Selasa, 27 Mei 2014

You've Got Me From Hello 6 -cakshill sories-


“Janji yang tidak sepenuh hati diucapkan, sebaiknya langsung dibatalkan.”
6








NO COPAST!!










CIPT. SANTHY AGATHA

Kay menunggu dengan cemas, Cakka memang selalu terlambat datang tetapi dia tidak pernah mengingkari janjinya. Kedua orang tuanya baru datang dari Paris, dan ini adalah kali pertama mereka akan berkumpul untuk membicarakan persiapan pernikahan mewah dan besar mereka yang rencananya akan dilaksanakan delapan bulan lagi.
Dia sudah berdandan secantik mungkin dan mulai gelisah karena ini sudah terlambat hampir satu jam dari waktu yang dijanjikan, tetapi tidak ada kabar dari Cakka. Kay duduk di dekat jendela, menanti dengan cemas.
Lalu ketika mobil warna merah menyala itu memasuki gerbang rumah, hampir saja Kay terlonjak bahagia dari duduknya, lupa kalau dia sedang berpura-pura lumpuh. Tidak ada yang tahu selain keluarganya, pelayan kepercayaan mereka di rumah ini, dan dokter pribadi mereka bahwa Kay sebenarnya sudah sembuh jauh di waktu lalu. Dia sudah bisa berjalan normal seperti biasanya. Diagnosa dokter waktu itu ternyata salah, dan kaki Kay tidak apa-apa.
Tetapi kemudian dia memohon kepada kedua orangtuanya dan dokter mereka untuk merahasiakannya dan membiarkan Cakka tidak tahu. Kepada mereka diceritakannya betapa takutnya dia kehilangan Cakka kalau sampai Cakka tahu bahwa dia baik-baik saja. Yang dimilikinya dari Cakka hanyalah rasa tanggung jawab lelaki itu kepadanya, dan itu semua karena kakinya yang lumpuh.
Kalau kakinya sudah tidak lumpuh lagi, maka tidak akan ada sesuatupun yang bisa mengikatkan Cakka kepadanya. Lelaki itu sudah pasti akan meninggalkannya.Kay rela duduk di kursi roda terus sampai dia bisa mengikat Cakka di pernikahan. Setelah mereka terikat secara resmi dan dia sah memiliki Cakka, dia sudah merencanakan untuk berpura-pura sembuh secara bertahap dan kemudian kembali normal. Cakka tidak akan pernah curiga. Dia sudah begitu lama berpura-pura lumpuh sehingga tampak sangat meyakinkan.
Diliriknya Cakka yang baru turun dari mobil dan hatinya berbunga-bunga melihat ketampanan lelaki itu. Lelaki itu akan menjadi suaminya, akan dimilikinya sebentar lagi. Dia hanya harus bersabar.
Cakka melangkah mendekati tangga rumah itu dengan ekspresi lelah. Hari ini banyak sekali yang harus dikerjakannya, dan yang dia inginkan hanya datang ke Garden Café. Menanti kedatangan Shilla, yang tak kunjung datang lagi setelah peristiwa ciuman itu.
Cakka tak henti-hentinya mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa menahan dirinya untuk mencium Shilla. Dialah yang membuat Shilla menghindarinya seperti sekarang ini. Dan sekarang dia tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa dilakukannya hanyalah menunggu, dan ternyata menunggu itu tidak enak, sama sekali tidak enak. Kemudian karena sibuk dengan pekerjaan dan pikirannya tentang Shilla, Cakka hampir saja melupakan janji temunya dengan kedua orang tua Kay yang baru pulang dari Paris. Dia mungkin saja benar-benar lupa dan tidak akan datang kalau dia tadi tidak melirik tanpa sengaja ke arah ponselnya yang tergeletak begitu saja di kursi penumpang di sebelahnya, dan menyadari bahwa ponselnya itu berkedip-kedip oleh karena puluhan pesan dari Kay.
Kursi roda Kay muncul di pintu dan perempuan itu menyambutnya dalam senyum bahagia dan khawatir.

“Kau tidak membalas pesanku.” Gumam Kay cemas, memeluk Cakka ketika lelaki itu mendekat dan setengah menunduk mengecup dahinya, “Aku takut kau kenapa-kenapa.”

“Maaf aku terlambat, urusan pekerjaan.” Gumam Cakka datar, “Di mana orang tuamu?”
Cakka menyiapkan hatinya untuk malam itu, karena dia harus membicarakan persiapan pernikahan. Persiapan pernikahan yang bahkan tidak setitikpun ingin dilakukannya.
⧫⧫⧫
Ketika Shilla memasuki cafe itu kembali, pandangannya langsung memutar ke sekeliling, bahkan Albert yang biasanya menyapanya dengan ramah tidak ada. Kemana pelayan setengah baya yang sangat ramah itu?
Yang lebih membuatnya kecewa, sama sekali tidak ada tanda-tanda keberadaan Cakka disana mendekatinya dan memberikan menunya,
“Di mana Albert?’ Shilla bertanya sambil lalu kepada pelayan itu.
Pelayan itu melirik ke atas lantai dua, “Tuan Albert sedang tidak enak badan. Beliau beristirahat di kamar atas. Tetapi beliau bilang akan turun sebentar lagi.” Pelayan itu melirik jam tanganya.
“Tuan?” Shilla tidak bisa menahan diri untuk berkomentar mengenai cara pelayan itu memanggil Albert, bukankah mereka sama-sama pelayan? Tetapi kenapa cara pelayan itu memanggil Albert dengan kata ‘tuan’ dan ‘beliau’ tampak begitu hormat.
Pelayan itu menatap Shilla dan tersenyum, “Anda tidak tahu? Tuan Albert bukanlah pelayan di cafe ini, setidaknya bukan itu jabatannya. Dia bisa dibilang adalah penanggung jawab cafe ini, Tuan Cakka memberikan cafe ini kepadanya, sebagai orang kepercayaan tuan Cakka. Tetapi beliau memilih berperan sebagai pelayan.”
Setelah pelayan itu pergi, Shilla masih mengerutkan keningnya, pelayan itu bilang kalau Cakka memberikan cafe ini kepada Albert?
Selama ini Shilla berpikir bahwa cafe ini adalah warisan paling besar dari ayah Cakka. Cakka sendiri bilang bahwa dia mengelola cafe ini dan lain-lain yang Shilla kira adalah bisnis sampingan yang tidak sebesar cafe ini.
Tetapi pelayan tadi mengatakan bahwa Cakka memberikan cafe ini kepada Albert seolah itu sesuatu yang tidak penting? Apakah yang dimaksud dengan ‘dan lain-lain’ oleh Cakka adalah sesuatu yang lebih besar?
“Kali ini tidak pakai anggur?”
Shilla terlompat dengan kaget dari kursinya, jantungnya berdebar dan dia menoleh ke belakang, tampak Albert di sana. Lelaki itu tampak pucat dan lelah tidak seceria biasanya.
“Aku belum memesan anggur.” Shilla tersenyum lembut kepada lelaki setengah baya itu, “Tetapi sepertinya itu menarik.”
Albert menganggukkan kepalanya ramah, lalu memberikan isyarat kepada pelayan di bar untuk membawakan minuman pesanan Shilla yang biasa.
Anggur itupun datang, dalam gelas bening yang berkilauan, menguarkan aroma harum yang manis dan menyenangkan,
“Tahukah anda kalau anggur ini seperti laki-laki?” gumam Albert setengah tersenyum.
Shilla mendongakkan kepalanya dan menatap Albert bingung, “Seperti laki-laki?”
“Ya. Mereka berwarna merah dan pekat diluar, menguarkan aroma khas yang mengancam. Seakan memperingatkan siapapun yang berani mendekat. Ketika anda meminumnya asal-asalan anda tidak akan bisa memahami cita rasanya, yang terasa hanya alkohol dan rasa pahit. Tetapi kalau anda bisa menyesuaikan antara aroma dan cara mencicipi yang nikmat, anda akan bisa menemukan intisari yang berpadu, rasa yang manis dan aroma yang menggoda. Itu sama dengan laki-laki, di luar begitu mengancam tetapi ketika anda bisa menanganinya dengan benar, dia akan memberikan yang terbaik untuk anda.”
Shilla meresapi kata-kata Albert dan menemukan kebenaran di dalamnya. Filosofi lelaki dan anggur merah. Sungguh menarik.
“Kurasa aku bisa menggunakannya untuk novelku.” Gumamnya ceria, membuat Albert terkekeh,
“Saya akan sangat tersanjung.” Lelaki itu berdiri dan berpamitan, membuat Shilla menyesal karena dia tidak punya keberanian untuk menanyakan keberadaan Cakka.
⧫⧫⧫
“Terima kasih Cakka.” Kay menggenggam kedua jemari Cakka dengan penuh sayang, lelaki itu duduk di depannya dan tampak kaku. Kay berusaha mencairkan suasana dengan kelembutannya. Biasanya Cakka akan melembut juga kalau dia sudah bersikap rapuh. Tetapi entah kenapa malam ini benak kekasihnya ini seolah-olah tidak ada di sana, menerawang entah kemana.
“Apakah kau baik-baik saja?” tanya Kay lagi mencoba memecah keheningan ketika Cakka hanya diam saja, “Kau tampak tidak bahagia..”
Cakka memandang Kay dengan tatapan tidak terbaca, “Kau bicara apa, tentu saja aku bahagia.” Bibirnya tersenyum, tetapi senyum itu jelas-jelas tidak sampai ke matanya.
“Aku memang tahu betapa beruntungnya aku bisa memilikimu.” Kay menundukkan kepalanya sedih, “Dengan kondisiku yang sekarang, sebenarnya aku tidak pantas untukmu. Apalagi kejadian di masa lalu itu, aku sungguh malu kalau mengingatnya.” Jemari lentik Kay yang indah menutup wajahnya, airmatanya mengalir deras, “Mungkin seharusnya aku mati saja di kecelakaan itu.”
“Sttt.” Cakka menyentuh jemari Kay yang sedang menutup mukanya, dan menariknya dengan lembut ke dalam genggamannya, “Jangan berkata seperti itu, aku sudah berjanji akan bertanggung jawab atas dirimu bukan? Aku akan menjagamu, Kay seperti janjiku.”
Kay menatap Cakka dengan matanya yang basah, “Apakah kau mencintaiku, Cakka? Sedalam aku mencintaimu?”
Kalimat itu tak sampai untuk keluar dari bibir Cakka, dia hanya menganggukkan kepalanya dan berucap, “Ya Kay.” Dan menyadari betapa beratnya mengatakan ‘aku cinta kepadamu’ kepada seseorang yang tidak kau cintai.
⧫⧫⧫
Shilla berhasil menyelesaikan bab klimaks itu dengan gemilang, tokoh utamanya akhirnya menyadari kesalahannya dan mengejar pasangannya. Mereka pada akhirnya berhasil menyelesaikan kesalahpahaman mereka...
Dia memundurkan tubuhnya di kursi yang nyaman itu dan membaca ulang tulisannya lembar demi lembar sambil lalu. Angel pasti akan sangat senang kalau mengetahui dia berhasil menyelesaikan bab klimaks ini. Semula sangat sulit menulis bab klimaks ini, karena setelah pertengkaran, sesuai draft akan ada permaafan, sesuatu yang tidak pernah bisa dilakukan Shilla terhadap Raka.
“Dan akhirnya kau muncul di sini.” Suara maskulin yang dalam itu menyapanya. Suara yang membuat jantung Shilla langsung berpacu dengan kencang, dia menoleh dan sosok yang dibayangkannya berdiri di sana.
Lelaki itu tampak lelah, dengan jas resmi yang sudah dilepas dan disampirkan di pundaknya. Dasi yang sudah terlepas sepenuhnya dan kancing kemeja atasnya yang dibuka.
“Hai.” Gumam Shilla, tiba-tiba merasa malu ketika ingatan akan ciuman mereka malam itu menyeruak di benaknya.
Cakka tampaknya memahami, lelaki itu mengangkat sebelah alisnya lembut,
“Dari kejauhan kau tampaknya senang. Apakah kau berhasil menyelesaikan tulisanmu?”
Shilla mengangguk, “Bab yang paling sulit sudah kulalui, besok tinggal membereskan semuanya.”
“Kita harus merayakannya.” Cakka terkekeh, penampilannya yang formal dan sedikit berbeda dengan biasaya tampak melembut ketika dia tertawa, “Tunggu sebentar ya aku mandi dulu, aku akan segera menyusulmu kembali.”
Ketika Cakka pergi, Shilla membaca ulang kisah yang baru saja ditulisnya. Sudah jelas tokoh wanita dalam novel buatannya tergila-gila kepada sang tokoh lelaki, dia digambarkan selalu berbunga-bunga ketika tokoh lelaki itu ada di benaknya.
Berbunga-bunga?
Shilla tiba-tiba menyadari sesuatu, selama ini dia selalu menuliskan deskripsi perasaan dalam bentuk tulisan dengan lancar. Tetapi ketika menelaah perasaannya sendiri dia benar-benar kebingungan.
Apakah dia sedang merasakan berbunga-bunga ketika bersama Cakka? Shilla menggelengkan kepalanya. Bagaimana mungkin sebuah perasaan begitu kuat muncul kepada seseorang yang tidak begitu kita kenal?
Cakka turun lagi hampir dua puluh menit kemudian. Rambutnya basah dan dia mengenakan baju santai, celana jeans, dan kaos berkerah yang semakin menonjolkan bentuk tubuhnya yang bagus,
Seolah sudah biasa, lelaki itu langsung mengambil tempat duduk di seberang Shilla. Dia memberi isyarat kepada pelayan untuk membawakannya minuman.
Dalam waktu singkat, pelayan itu meletakkan secangkir kopi hitam pekat di depan mereka berdua,
“Di mana Albert?” Cakka mengernyit, biasanya dia melihat Albert dimana-mana, lelaki itu sangat bahagia jika bisa berada di lingkungan operasional cafe dan berhubungan dengan para pelanggan. Sangat bertolak belakang dengan dirinya yang memilih menggerakkan segala sesuatunya di balik layar, melindungi dirinya dengan menampilkan kesan misterius.
“Tuan Albert beristirahat di atas, tuan. Tadi beliau sempat turun sebentar, tetapi kemudian mengeluh pusing lagi dan ingin beristirahat.’
Albert? Pusing? Cakka mengernyitkan keningnya. Meskipun sudah setengah baya, Albert selalu penuh vitalitas dan Cakkalah yang paling tahu betapa jarangnya Albert sakit.
Mungkin kali ini Albert benar-benar sakit, Cakka mendesah dalam hati, memberi isyarat kepada pelayan itu untuk menjauh.
Suasana cafe cukup ramai ketika itu, padahal waktu sudah hampir beranjak tengah malam. Sekelompok pemuda tampaknya memilih menikmati malam sambil mengobrol di tempat yang paling ujung sebelah sana, dan beberapa yang lain memilih untuk mencicipi hidangan,
“Mau makan sesuatu?” Cakka melirik ke arah buku menu dan tersenyum kepada Shilla,
“Aku sudah makan tadi sore.” Shilla tersenyum, “Tetapi secangkir kopi tidak akan kutolak, “ gumamnya dalam senyum.
“Aku lapar.” Cakka menekuri buku menu dan merenung, dia sudah makan di rumah Kay tadi, tapi dia hampir tidak bisa menelan makanannya, “Mungkin aku akan meminta sup ini.” Cakka memanggil pelayan lagi dan menyebutkan pesanannya.
Setelah pelayan pergi, Cakka memajukan tubuhnya dan menopang dagunya dengan kedua siku di meja, tatapannya tajam dan intens,
“Kau tidak kemari lama sekali.”
Apakah Cakka setiap hari menunggunya? Shilla melirik gelisah ke arah Cakka, bingung harus bersikap bagaimana.
“Apakah karena kejadian waktu itu? Ciuman waktu itu?” sambung Cakka lagi, dengan tatapan penuh tanya.
Shilla membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kalimat yang keluar. Suaranya seakan tertelan di tenggorokannya.
Cakka mengamati Shilla, lalu tertawa, “Untuk seseorang yang penghidupannya berasal dari rangkaian kata-kata, kau tampak sulit sekali mengeluarkan sepatah kata sekalipun.”
Pipi Shilla memerah, dan dia memalingkan muka, tidak tahan ditatap setajam itu. Tetapi kemudian pertanyaan di hatinya mendesaknya,
“Kenapa waktu itu kau menciumku?”
Cakka langsung tersenyum lembut, “Karena aku merasakan sesuatu yang lebih kepadamu.” Gumamnya, “Aku tidak pernah bermaksud merendahkanmu dengan menciummu, itu terjadi begitu saja.” Cakka mendesah, “Setelah itu kau bahkan tidak mau muncul di cafe, aku panik.... dan berpikir kau mungkin marah kepadaku.” Tatapan Cakka melembut, “Shilla, mungkin ini memang terlalu cepat, kita baru bertemu beberapa kali, belum mengenal satu sama lain. Tetapi ada perasaan nyaman yang kurasakan ketika bersamamu, bahkan ketika pertama kali kau menyapaku. Perasaan nyaman yang membuatku meyakini bahwa aku harus mencoba untuk lebih dekat bersamamu.”
“Oh.” Shilla bergumam pelan membuat Cakka tergelak,
“Oh?” Lelaki itu mengulangi gumaman Shilla, “Aku berusaha setengah mati menjelaskan perasaanku ini kepadamu dan tanggapanmu hanya ‘Oh’ ?” Lalu jemari lelaki itu meraih jemari Shilla dari seberang meja dan menggenggamnya lembut, “Shilla, aku tahu ini terlalu cepat, kau masih sakit karena perbuatan Raka dan berusaha menyembuhkan dirimu, tapi aku hanya ingin bersamamu, ada di dekatmu, dan berusaha lebih mengenalmu. Aku berharap kau juga bisa mengenalku lebih dekat dan mungkin kita bisa melihat bersama-sama akan di bawa kemana perasaan ini.”
Semua ini terlalu cepat, Shilla membatin dalam hati, dia bahkan tidak tahu apapun tentang Cakka dan begitu juga sebaliknya. Tetapi ajakan Cakka untuk berjalan bersama dan menelaah arti dari kebersamaan mereka terasa begitu menggoda.
“Shilla?” Cakka memanggil lagi, mulai tidak sabar dengan kediaman Shilla, dia butuh jawaban, segera. Setelah itu dia bisa bertindak cepat, meluruskan semua rencananya.
Shilla menatap Cakka, melihat kesungguhannya di situ, Cakka memang luar biasa tampan, tetapi lelaki itu tampaknya tidak pernah sadar menebarkan pesonanya ke orang-orang, tidak seperti Raka. Dan Cakka juga baik, lembut, serta menghormatinya, mungkin Shilla bisa mencobanya. Dengan lebih sering bersama Cakka, mencoba mengenalnya lebih dekat dan kemudian memutuskan apakah akan membuka hatinya ke dalam hubungan yang lebih serius dengan Cakka atau tidak.
Shilla menganggukkan kepalanya, “Aku bersedia mencobanya, Cakka. Tetapi hanya itu, kita bersama-sama berusaha untuk lebih saling mengenal. Dan mengenai hasil akhirnya mungkin bisa kita lihat nanti.”
Sinar kemenangan muncul di mata Cakka, tetapi lelaki itu dengan cepat menutupinya, membuat wajahnya tampak lembut, “Terima kasih atas kesempatan yang kau berikan ini Shilla.”
⧫⧫⧫
Pagi harinya, Cakka yang sedang duduk di ruangannya di kantor pusat kedatangan tamu. Tamu yang sudah sangat di tunggunya. Seorang lelaki yang sangat tampan, dan juga sahabatnya.
“Jadi kau meminta bantuanku?” Iel menatap Cakka sambil tersenyum manis.
“Kaulah satu-satunya orang yang kupercaya bisa melakukannya.”
Iel tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya, “Mungkin di dunia ini, hanya kaulah satu-satunya orang yang meminta sahabatnya untuk merayu tunangannya,” Tatapannya berubah serius, “Apakah kau yakin ini akan berhasil? Kay kelihatannya sangat mencintaimu dan dia sudah akan menikah denganmu. Mungkin saja dia sangat setia kepadamu dan susah dirayu?”
Mata Cakka bersinar dingin dan kejam, “Dia sudah pernah mengkhianatiku sekali karena aku kurang memberinya perhatian. Aku yakin dia akan melakukannya lagi kalau ada kesempatan.”
⧫⧫⧫
“Hai.” Cakka sudah menunggu di depan lobi apartemen Shilla, mereka berjanji untuk menghabiskan hari sabtu ini bersama-sama. Memberi kesempatan kepada diri mereka untuk saling mengenal lebih dekat.
“Hai juga.” Shilla berdiri gugup di depan Cakka, menyadari penampilannya yang sederhana jika dibandingkan dengan penampilan Cakka yang begitu gaya. Oh, lelaki itu tidak berpakaian macam-macam, dia hanya memakai celana jeans warna hitam pekat dan T-shirt polo bergaris, tetapi entah kenapa keseluruhan penampilannya begitu luar biasa. Bahkan beberapa orang yang berlalu lalang di lobi apartemen pasti menoleh dua kali untuk meliriknya.
Tetapi bukan hanya penampilan fisik sebenarnya yang membuat Shilla tertarik kepada Cakka. Aura lelaki itu yang misterius di balik sikap lembutnya, membuat Shilla ingin mendekat dan ingin tahu.
Apakah dia akan seperti ngengat yang menjadi korban karena tidak bisa menahan ketertarikannya terhadap api yang menyala? Shilla mendesah dalam hati. Setidaknya dia sudah mempersiapkan diri, memasang pagar di hatinya agar dia tidak terjun bebas, jatuh ke dalam pesona Cakka dan kemudian terluka parah.
“Kita akan kemana?” Shilla melangkah bersama Cakka keluar. Mobil Cakka sudah disiapkan, diparkir di depan apartemennya.
Cakka mengangkat bahunya, “Terserah, kemana saja, mungkin nonton, jalan-jalan, bersantai, apapun itu asal bersamamu.”
Cakka mengucapkan kata-katanya dengan santai, tidak menyadari bahwa dia membuat pipi Shilla memerah.
⧫⧫⧫
Mereka melakukan apapun yang dilakukan orang-orang untuk bersantai di akhir pekan, nonton, makan, jalan-jalan. Setiap detiknya terasa menyenangkan, mereka mengobrol tanpa henti, sangat cocok dalam pembicaraan apapun dan menyadari bahwa mereka punya banyak sekali kesamaan minat.
Bersama Cakka seharian pun terasa begitu sekejap saking menyenangkannya.
Tanpa sadar hari sudah beranjak malam. Ketika mereka mengendarai mobil hendak pulang, Shilla menyandarkan tubuhnya dengan santai di kursi penumpang, menatap Cakka dalam senyuman.
“Terima kasih atas hari yang sangat menyenangkan ini.”
Cakka menoleh sedikit dan tersenyum simpul, “Sama-sama Shilla, aku juga bahagia bisa menghabiskan waktu denganmu, itu sangat menyenangkan.” Lelaki itu meremas jemari Shilla dengan sebelah tangannya, lembut. “Minggu depan kita lakukan lagi ya.”
“Iya.” Dada Shilla membuncah dipenuhi oleh perasaan berbunga-bunga yang pekat. Oh ya, gawat! Seharian ini dia sudah berusaha memasang pagar di hatinya, tetapi Cakka sudah menerobos pagar itu, membuatnya tidak bisa menahan lelaki itu. Shilla sepertinya sudah jatuh cinta kepada Cakka.
⧫⧫⧫
Kay sedang duduk di dalam mobil, dalam perjalanan menuju butik langganan keluarga, dan merenung. Ini semakin lama semakin menakutkan, hari pernikahannya dengan Cakka sudah menjelang. Keluarganya sudah mempersiapkan semuanya terutama menyangkut gaun pengantinnya. Karena selain hal itu, untuk masalah persiapan pesta seperti dekorasi, gedung, catering, dan lain-lain mereka tidak akan perlu mencemaskannya. Cakka memiliki jaringan perusahaan di bidang resor, perhotelan, dan restoran. Lelaki itu tinggal menjentikkan jarinya dan sebuah pesta yang megah pasti akan disiapkan dengan mudah.
Tetapi perasaan Kay terasa semakin tidak nyaman. Hari demi hari hubungan mereka merenggang, dan semakin dekat ke hari pernikahan mereka, Cakka semakin jarang muncul. Lelaki itu kadang hanya membalas pesan singkatnya sekenanya, tidak pernah mengangkat telepon ketika dia mencoba meneleponnya. Dan lelaki itu tidak pernah datang ke rumahnya lagi.
Sudah sebulan berlalu, bahkan kedua orangtuanya mulai menanyakan kenapa Cakka tidak pernah muncul dan dengan senyum palsunya Kay menjelaskan bahwa semua baik-baik saja, hanya saja Cakka memang sedang sangat sibuk. Tetapi Cakka tidak pernah seperti ini sebelumnya, dulu meskipun sibuk, lelaki itu selalu menyempatkan menemuinya meskipun sebentar di akhir pekan.
Kay tahu bahwa Cakka mungkin tidak mencintainya lagi. Sejak dia mengaku pengkhianatannya yang dilakukannya dengan Edo karena begitu haus perhatian dari Cakka, yang membuatnya terjerumus terlalu jauh lalu hamil, cinta itu sudah musnah di mata Cakka. Tatapan Cakka kepanya sudah berbeda, datar dan tanpa perasaan meskipun laki-laki itu selalu bersikap lembut kepadanya.
Tetapi Kay bisa dibilang sangat mensyukuri kecelakaan itu, kecelakaan yang membuatnya didiagnosa tidak akan bisa berjalan lagi. Yang membuat Cakka sangat menyesal dan pada akhirnya memutuskan untuk bertanggungjawab kepada Kay.
Ya, Kay tahu dia memanfaatkan rasa bersalah Cakka, tetapi dia mencintai Cakka dan tidak bisa membayangkan kalau harus ditinggalkan oleh lelaki itu. Pengkhianatan yang dilakukannya dengan Edo semata-mata karena pelarian, dia membutuhkan kekasih yang hangat dan penuh kasih sayang, yang selalu ada di dekatnya. Tetapi Cakka tidak bisa melakukannya, lelaki itu waktu itu sedang sibuk membangun bisnisnya, sehingga hanya punya waktu sedikit bersamanya. Dan dalam kondisi emosi yang labil, Edo datang dan semua hal buruk itupun terjadi. Semua yang Kay lakukan adalah untuk mengikat Cakka supaya bersamanya. Dia bahkan rela bertingkah seperti orang invalid, hanya agar Cakka bertahan bersamanya. Kelumpuhan ini adalah satu-satunya pengikatnya dengan Cakka, dan Kay rela kesulitan seperti ini, hanya bisa berjalan ketika dia berada di dalam rumah dan hanya di depan orang-orang yang dipercayanya, semua demi memiliki Cakka.
Dia meremas kedua jemarinya kuat-kuat, Sebentar lagi... desahnya dalam hati. Dia hanya perlu bersabar sebentar lagi dan Cakka akan menjadi miliknya sepenuhnya. Dia akan menjadi istri Cakka dan lelaki itu tidak akan punya alasan untuk tidak memperhatikannya.
⧫⧫⧫
Butik itu cukup ramai, milik seorang desainer baju pernikahan yang sangat terkenal. Pegawai Kay mendorong kursi rodanya memasuki butik itu. Kay sudah membuat janji dengan Joshua, sang perancang sekaligus pemilik butik itu.
“Hai cantik.” Joshua langsung menyapanya ketika pegawainya mendorong kursi rodanya memasuki ruangan Joshua. Kay memberikan isyarat kepada pegawainya untuk menunggunya di luar.
“Hai Joshua, kau sudah menerima pesanku untuk deskripsi gaun pengantinku?”
“Sudah sayang, Joshua mengedipkan sebelah matanya. “Sungguh deskripsi yang sangat spesfik, kau ingin gaunmu bertaburan dengan kristal yang mahal dan berkilauan ya? Untung saja tunanganmu kaya. Jadi kau bisa meminta gaun apapapun yang kau inginkan, aku akan mengukur dulu badanmu ya, baru aku terapkan ke beberapa desain dan nanti kau tinggal memilih yang mana” Joshua melirik ke arah pintu, “Ngomong-ngomong, tunanganmu yang tampan itu tidak mengantarmu?”
“Dia sibuk.” Gumam Kay sambil lalu, “Aku ingin gaun ini yang terbaik, Joshua, harus yang paling indah dan paling cantik... Ini akan menjadi pernikahan yang pertama dan satu-satunya untukku.”
“Tentu saja sayang.” Joshua terkekeh, lalu menyuruh pegawainya untuk mengukur badan Kay.
Tentu saja mereka kesulitan karena Kay berada di kursi roda dan tidak bisa berdiri. Kay sendiri merasa gemas karena sebenarnya dia bisa berdiri, tetapi dia tidak bisa melakukannya, karena semua sandiwaranya bisa ketahuan.
“Mungkin kita harus mengukur tubuhmu kalau Cakka sudah bisa datang bersamamu, sayang.” Joshua menatap Kay dengan menyesal, dia juga laki-laki tapi tubuhnya ramping dan gemulai jadi dia tidak bisa membantu Kay supaya punya tumpuan untuk berdiri. Sementara itu kebanyakan pegawainya adalah perempuan, “Jadi Cakka bisa membantumu untuk berdiri.”
“Mungkin aku bisa membantu.” Sebuah suara yang maskulin dan begitu dalam muncul dari pintu, membuat Kay dan Joshua menoleh bersamaan. Di pintu itu berdiri seorang lelaki yang amat sangat tampan. Darah asing sudah jelas mendominasi penampilannya, lelaki itu tinggi, sempurna dengan rambut cokelat muda keemasan, dan setelan tiga potong yang dijahit sempurna, menempel ketat dan seksi ke tubuhnya,
Joshualah yang kemudian memecah suasana, dia berteriak kegirangan dan hampir melompat mendekati lelaki itu.“Oh Ya Ampun! Iel, kau sudah pulang dari Paris?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar