You’ve Got Me From Hello
Santhy
Agatha
NO
COPAST!
“Dan aku masih
berdiri di sini, menatap punggungmu yang berlalu pergi.”
4
“Alvin?”
“Ya ini aku.” Alvin
terkekeh, "apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku mengantar
temanku.” Shilla mendongakkan kepalanya, mencoba mencari tetapi Angel
sepertinya sudah ditelan keramaian jauh di depannya, “Dan sepertinya dia sudah
hilang.” Gumam Shilla, mendesah kesal.
Alvin tertawa, “Begitulah kalau kau berjalan di
baazar tahunan. Keadaannya selalu seperti ini setiap tahun, selalu ramai.”
Shilla masih
menatap ke arah kepergian Angel. Berharap bahwa sahabat sekaligus editornya itu
akhirnya menyadari bahwa mereka terpisah dan kemudian kembali untuk mencarinya.
“Kau sendiri apa
yang kau lakukan di sini?” tanyanya kepada Alvin kemudian ketika menyadari
bahwa laki-laki itu tidak berniat untuk pergi.
“Aku?” Alvin
tertawa. Lelaki ini benar-benar ceria dan banyak tertawa, jauh berbeda dengan
Cakka, Gumam Shilla dalam hati, “Aku lelaki bebas, kudengar di sini ada keramaian
jadi aku datang untuk melihat, itu saja.”
“Shilla!” itu
teriakan Angel, perempuan itu akhirnya menyadari bahwa dia terpisah jauh dari
Shilla. Dia sedang berjuang menembus keramaian untuk menghampiri Shilla yang sudah menepi bersama Alvin di dekat stan
sepatu.
Akhirnya Angel
berhasil mendekatinya, napasnya terengah-engah, “Fyuh ramai sekali di sana,
kita bahkan tidak bisa menawar dengan nyaman....” Lalu Angel tertegun menyadari
lelaki luar biasa tampan yang sedang berdiri bersama Shilla, mulutnya bahkan
ternganga.
“Hai.” Alvin tersenyum ramah, sepertinya lelaki itu sudah biasa
dipandang dengan tatapan kagum oleh para perempuan, “Aku Alvin, aku kenalan Shilla.”
Gumamnya mengulurkan tangannya.
Angel membalas uluran tangan itu seolah terhipnotis, matanya
menatap terpesona pada Alvin.
Alvin
hanya melemparkan tatapan geli kepada Shilla, lalu melangkah menjauh,
“Sepertinya kau sudah menemukan temanmu.” Ditepuknya pundak Shilla dengan
akrab, “Lain kali hati-hati ya.” Gumamnya lalu melambaikan tangan dan melangkah
pergi.
Mata Angel bahkan terpaku sampai Alvin menghilang dari pandangan
matanya.
“Wow...” dia menatap terpesona, lalu menoleh kepada Shilla dengan
pandangan menuduh, “Katakan padaku di mana kau menemukan lelaki setampan itu.
Dia bilang dia kenalanmu bukan?”
Shilla terkekeh melihat betapa tertariknya Angel kepada Alvin,
“Dia saudara kembar pemilik cafe yang kuceritakan kepadamu.”
“Setampan itu dan ada dua orang?” Angel terperangah, lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya, “Hebat Shilla, aku yang sudah bertahun-tahun di
kota ini, belum pernah beruntung menemukan lelaki dengan penampilan fisik dan
senyuman sesempurna itu. Dan kau baru beberapa waktu disni, kau sudah
berkenalan dengan dua laki-laki tampan.”
Shilla tertawa tergelak, “Ah kau melebih-lebihkan.” Dia menatap
cemas ke sekeliling yang mulai ramai, “Kita pulang saja yuk, aku lelah.”
Untunglah Kali ini Angel tidak menolak.
⧫⧫⧫
“Aku bertemu dengan
gadis itu.” Alvin baru saja datang berkunjung ke Garden Cafe, dan Cakka
menemuinya di apartemennya. Lelaki itu langsung waspada ketika Alvin menyebut
tentang ‘gadis itu’.
Dan benar saja, Alvin langsung melemparkan pertanyaan yang sama
sekali tidak disukai oleh Cakka.
“Apakah dia alasan kau tidak pernah pulang ke rumahmu lagi dan
selalu menginap di sini?”
Cakka memasang wajah keras, “Apa maksudmu?”
“Yah. Kau bertingkah di luar kebiasaanmu, para pelayanmu di rumah
bilang kalau kau tidak pernah tidur di sana dan selalu tidur di cafe ini. Dan
kau juga menyapa gadis itu.” Alvin mengangkat bahu ketika Cakka melemparkan
tatapan tajam kepadanya, “Aku tahu info itu dari gadis itu ketika aku
bertabrakan dengannya. Katanya kau menyapanya ketika dia duduk di cafe itu, dia
bilang mungkin itu budaya cafe ini, sang pemilik menyapa ramah pelanggannya.”
Lirikan Alvin berubah penuh arti, “Tetapi kita tahu bahwa itu tidak benar
bukan? Kau selalu menghindari semua pengunjung cafe dan hotelmu seperti mereka
adalah hama. Kau selalu bersembunyi di balik sosok pemilik perusahaan yang
misterius, kau tidak pernah menyapa pelanggan sebelumnya, gadis itu adalah
satu-satunya pelanggan yang kau sapa.”
“Bisakah kau bicara langsung saja dan tidak berputar-putar dengan
analisa konyolmu?” Cakka menyela dengan ketus, membuat Alvin terkekeh,
“Yah, kesimpulannya, kau tertarik kepada gadis itu, kepada Shilla.”
Alvin menatap Cakka dengan waspada, “Begitu juga aku.”
Kemarahan langsung merayapi mata Cakka, membakarnya, “Jangan Alvin.”
“Mau bagaimana lagi? Kita sepertinya selalu dianugerahi kutukan
perasaan yang sama terhadap perempuan. Bagaimana kalau kita lakukan permainan
seperti masa remaja kita dulu? Permainan ‘dia pilih kamu atau aku?’, sepertinya
itu akan menyenangkan.” Gumam Alvin setengah tertawa.
Tanpa diduganya Cakka bergerak secepat kilat, meraih kerah baju Alvin
dan mendorongnya ke tembok dengan mengancam.
“Ini bukan permainan, Alvin dan aku serius, Kalau kau hendak
main-main dengan Shilla, kau harus menghadapiku dulu.”
Alvin membiarkan dirinya ditekan oleh Cakka di tembok, dia menatap
Cakka dengan penuh perhitungan,
“Apa kau lupa Cakka? Kau sudah punya Kay.”
“Itu tidak menghalangiku untuk memiliki Shilla.” Sahut Cakka
keras.
Hal itu membuat Alvin tertawa terbahak-bahak, tidak peduli akan
tatapan marah Cakka,
“Tidak menghalangimu katamu?” Alvin melepaskan tangan Cakka yang
mencengkeram kerah bajunya dan melangkah menjauh, dia masih tertawa, “Tentu
saja itu sangat menghalangi, kau punya tunangan dan kau akan menikah. Atas
pilihanmu sendiri karena rasa bertanggungjawabmu yang bodoh itu! Jadi kau tidak
bisa menawarkan hubungan apapun, apapun! Kepada Shilla.” Alvin menatap Cakka
dengan menantang, “Tetapi aku beda, aku lelaki bebas.”
“Jangan menantangku, Alvin. Kau tahu bukan apa yang akan aku
lakukan kalau aku marah.”
“Aku tahu.” Alvin melirik waspada ke arah Cakka, tetapi dia
memutuskan untuk tidak mundur, “Tetapi Shilla layak dicoba untuk
diperjuangkan.” Alvin melangkah keluar dari apartemen Cakka. Ketika sampai di
tengah pintu, Alvin menoleh lagi dan tersenyum manis, “Sepertinya perang akan
dimulai, kakak.”
Cakka tertegun, menatap kepergian Alvin. Diacaknya rambutnya
dengan frustrasi. Apa yang ditakutannya terjadi lagi, mereka bersaing untuk
seorang perempuan.
Seakan beban masalahnya belum cukup berat saja....
⧫⧫⧫
Malam itu Shilla pulang terlambat, dia membahas tentang novelnya
di rumah Angel dan mereka lupa waktu. Angel menyuruhnya menginap saja, tetapi Shilla
memutuskan bahwa dia harus pulang. Tidur di kamarnya sendiri saja dia
kesulitan, apalagi harus tidur di rumah orang. Bagaimanapun juga Shilla merasa
lebih nyaman beristirahat di tempatnya sendiri.
Ketika berjalan turun dari taksi dan hendak memasuki pintu putar
menuju lobi apartemennya, Shilla melirik ke arah Garden Cafe itu di seberang
jalan, sudah dua hari dia tidak kesana. Apa kabarnya Cakka? Pikiran itu
terus mengganggunya sepanjang hari ini. Otaknya selalu dipenuhi bayangan lelaki
itu yang begitu tampan dan tampak begitu dewasa.
“Shilla?”
Shilla terperanjat kaget mendengar namanya disebut, dia langsung
menoleh dengan waspada. Wajahnya pucat pasi ketika menemukan Raka ada di sana.
Lelaki itu tampak berantakan dan sedikit tidak fokus.
“Aku menunggumu lama sekali di sini, kau kemana saja?” Nada suara Raka
meninggi seolah tidak bisa mengontrol emosinya. Dan ketika Raka melangkah
sedikit mendekatinya, dia langsung bisa menciumnya, aroma alkohol yang pekat
dan memuakkan. Seolah lelaki itu menghabiskan malamnya dengan meminum alkohol
murahan yang menguarkan bau khas.
Shilla langsung merasakan jantungnya berdegup kencang, Raka sedang
mabuk. Dan sepertinya dia mabuk berat. Bahkan dalam keadaan sadarpun, Shilla
tahu bahwa Raka sering kali tidak bisa mengendalikan emosinya, apalagi dalam
keadaan mabuk.
Mata Shilla berkeliling waspada, memandang semua orang. Adakah
yang bisa menolongnya di sini? Dia mulai panik ketika menyadari bahwa suasana
sekeliling sudah sangat sepi. Hanya ada beberapa pedagang rokok dengan lampu
remang, itupun jauh di sudut sana. Shilla tidak yakin kalau dia berteriak pedagang itu
akan mendengarnya.
Mata Shilla melirik
ke Garden Cafe di seberang jalan. Cafe itu masih buka tentu saja, meskipun
sudah jam dua malam, tetap penuh pengunjung. Tetapi sayangnya para pengunjung
itu berada di dalam, sedang dihibur oleh aliran musik slow yang
menenangkan hati di sana.
Tidak ada yang bisa menolong Shilla kalau Raka lepas kendali....
“Kenapa kau kemari lagi, Raka.” Tanya Shilla hati-hati, berusaha
mundur dan tetap menjaga jarak, meskipun lelaki itu terus mencoba mendekatinya.
“Kenapa?” Raka tertawa, “Karena kau bodoh dan pendendam.” Suaranya
meninggi lagi, “Kau membesar-besarkan masalah seolah-olah aku melakukan
kesalahan yang sangat besar. Kau menolak memaafkanku dan mengusirku seolah aku
ini sampah.” Raka tersenyum sinis, “Mungkin jangan-jangan kau dulu tidak
mencintaiku, karena kalau orang yang mencintaiku, tidak akan mungkin dia tidak
bisa memaafkanku.”
Oh Astaga, lelaki ini sungguh tidak tahu malu. Membesar-besarkan
masalah katanya? Perempuan mana di dunia ini yang bisa memaafkan kelakuan
seperti itu dari tunangannya, di saat perkawinan mereka tinggal menghitung
bulan?
“Aku rasa lebih baik kau enyah dari kehidupanku Raka. Aku sudah
sangat muak kepadamu, dan aku tidak mungkin mau kembali kepadamu.” Shilla
terpancing emosi sehingga nada penuh kebencian keluar dari suaranya.
Hal itu memancing Raka, tatapan lelaki itu membara, dipenuhi oleh
alkohol yang diminumnya. Dia tiba-tiba saja sudah melompat dan mencengkeram
kedua lengan Shilla dengan kasar hingga terasa menyakitkan.
“Tidak mau kembali kepadaku?” Raka terkekeh, suaranya menakutkan
dan aroma alkohol kembali menguar dari sana, membuat Shilla ketakutan dan
berusaha meronta dengan panik. Tetapi lelaki itu sangat kuat dan semakin Shilla
meronta, semakin kuat Raka mencengkeramnya, hingga terasa sakit.
“Sakit! Raka, kau menyakitiku!” Shilla
mencoba meronta, mulai menjerit.
Tiba-tiba tubuh Raka tertarik dengan kasar ke belakang sehingga
hampir terjengkang. Lengan yang menarik Raka itu lalu mendorong Raka dengan
kasar hingga jatuh terbanting di trotoar.
Shilla langsung mengenali penyelamatnya, itu Cakka. Lelaki itu
mengenakan pakaian hitam-hitam sehingga membuat Shilla tidak menyadari kapan
lelaki itu datang dan mendekat. Tetapi bagaimanapun juga, dia menyukuri
kehadiran Cakka di saat yang tepat untuk menyelamatkannya.
“Kau lagi.” Meskipun mabuk, Raka rupanya mengenali Cakka dari
insiden siang itu. “Sebenarnya kau ini siapa? Kenapa selalu mengganggu urusanku
dengan tunanganku?” Raka bangkit dari duduknya dan berdiri dengan posisi
waspada, siap menyerang.
“Mantan tunangan.” Cakka bergumam tenang, tubuhnya lebih tinggi
dan lebih kuat daripada Raka. Dan dia memegang sabuk hitam dalam ilmu bela
diri, menghadapi Raka akan sangat mudah baginya. “Sebaiknya kau menyingkir dari
sini dan tidak mengganggu Shilla lagi, kalau tidak kau akan menghadapiku.”
Raka membelalakkan matanya marah, sejenak tampak berpikir untuk
menyerang Cakka. Tetapi kemdian dia memilih mundur ketika melihat nyala
membunuh di mata Cakka. Dia akan kalah kalau menghadapi lelaki ini, entah
kenapa dia tahu.
Dengan lirikan sinis, dipandangnya Shilla, “Ternyata kau begitu
mudah melupakanku, baru beberapa lama kita berpisah dan kau sudah menemukan
lelaki baru. Mungkin kau tidak sesuci apa yang kau tampilkan selama ini.”
Setelah melemparkan tatapan merendahkan, Raka melangkah setengah
terhuyung-huyung ke arah mobilnya.
Cakka memastikan Raka memasuki mobilnya dan pergi sebelum
menyentuh pundak Shilla hati-hati. Shilla tampak tegang dan ketakutan meskipun
perempuan itu berusaha tegar,
“Kau tidak apa-apa?” tanyanya lembut.
Shilla baru
merasakan seluruh tubuhnya gemetar ketika semua sudah berakhir, dia menatap Cakka
tak berdaya, “Aku tidak apa-apa.” Jawabnya serak, tetapi kakinya tiba-tiba
lemas sehingga Cakka harus menopangnya,
Lelaki itu merangkulnya dengan lembut tapi sopan.
“Ayo kuantar kau ke atas.” Gumamnya tenang, menghela Shilla
memasuki lobi apartemen itu dan melangkah ke dalam lift.
Di depan pintu kamarnya, barulah Shilla menyadari kesalahannya.
Dia tidak mungkin membiarkan Cakka memasuki apartemennya, sekali lagi dia
hampir bisa dikatakan tidak mengenal Cakka dengan baik. Lelaki ini bisa saja
psikopat yang mengincar perempuan-perempuan yang tinggal sendirian bukan?
“Aku.. eh, terima kasih..” Shilla bersandar pada pintu. Ia
berusaha bersikap sopan dan melepaskan diri dari pegangan Cakka di pinggangnya.
Cakka mengangkat alis melihatnya, “Kau lemas dan gemetar."
Gumamnya tenang, “Aku akan mengantarmu masuk.”
“Tidak!” Shilla hampir berteriak dan merasa malu ketika Cakka
menatapnya seolah dia sedang kerasukan, “Aku.. aku bisa masuk sendiri, terima
kasih.”
Dia mencari-cari kartu kunci pintunya di dalam tas, tetapi tidak
bisa menemukannya. Dengan panik dia mengaduk-aduk tasnya. Dan tetap tidak
menemukannya.
Cakka masih menunggu di situ, menatap kepanikannya dengan tenang
dan tanpa kata-kata.
Lama
kemudian Shilla mencari dan kemudian dia mengangkat kepalanya dengan panik,
“Kuncinya tidak ada.” Gumamnya lemah dan ingin menangis, “Mungkin.. mungkin
ketinggalan di rumah temanku...” airmata mulai membuat matanya terasa panas.
Sebenarnya ini bukan masalah yang pelik, Shilla tinggal menghubungi keamanan
atau resepsionis di bawah untuk meminta kartu cadangan dan dia akan bisa
membuka pintunya.
Shilla
hanya perlu alasan untuk menangis, perlakuan kasar dan merendahkan Raka
kepadanya tadi sangat melukai hatinya. Dan meskipun di depan dia berusaha
tampil tegar, dia masih merasakan luka dan perih itu.
Tanpa kata, Cakka
meraih kepalanya dan meletakkannya di dadanya,
“Shh.... menangislah.” Bisiknya lembut dan seketika itu juga
benteng pertahanan diri Shilla bobol. Dia menangis sekuatnya, untuk pertama
kalinya setelah sekian lama. Menumpahkan kepedihannya, menumpahkan kemarahan
dan kebenciannya kepada semua hal yang terjadi antara dirinya dan Raka. Dia
menumpahkan semuanya di dada Cakka, lelaki yang bahkan baru dikenalnya beberapa
waktu lalu.
Dengan tenang Cakka mengusap rambutnya, setelah merasa Shilla
sedikit tenang, dia menjauhkan pundak Shilla dari pelukannya dan berbisik
lembut,
“Sini tasmu, sepertinya kau terlalu panik ketika mencarinya tadi.”
Dengan patuh Shilla menyerahkan tasnya, Cakka mencarinya dengan
hati-hati. Dan dalam sekejap dia menemukan kartu kunci itu, terselip di bagian
paling bawah tasnya.
Cakka menggenggamkan kartu kunci itu ke dalam jemari Shilla, dan
tersenyum lembut,
“Masuklah dan beristirahatlah.” Bisiknya pelan.
Shilla mengusap airmatanya dan menatap Cakka dengan sendu.
“Terima kasih.” Bisiknya serak.
Tanpa diduga, Cakka menarik Shilla
kembali ke pelukannya, lalu mengecup dahinya lembut, “Sama-sama.” Lalu lelaki
itu membalikkan tubuhnya, meninggalkan Shilla tanpa kata-kata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar