You’ve Got Me From Hello
shanthy agatha
Ya, kalian mungkin bingung, kenapa mimin ngepost
hari ini.
Mimin bisanya ngepost kapan aja, udah gitu aja.
Happy
Reading...
NO
COPAST!
“Mencintai berarti
belajar mengalahkan ketakutan untuk tersakiti di kemudian hari.”
3
Shilla
mengernyit melihat kehadiran Cakka di sana. Itu pria pemilik cafe itu, batinnya
bingung. Tetapi kemudian dia melihat kesempatan untuk melarikan diri dari Raka.
Pegangan Raka di tangannya melemah, membuat Shilla bisa menyentakkan tangannya
dan melepaskan diri.
“Shilla.”
Raka masih berusaha mengikuti Shilla, tetapi dengan cepat Shilla melompat,
bersembunyi di belakang punggung Cakka yang bidang. Dan dengan penuh pengertian
pula Cakka langsung berdiri melindunginya.
“Saya
rasa Shilla tidak mau berbicara lagi dengan anda.’
Mata Raka
memancar marah menatap ke arah Cakka, “Saya tidak tahu anda siapa.” Desisnya
geram, “Tetapi Shilla adalah tunangan saya dan saya berhak berbicara
dengannya.”
“Mantan
tunangan.” Shilla menyela dari punggung Cakka, “Dan aku tidak mau berbicara
denganmu.”
“Anda
dengar bukan?” Cakka melemparkan pandangan mencemooh ke arah Raka, “Saya rasa
lebih baik anda meninggalkan Shilla sendirian.”
Kemudian
dengan sikap tegas, sebelum Raka bisa berbuat apa-apa, Cakka menggiring Shilla
memasuki mobilnya. Meninggalkan Raka yang terperangah dengan muka masam di
sana.
⧫⧫⧫
“Dia mantan tunanganku.” Shilla
melirik gelisah ke arah Cakka, setelah dia berada di dalam mobil dan Cakka
melajutkan mobilnya. Shilla baru menyadari bahwa dia telah begitu saja masuk ke
dalam mobil seorang lelaki yang bahkan hampir sama sekali tidak dikenalnya.
Cakka melirik
sedikit ke arah Shilla, ekspresi wajahnya tidak bisa ditebak, “Mantan?”
tanyanya tenang.
Shilla menganggukkan
kepalanya, “Ya, hubungan kami tidak berjalan sebaik semestinya. Aku memutuskan
hubungan dan rupanya Raka masih belum terima.” Shilla menatap ke pinggir jalan,
“Bisakah aku turun di depan sana?”
Cakka
mengernyit, “Kenapa harus turun di depan sana?”
Dan kenapa
pula aku tidak boleh turun? Shilla membatin, lagipula dia tidak tahu mobil ini
akan dibawa kemana oleh Cakka. Dia harus tetap waspada meskipun Cakka tampaknya
baik dan tidak berniat jahat kepadanya.
“Aku hendak
ke supermarket berbelanja bahan makanan, dari pertigaan itu aku tinggal naik
angkutan umum satu arah ke sana.” Shilla berkata jujur, dia memang hendak naik
angkot ke supermarket itu sebelumnya sebelum insiden Raka yang mencegatnya di
jalan tadi.
“Aku akan
mengantarmu.” Dengan tangkas Cakka membelokkan mobilnya ke arah tikungan yang
dimaksud Shilla.
Shilla
mengernyitkan keningnya, penampilan Cakka seperti orang yang akan berangkat
kerja, dia sangat rapi dengan jas dan dasi yang terpasang di badannya. Apakah
selain memiliki cafe lelaki ini juga bekerja kantoran? Batinnya dalam hati.
“Kau tidak
berangkat bekerja?” Akhirnya Shilla memberanikan diri untuk bertanya.
Cakka terkekeh, “Aku bisa
datang semauku.” Gumamnya misterius, membuat Shilla terdiam dan menebak-nebak.
Mobil lalu
berhenti di parkiran supermarket itu, Shilla membuka pintu dan turun dengan
segera.
‘Terima kasih
sudah mengantarku, dan terima kasih sudah menyelamatkanku dari Raka.” Gumamnya
pelan.
Cakka menatap Shilla
dengan tatapan aneh yang sangat dalam, tidak bisa ditebak apa artinya, lalu
lelaki itu tersenyum lembut,
“Sama-sama
Shilla.” Suaranya terdengar lembut dan menggetarkan. Lalu Cakka memutar
mobilnya dan keluar dari parkiran itu, diiringi tatapan bingung Shilla.
⧫⧫⧫
Dia tidak
bisa berhenti memikirkan lelaki itu.
Bahkan
sekarang di saat dia sudah di rumah dan sibuk memasukkan barang belanjaannya ke
dalam kulkas. Ingatan tentang Cakka, dan wajahnya terngiang-ngiang terus di
benaknya.
Shilla
berusaha melupakan Cakka, dengan cara mengingat pengkhianatan yang dilakukan
oleh Raka sekaligus mengingatkan dirinya sendiri bahwa saat ini bukanlah saat
yang tepat untuk tertarik kepada lelaki baru. Tetapi benaknya tidak mau
berkompromi. Seolah ada sesuatu yang menariknya, membuatnya selalu teringat
kepada Cakka.
⧫⧫⧫
Malam itu Shilla
berjalan dengan was-was menyeberang dari arah apartemennya menuju Garden Cafe.
Dia mengintip ke seluruh jalanan tetapi tidak melihat keberadaan Raka ataupun
mobil birunya, dengan lega dia menarik napas,
Mungkin Raka
telah menyerah untuk sementara.
Shilla lalu
memasuki pintu cafe itu. Seperti biasa, Albert yang sedang ada di dekat bar
menyambutnya,
“Segelas
anggur lagi Nona Shilla?” sapanya ramah,
Shilla
mengangguk dan tersenyum lembut,
“Satu saja ya
Albert.” dia butuh segelas anggur itu untuk membantunya tidur. Tidur dan
melupakan semua hal yang ada di dunia nyata.
Ketika dia
melangkah menuju tempatnya di sudut, dia hampir bertabrakan dengan sosok lelaki
yang tiba-tiba melintas cepat di sana.
“Oh. Maaf.”
Ada senyum di suara lelaki itu, “Aku tidak melihatmu, kau begitu mungil.”
Shilla mendongakkan
kepalanya, dan ternganga, Lelaki itu amat sangat mirip dengan Cakka bagaikan
pinang dibelah dua.
Tetapi
meskipun begitu Shilla tahu kalau lelaki ini bukan Cakka, penampilan mereka
berdua yang pasti sangat berbeda. Lelaki yang ada di depannya ini berambut
setengah panjang sampai menyapu kerahnya, sementara Cakka berpotongan rapi.
Gaya berpakaiannyapun sangat bertolak belakang, Shilla ingat ketika bertemu
Cakka di malam hari waktu itu, dia mengenakan celana khaki yang formal dan
sweater panjang yang membungkus tubuhnya bagaikan model yang elegan. Sementara
lelaki yang ada di depannya ini mengenakan celana jeans yang sangat pudar
hingga hampir putih dan kaos longgar yang sedikit kusut.
Alvin menatap
Shilla yang masih termangu meneliti dirinya lalu tergelak, “Kau pasti mengira
aku adalah Cakka.” Tebaknya lucu lalu mengulurkan tangannya, “Kenalkan aku
Alvin, saudara kembar Cakka.”
Saudara
kembar, pantas saja mereka begitu mirip, batin
Shilla masih kaget. Lalu dia tergeragap dan menyambut uluran tangan lelaki itu
dan menyebutkan namanya. Alvin menggenggam tangannya dengan erat dan
bersemangat, berbeda dengan genggaman tangan Cakka yang halus dan elegan ketika
mereka berkenalan waktu itu.
“Kau temannya
Cakka?” Alvin menatap Shilla dengan menyelidik. Ada nada ingin tahu di dalam
suaranya, meskipun lelaki itu tetap tersenyum manis.
Shilla
menggelengkan kepalanya, dia tidak bisa disebut teman Cakka bukan?
“Bukan. Saya
bukan temannya. Saya pelanggan cafe ini.”
“Oh. Dan kau
mengenal Cakka?”
Shilla
menganggukkan kepalanya, “Saya tahu Cakka pemilik cafe ini, kadang-kadang dia
menyapa pengunjung cafe ini bukan?”
Alvin menyipitkan
matanya, “Menyapa pengunjung cafe ini?” matanya bersinar misterius, “Mungkin
saja.” Senyumnya mengembang, “Oke aku harus pergi, senang bertemu denganmu,
Shilla.” Lelaki itu membungkuk hormat dengan gaya menggoda lalu melangkah
pergi.
Sementara itu
Shilla masih mengamati kepergian Alvin dengan dahi mengerut, ketika Albert mendekatinya.
“Saya lihat
anda sudah bertemu dengan Tuan Alvin.” Gumamnya, mendahului Shilla melangkah ke meja Shilla yang biasanya, lalu
meletakkan anggur dan cemilan pesanan Shilla di meja, “Beliau saudara kembar
Tuan Cakka, tetapi anda lihat sendiri mereka sangat bertolak belakang.”
Seperti
pinang dibelah dua, tetapi sangat bertolak belakang. Shilla menyetujui dalam
hati. Lalu keningnya berkerut ketika mengingat Cakka. Lelaki itu tidak tampak
di mana-mana. Shilla mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, lalu
menghela napas panjang.
Ada apa
dengan dirinya? Dia datang ke cafe ini untuk mengetik cerita dan menyalurkan
isnpirasi menulisnya bukan? Dia datang ke sini bukan untuk bertemu Cakka.
Dengan cepat Shilla membuka laptopnya, lalu mulai mengetik di file yang sudah
disiapkannya. Lama setelahnya, Shilla menyadari bahwa dia membohongi batinnya
sendiri, bahwa dia amat sangat ingin melihat Cakka meskipun hanya sedetik saja.
⧫⧫⧫
Kay tersenyum
ketika menghidangkan makanan itu di meja, dibantu oleh beberapa pelayan dia
meletakkan makanan-makanan itu untuk Cakka. Ya. Kay khusus memasak untuk Cakka
malam ini, dia mengikuti kursus memasak untuk mengisi kesibukannya dan
memutuskan untuk mengundang Cakka mencicipi hasilnya.
“Aromanya
enak.” Cakka tersenyum lembut, “Sepertinya mereka mengajarimu dengan baik.”
Cakka mengambil makanannya dan mencicipi, lalu memutar bola matanya, “Dan
rasanya juga enak.”
Kay terkekeh,
menarik kursi rodanya mendekat dan duduk di seberang Cakka, “Kau yakin kau
tidak berbohong untuk menyenangkanku?”
“Tidak.” Cakka
mengunyah dengan bersemangat, “Masakan ini memang benar-benar lezat.”
“Nanti
setelah kita menikah, aku akan memasakkan makan malam untukmu setiap malam.”
Kay tertawa. “Aku akan memilih menu yang berbeda-beda supaya kau tidak bosan.”
Cakka
langsung menelan dengan susah payah, makanan yang dikunyahnya tiba-tiba terasa
seperti pasir ketika Kay menyinggung pernikahan. Hingga dia harus meminum air
untuk membantunya menelan makanannya.
Dia berusaha
menjaga wajahnya tetap penuh senyum supaya Kay tidak menyadari perubahan
suasana hatinya. Dan rupanya Kay memang tidak menyadarinya, perempuan itu
sedang menerawang membayangkan persiapan pernikahan mereka.
“Mama dan
papa akan pulang dari Australia minggu depan, dan semoga kita bisa membicarakan
persiapan pernikahan dengan lebih terperinci ya.” Mata Kay berkaca-kaca ketika
menatap Cakka. “Terima kasih Cakka, atas cintamu yang penuh maaf, aku bersyukur
karena bisa memilikimu.”
Cakka mencoba
tersenyum tetapi yang muncul adalah senyuman pahit yang tak tertahankan.
⧫⧫⧫
Ketika mobil
Cakka berlalu, Kay menatap dari teras dengan keheningan yang menyesakkan.
Semakin lama
Cakka semakin berbeda dan terasa begitu jauh, dia menyadarinya. Kay tahu
insiden pengkhianatannya yang sangat fatal itu membuat Cakka semakin jauh dari
dirinya. Tetapi lelaki itu bersedia mendampinginya untuk seterusnya,
berkomitmen supaya menjaganya. Dan Kay sangat takut kehilangan Cakka, dia tidak
bisa hidup tanpa lelaki itu.
“Nona Kay mau
dibantu?” seorang pelayannya menengok ke arah teras, ke arahnya.
Kay tersenyum,
“Tidak usah bi, aku bisa membawa kursi rodaku masuk sendiri kok.” Dengan tenang
dia berdiri, lalu melipat kursi rodanya dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Ketika Cakka
sampai di Garden Cafe itu, sudah menjelang tengah malam, jalanan macet karena
malam ini adalah malam libur sehingga Cakka menghabiskan banyak waktunya di
jalanan. Dia melangkah masuk ke arah cafe, berharap-harap cemas, ingin
menemukan sosok Shilla di dalam sana.
Tetapi
perempuan itu tidak ada. Cakka membatin dalam diam. Menahan kekecewaan di
hatinya. Apakah malam ini Shilla tidak menulis di cafe ini?
Albert yang
melihat Cakka datang langsung mendekatinya dan tersenyum memahami, “Nona Shilla
tentu saja datang tadi, dia menulis sebentar lalu pulang. Katanya dia
mengantuk, mungkin anggur merah itu mulai bereaksi kepadanya.” Albert terkekeh,
“Ngomong-ngomong, Nona Shilla tadi berkenalan dengan Tuan Alvin.”
“Shilla
berkenalan dengan Alvin? Bagaimana bisa?”
“Tuan Alvin
tadi pulang tepat pada saat Nona Shilla datang, mereka berpapasan.”
“Oh.” Cakka
menghela napas panjang, menyembunyikan kecemasannya. Kalau sampai Alvin
memperhatikan Shilla, dia pasti akan kalah. Selalu begitu, para perempuan lebih
menyukai Alvin yang penuh canda dan mempesona daripada dirinya yang serius dan
pendiam.
“Aku tidak
ingin Alvin bertemu dengan Shilla lagi, Albert, apapun caranya.” Tiba-tiba dia
merasakan firasat itu. Meskipun dirinya dan Alvin bertolak belakang dalam
segala hal, tetapi dalam selera wanita mereka sama.
Kalau Alvin
tertarik pada perempuan, maka Cakka akan mempunyai ketertarikan yang sama.
Begitupun tentang Kay, Kay dulu tergila-gila kepada Alvin, tetapi karena Alvin
tidak pernah serius dengan perempuan, Kay mengalihkan perhatiannya kepada
Cakka.
Apakah Alvin
merasakan getaran yang sama, yang dirasakanolehnya ketika melihat Shilla?Batin Cakka
bertanya-tanya, mencoba mengusir kecemasan di dalam benaknya.
Sementara
itu Albert mengerutkan keningnya sambil mengawasi Cakka, “Bagaimana caranya
mencegah Tuan Alvin bertemu dengan Nona Shilla? Tuan Alvin bisa datang dan
pergi sesuka hatinya.”
“Kalau ada
Shilla di dalam, tahan Alvin dimanapun dia berada. Pokoknya jangan sampai
mereka bertemu lagi.” Cakka bersikeras. Dia lalu memijit dahinya yang mulai
berdenyut pusing, “Aku lelah sekali hari ini, Albert.”
Albert
mengangkat alisnya, “Karena melewatkan malam bersama Nona Kay?” tebaknya dengan
tepat, membuat Cakka menghela napas panjang, tidak membantah tetapi tidak juga
mengiyakan.
⧫⧫⧫
“Hai.”
Shilla
menolehkan kepalanya dan mengernyit ketika menemukan Cakka sedang bersandar di
dekat pintu putar apartemennya, lelaki itu tampaknya sedang menunggunya,
Benarkah? Shilla
mengernyitkan keningnya.
“Aku
menunggumu dari tadi.” Cakka langsung bergumam, menjawab keraguan Shilla.
“Bagaimana kabarmu? Apakah lelaki itu... mantan tunanganmu, mendatangimu lagi?”
Shilla
tersenyum pahit, “Sepertinya dia memutuskan untuk menyerah sementara.”
“Apa yang dia
lakukan sehingga kau tampak begitu membencinya, Shilla?”
Shilla
tercenung, kenapa Cakka yang dilakukan Kay kepadanya, dia bisa memahami
perasaan Shilla. Dan merasa Shilla lebih beruntung, karena perempuan itu bebas
membenci dan meninggalkan, tidak seperti dirinya.
“Tetapi sepertinya
dia belum menyerah.” Gumam Cakka kemudian, mengingat bagaimana Raka mencekal lengan
Shilla dan memaksa untuk berbicara.
Shilla
tertawa, “Dia memang begitu, tidak pernah mau menerima pendapat orang lain.
Tetapi aku akan menunjukkan kepadanya bahwa kali ini dia tidak punya kesempatan
lagi.”
“Karena kau
seorang pendendam?” Gumam Cakka, sambil tersenyum,
“Bukan.”
Shilla menggelengkan kepalanya, “Karena aku bisa memaafkan, tetapi tidak akan
pernah bisa melupakan.” Jawab Shilla mantap.
Cakka
tertegun, apakah itu juga yang dia rasakan kepada Kay? Bisa memaafkan segala
kesalahan Kay di masa lalunya, tetapi tetap tidak bisa melupakannya?
“Kau mau
kemana?” Cakka menatap penampilan Shilla yang lumayan rapi, dengan celana hitam
dan kemeja formal berwarna krem.
Shilla
mengamati penampilannya sendiri dan tersenyum, “Ini penampilan paling rapi yang
bisa kulakukan. Aku akan menemui editorku dan menghadap perwakilan penerbit di
kota ini, untuk membicarakan kontrak novel terbaruku.”
“Di mana?”
tanya Cakka.
Shilla menyebut nama sebuah
daerah perkantoran yang lumayan jauh dari tempat mereka berdiri sekarang,
“Mau
kuantar?” Cakka langsung menawarkan.
Shilla
langsung menggelengkan kepalanya, tidak mungkin dia menerima tawaran kebaikan
lelaki itu kepadanya. Meskipun dia bertanya-tanya apa yang dilakukan Caakka
menunggunya di sini, “Tidak usah, terima kasih. Aku sudah memesan taksi.”
Senyum Shilla berubah lembut, “Sampai
jumpa.”
“Oke. Sampai
jumpa lagi.” Cakka menyandarkan tubuhnya di dinding, mengamati Shilla yang
melangkah pergi menuju tempat taksinya menunggu. Dicatatnya dalam hatinya
bagaimana Shilla mengatakan ‘sampai jumpa’, dan bukannya ‘selamat tinggal’
kepadanya.
⧫⧫⧫
“Kau
sudah menemukan alamat pria bernama Raka itu?” Cakka menelepon salah satu
pegawai kepercayaannya di kantor cabang mereka di tempat asal Shilla. Dia ingin
menyelidiki tentang Raka. Well, setiap orang yang akan berperang harus
mempelajari musuhnya masing-masing bukan?
Cakka sendiri
tidak tahu kenapa dia melakukannya, tetapi ketertarikannya kepada Shilla
sendiri sungguh sangat mengganggunya. Dia tidak bisa melepaskan Shilla dari
pikirannya, seluruh batinnya tersita untuk Shilla. Perempuan itu telah mendapatkannya
dari pertama kali mereka saling menyapa.
“Dan setelah
kau mendapatkan alamat Raka, apa yang akan kau lakukan?” Albert yang sedari
tadi duduk di ruang kerja Cakka di atas cafe itu mengernyitkan keningnya,
“Menyingkirkannya?”
“Mungkin.”
Mata Cakka bersinar tajam, “Aku sudah terbiasa menyingkirkan orang-orang yang
menghalangi jalanku.”
“Jalanmu?”
Hanya Albert satu-satunya orang yang tahu kekejaman tersembunyi di balik sikap
Cakka yang tenang dan terkendali. Dan hanya Albert pulalah yang berani
membantah dan mempertanyakan semua keputusan Cakka. Karena dia tahu jauh di
dalam hati Cakka, tersimpan kebaikan yang luar biasa besar, bertolak belakang
dengan kekejamannya. Buktinya laki-laki itu tidak tega membuang Kay begitu
saja. “Jalanmu untuk apa, Cakka? Untuk memiliki Shilla? Bukankah kau tidak bisa
memiliki Shilla selama masih ada Kay?”
Ah iya. Kay.
Cakka sendiri
masih belum tahu apa yang akan dilakukannya kepada Kay. Apakah terlalu kejam
meninggalkan Kay yang lumpuh dan tidak berdaya seperti itu?
Tetapi Cakka
tidak bisa membohongi perasaannya, perasaan yang dirasakannya dengan begitu
kuat kepada Shilla.
“Akan
kupikirkan nanti.” Gumam Cakka sekenanya.
Albert langsung
mengangkat alisnya, “Pernikahanmu dengan Kay hampir delapan bulan lagi, Cakka.”
“Aku tahu.”
Dan Cakka harus bisa bersikap tegas, menentukan apa yang akan dilakukannya
selanjutnya.
Albert
sendiri hanya tercenung, dia mencemaskan Cakka. Baginya Cakka sudah seperti
anaknya sendiri karena dia memang tidak punya keluarga lagi. Pada saat Cakka
memutuskan melanjutkan pertunangannya dengan Kay waktu itupun Albert sudah
tidak setuju. Cakka hanya didorong oleh rasa bersalah. Albert takut kalau pada
akhirnya Cakka bisa menemukan orang yang benar-benar dicintainya, dan dia
terlanjut terikat kepada Kay?
Dan
sepertinya, apa yang ditakutkannya sudah terjadi.
⧫⧫⧫
Shilla
menoleh ke arah Angel yang sedang asyik memilih-milih hiasan rumit dari kerang
di bazaar itu,
“Kau belum
selesai?” tanyanya, kakinya mulai kelelahan karena berjalan begitu jauh
mengelilingi seluruh area bazaar yang sangat luas. Angel mengajaknya ke tempat
ini sepulang dia bertemu dengan penerbit tadi. Dan itu adalah sebuah kesalahan
besar, karena begitu berbelanja, sepertinya Angel tidak bisa berhenti.
“Aku masih ingin melihat pakaian di sebelah sana.” Angel
menunjuk sudut yang jauh, “Tadi ketika kita lewat, aku melirik ada satu baju
yang warnanya lucu.”
Shilla
mengernyit ketika membayangkan harus berjalan lagi ke arah sana, “Kenapa kau
tadi tidak berhenti ketika kita lewat sana?”
Angel
tampaknya tidak memahami kelelahan Shilla, “Aku tadi masih ragu apakah aku
menginginkannya atau tidak.” Matanya tertuju pada gelang kerang yang dicobanya,
“Sekarang aku memutuskan bahwa aku menginginkannya.” Angel menyerahkan gelang
yang dipilihnya kepada penjualnya. Lalu menunggu gelang itu dibungkus dan
kemudian dia membayarnya.
Setelah itu dia
setengah menggandeng Shilla ke arah lokasi penjual baju yang dimaksudkannya,
“Yuk.” Gumamnya bersemangat.
Dengan
menyeret langkah, Shilla mengikuti Angel yang berjalan begitu cepat dan
bersemangat. Kakinya sakit, dan dia sedikit oleng ketika menembus keramaian
itu. Seseorang sepertinya tanpa sengaja mendorongnya sehingga tubuhnya tergeser
ke samping, menabrak seseorang.
“Ups.” Gumam
suara itu, sebuah tangan yang kuat menopangnya. Shilla mengenali suara itu dan
dia mendongakkan kepalanya,
“Sepetinya kau
ditakdirkan untuk selalu menabrakku.” Wajah Alvin yang ada di depannya, dan
lelaki itu tersenyum geli menatapnya.
To Be Continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar