuh di mata Cakka. Dia akan kalah kalau menghadapi lelaki ini, entah kenapa dia tahu.
Dengan lirikan sinis, dipandangnya Shilla, “Ternyata kau begitu mudah melupakanku, baru beberapa lama kita berpisah dan kau sudah menemukan lelaki baru. Mungkin kau tidak sesuci apa yang kau tampilkan selama ini.” Setelah melemparkan tatapan merendahkan, Raka melangkah setengah terhuyung-huyung ke arah mobilnya.
Cakka memastikan Raka memasuki mobilnya dan pergi sebelum menyentuh pundak Shilla hati-hati. Shilla tampak tegang dan ketakutan meskipun perempuan itu berusaha tegar,
“Kau tidak apa-apa?” tanyanya lembut.
Shilla baru merasakan seluruh tubuhnya gemetar ketika semua sudah berakhir, dia menatap Cakka tak berdaya, “Aku tidak apa-apa.” Jawabnya serak, tetapi kakinya tiba-tiba lemas sehingga Cakka harus menopangnya,
Lelaki itu merangkulnya dengan lembut tapi sopan.
“Ayo kuantar kau ke atas.” Gumamnya tenang, menghela Shilla memasuki lobi apartemen itu dan melangkah ke dalam lift.
Di depan pintu kamarnya, barulah Shilla menyadari kesalahannya. Dia tidak mungkin membiarkan Cakka memasuki apartemennya, sekali lagi dia hampir bisa dikatakan tidak mengenal Cakka dengan baik. Lelaki ini bisa saja psikopat yang mengincar perempuan-perempuan yang tinggal sendirian bukan?
“Aku.. eh, terima kasih..” Shilla bersandar pada pintu. Ia berusaha bersikap sopan dan melepaskan diri dari pegangan Cakka di pinggangnya.
Cakka mengangkat alis melihatnya, “Kau lemas dan gemetar." Gumamnya tenang, “Aku akan mengantarmu masuk.”
“Tidak!” Shilla hampir berteriak dan merasa malu ketika Cakka menatapnya seolah dia sedang kerasukan, “Aku.. aku bisa masuk sendiri, terima kasih.”
Dia mencari-cari kartu kunci pintunya di dalam tas, tetapi tidak bisa menemukannya. Dengan panik dia mengaduk-aduk tasnya. Dan tetap tidak menemukannya.
Cakka masih menunggu di situ, menatap kepanikannya dengan tenang dan tanpa kata-kata.
Lama kemudian Shilla mencari dan kemudian dia mengangkat kepalanya dengan panik, “Kuncinya tidak ada.” Gumamnya lemah dan ingin menangis, “Mungkin.. mungkin ketinggalan di rumah temanku...” airmata mulai membuat matanya terasa panas. Sebenarnya ini bukan masalah yang pelik, Shilla tinggal menghubungi keamanan atau resepsionis di bawah untuk meminta kartu cadangan dan dia akan bisa membuka pintunya.
Shilla hanya perlu alasan untuk menangis, perlakuan kasar dan merendahkan Raka kepadanya tadi sangat melukai hatinya. Dan meskipun di depan dia berusaha tampil tegar, dia masih merasakan luka dan perih itu.
Tanpa kata, Cakka meraih kepalanya dan meletakkannya di dadanya,
“Shh.... menangislah.” Bisiknya lembut dan seketika itu juga benteng pertahanan diri Shilla bobol. Dia menangis sekuatnya, untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Menumpahkan kepedihannya, menumpahkan kemarahan dan kebenciannya kepada semua hal yang terjadi antara dirinya dan Raka. Dia menumpahkan semuanya di dada Cakka, lelaki yang bahkan baru dikenalnya beberapa waktu lalu.
Dengan tenang Cakka mengusap rambutnya, setelah merasa Shilla sedikit tenang, dia menjauhkan pundak Shilla dari pelukannya dan berbisik lembut,
“Sini tasmu, sepertinya kau terlalu panik ketika mencarinya tadi.”
Dengan patuh Shilla menyerahkan tasnya, Cakka mencarinya dengan hati-hati. Dan dalam sekejap dia menemukan kartu kunci itu, terselip di bagian paling bawah tasnya.
Cakka menggenggamkan kartu kunci itu ke dalam jemari Shilla, dan tersenyum lembut,
“Masuklah dan beristirahatlah.” Bisiknya pelan.
Shilla mengusap airmatanya dan menatap Cakka dengan sendu.
“Terima kasih.” Bisiknya serak.
Tanpa diduga, Cakka menarik Shilla kembali ke pelukannya, lalu mengecup dahinya lembut, “Sama-sama.” Lalu lelaki itu membalikkan tubuhnya, meninggalkan Shilla tanpa kata-kata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar