Senin, 05 Mei 2014

You've Got Me From Hello 3 -cakshill stories-

You’ve Got Me From Hello
 shanthy agatha









Ya, kalian mungkin bingung, kenapa mimin ngepost hari ini.
Mimin bisanya ngepost kapan aja, udah gitu aja.










Happy Reading...









NO COPAST!










“Mencintai berarti belajar mengalahkan ketakutan untuk tersakiti di kemudian hari.”
3
Shilla mengernyit melihat kehadiran Cakka di sana. Itu pria pemilik cafe itu, batinnya bingung. Tetapi kemudian dia melihat kesempatan untuk melarikan diri dari Raka. Pegangan Raka di tangannya melemah, membuat Shilla bisa menyentakkan tangannya dan melepaskan diri.
“Shilla.” Raka masih berusaha mengikuti Shilla, tetapi dengan cepat Shilla melompat, bersembunyi di belakang punggung Cakka yang bidang. Dan dengan penuh pengertian pula Cakka langsung berdiri melindunginya.
“Saya rasa Shilla tidak mau berbicara lagi dengan anda.’
Mata Raka memancar marah menatap ke arah Cakka, “Saya tidak tahu anda siapa.” Desisnya geram, “Tetapi Shilla adalah tunangan saya dan saya berhak berbicara dengannya.”
“Mantan tunangan.” Shilla menyela dari punggung Cakka, “Dan aku tidak mau berbicara denganmu.”
“Anda dengar bukan?” Cakka melemparkan pandangan mencemooh ke arah Raka, “Saya rasa lebih baik anda meninggalkan Shilla sendirian.”
Kemudian dengan sikap tegas, sebelum Raka bisa berbuat apa-apa, Cakka menggiring Shilla memasuki mobilnya. Meninggalkan Raka yang terperangah dengan muka masam di sana.
⧫⧫⧫
“Dia mantan tunanganku.” Shilla melirik gelisah ke arah Cakka, setelah dia berada di dalam mobil dan Cakka melajutkan mobilnya. Shilla baru menyadari bahwa dia telah begitu saja masuk ke dalam mobil seorang lelaki yang bahkan hampir sama sekali tidak dikenalnya.
Cakka melirik sedikit ke arah Shilla, ekspresi wajahnya tidak bisa ditebak, “Mantan?” tanyanya tenang.
Shilla menganggukkan kepalanya, “Ya, hubungan kami tidak berjalan sebaik semestinya. Aku memutuskan hubungan dan rupanya Raka masih belum terima.” Shilla menatap ke pinggir jalan, “Bisakah aku turun di depan sana?”
Cakka mengernyit, “Kenapa harus turun di depan sana?”
Dan kenapa pula aku tidak boleh turun? Shilla membatin, lagipula dia tidak tahu mobil ini akan dibawa kemana oleh Cakka. Dia harus tetap waspada meskipun Cakka tampaknya baik dan tidak berniat jahat kepadanya.
“Aku hendak ke supermarket berbelanja bahan makanan, dari pertigaan itu aku tinggal naik angkutan umum satu arah ke sana.” Shilla berkata jujur, dia memang hendak naik angkot ke supermarket itu sebelumnya sebelum insiden Raka yang mencegatnya di jalan tadi.
“Aku akan mengantarmu.” Dengan tangkas Cakka membelokkan mobilnya ke arah tikungan yang dimaksud Shilla.
Shilla mengernyitkan keningnya, penampilan Cakka seperti orang yang akan berangkat kerja, dia sangat rapi dengan jas dan dasi yang terpasang di badannya. Apakah selain memiliki cafe lelaki ini juga bekerja kantoran? Batinnya dalam hati.
“Kau tidak berangkat bekerja?” Akhirnya Shilla memberanikan diri untuk bertanya.
Cakka terkekeh, “Aku bisa datang semauku.” Gumamnya misterius, membuat Shilla terdiam dan menebak-nebak.
Mobil lalu berhenti di parkiran supermarket itu, Shilla membuka pintu dan turun dengan segera.
‘Terima kasih sudah mengantarku, dan terima kasih sudah menyelamatkanku dari Raka.” Gumamnya pelan.
Cakka menatap Shilla dengan tatapan aneh yang sangat dalam, tidak bisa ditebak apa artinya, lalu lelaki itu tersenyum lembut,
“Sama-sama Shilla.” Suaranya terdengar lembut dan menggetarkan. Lalu Cakka memutar mobilnya dan keluar dari parkiran itu, diiringi tatapan bingung Shilla.
⧫⧫⧫
Dia tidak bisa berhenti memikirkan lelaki itu.
Bahkan sekarang di saat dia sudah di rumah dan sibuk memasukkan barang belanjaannya ke dalam kulkas. Ingatan tentang Cakka, dan wajahnya terngiang-ngiang terus di benaknya.
Shilla berusaha melupakan Cakka, dengan cara mengingat pengkhianatan yang dilakukan oleh Raka sekaligus mengingatkan dirinya sendiri bahwa saat ini bukanlah saat yang tepat untuk tertarik kepada lelaki baru. Tetapi benaknya tidak mau berkompromi. Seolah ada sesuatu yang menariknya, membuatnya selalu teringat kepada Cakka.
⧫⧫⧫
Malam itu Shilla berjalan dengan was-was menyeberang dari arah apartemennya menuju Garden Cafe. Dia mengintip ke seluruh jalanan tetapi tidak melihat keberadaan Raka ataupun mobil birunya, dengan lega dia menarik napas,
Mungkin Raka telah menyerah untuk sementara.
Shilla lalu memasuki pintu cafe itu. Seperti biasa, Albert yang sedang ada di dekat bar menyambutnya,
“Segelas anggur lagi Nona Shilla?” sapanya ramah,
Shilla mengangguk dan tersenyum lembut,
“Satu saja ya Albert.” dia butuh segelas anggur itu untuk membantunya tidur. Tidur dan melupakan semua hal yang ada di dunia nyata.
Ketika dia melangkah menuju tempatnya di sudut, dia hampir bertabrakan dengan sosok lelaki yang tiba-tiba melintas cepat di sana.
“Oh. Maaf.” Ada senyum di suara lelaki itu, “Aku tidak melihatmu, kau begitu mungil.”
Shilla mendongakkan kepalanya, dan ternganga, Lelaki itu amat sangat mirip dengan Cakka bagaikan pinang dibelah dua.
Tetapi meskipun begitu Shilla tahu kalau lelaki ini bukan Cakka, penampilan mereka berdua yang pasti sangat berbeda. Lelaki yang ada di depannya ini berambut setengah panjang sampai menyapu kerahnya, sementara Cakka berpotongan rapi. Gaya berpakaiannyapun sangat bertolak belakang, Shilla ingat ketika bertemu Cakka di malam hari waktu itu, dia mengenakan celana khaki yang formal dan sweater panjang yang membungkus tubuhnya bagaikan model yang elegan. Sementara lelaki yang ada di depannya ini mengenakan celana jeans yang sangat pudar hingga hampir putih dan kaos longgar yang sedikit kusut.
Alvin menatap Shilla yang masih termangu meneliti dirinya lalu tergelak, “Kau pasti mengira aku adalah Cakka.” Tebaknya lucu lalu mengulurkan tangannya, “Kenalkan aku Alvin, saudara kembar Cakka.”
Saudara kembar, pantas  saja mereka begitu mirip, batin Shilla masih kaget. Lalu dia tergeragap dan menyambut uluran tangan lelaki itu dan menyebutkan namanya. Alvin menggenggam tangannya dengan erat dan bersemangat, berbeda dengan genggaman tangan Cakka yang halus dan elegan ketika mereka berkenalan waktu itu.
“Kau temannya Cakka?” Alvin menatap Shilla dengan menyelidik. Ada nada ingin tahu di dalam suaranya, meskipun lelaki itu tetap tersenyum manis.
Shilla menggelengkan kepalanya, dia tidak bisa disebut teman Cakka bukan?
“Bukan. Saya bukan temannya. Saya pelanggan cafe ini.”
“Oh. Dan kau mengenal Cakka?”
Shilla menganggukkan kepalanya, “Saya tahu Cakka pemilik cafe ini, kadang-kadang dia menyapa pengunjung cafe ini bukan?”
Alvin menyipitkan matanya, “Menyapa pengunjung cafe ini?” matanya bersinar misterius, “Mungkin saja.” Senyumnya mengembang, “Oke aku harus pergi, senang bertemu denganmu, Shilla.” Lelaki itu membungkuk hormat dengan gaya menggoda lalu melangkah pergi.
Sementara itu Shilla masih mengamati kepergian Alvin dengan dahi mengerut, ketika Albert mendekatinya.
“Saya lihat anda sudah bertemu dengan Tuan Alvin.” Gumamnya, mendahului Shilla  melangkah ke meja Shilla yang biasanya, lalu meletakkan anggur dan cemilan pesanan Shilla di meja, “Beliau saudara kembar Tuan Cakka, tetapi anda lihat sendiri mereka sangat bertolak belakang.”
Seperti pinang dibelah dua, tetapi sangat bertolak belakang. Shilla menyetujui dalam hati. Lalu keningnya berkerut ketika mengingat Cakka. Lelaki itu tidak tampak di mana-mana. Shilla mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, lalu menghela napas panjang.
Ada apa dengan dirinya? Dia datang ke cafe ini untuk mengetik cerita dan menyalurkan isnpirasi menulisnya bukan? Dia datang ke sini bukan untuk bertemu Cakka. Dengan cepat Shilla membuka laptopnya, lalu mulai mengetik di file yang sudah disiapkannya. Lama setelahnya, Shilla menyadari bahwa dia membohongi batinnya sendiri, bahwa dia amat sangat ingin melihat Cakka meskipun hanya sedetik saja.
⧫⧫⧫
Kay tersenyum ketika menghidangkan makanan itu di meja, dibantu oleh beberapa pelayan dia meletakkan makanan-makanan itu untuk Cakka. Ya. Kay khusus memasak untuk Cakka malam ini, dia mengikuti kursus memasak untuk mengisi kesibukannya dan memutuskan untuk mengundang Cakka mencicipi hasilnya.
“Aromanya enak.” Cakka tersenyum lembut, “Sepertinya mereka mengajarimu dengan baik.” Cakka mengambil makanannya dan mencicipi, lalu memutar bola matanya, “Dan rasanya juga enak.”
Kay terkekeh, menarik kursi rodanya mendekat dan duduk di seberang Cakka, “Kau yakin kau tidak berbohong untuk menyenangkanku?”
“Tidak.” Cakka mengunyah dengan bersemangat, “Masakan ini memang benar-benar lezat.”
“Nanti setelah kita menikah, aku akan memasakkan makan malam untukmu setiap malam.” Kay tertawa. “Aku akan memilih menu yang berbeda-beda supaya kau tidak bosan.”
Cakka langsung menelan dengan susah payah, makanan yang dikunyahnya tiba-tiba terasa seperti pasir ketika Kay menyinggung pernikahan. Hingga dia harus meminum air untuk membantunya menelan makanannya.
Dia berusaha menjaga wajahnya tetap penuh senyum supaya Kay tidak menyadari perubahan suasana hatinya. Dan rupanya Kay memang tidak menyadarinya, perempuan itu sedang menerawang membayangkan persiapan pernikahan mereka.
“Mama dan papa akan pulang dari Australia minggu depan, dan semoga kita bisa membicarakan persiapan pernikahan dengan lebih terperinci ya.” Mata Kay berkaca-kaca ketika menatap Cakka. “Terima kasih Cakka, atas cintamu yang penuh maaf, aku bersyukur karena bisa memilikimu.”
Cakka mencoba tersenyum tetapi yang muncul adalah senyuman pahit yang tak tertahankan.
⧫⧫⧫
Ketika mobil Cakka berlalu, Kay menatap dari teras dengan keheningan yang menyesakkan.
Semakin lama Cakka semakin berbeda dan terasa begitu jauh, dia menyadarinya. Kay tahu insiden pengkhianatannya yang sangat fatal itu membuat Cakka semakin jauh dari dirinya. Tetapi lelaki itu bersedia mendampinginya untuk seterusnya, berkomitmen supaya menjaganya. Dan Kay sangat takut kehilangan Cakka, dia tidak bisa hidup tanpa lelaki itu.
“Nona Kay mau dibantu?” seorang pelayannya menengok ke arah teras, ke arahnya.
Kay tersenyum, “Tidak usah bi, aku bisa membawa kursi rodaku masuk sendiri kok.” Dengan tenang dia berdiri, lalu melipat kursi rodanya dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Ketika Cakka sampai di Garden Cafe itu, sudah menjelang tengah malam, jalanan macet karena malam ini adalah malam libur sehingga Cakka menghabiskan banyak waktunya di jalanan. Dia melangkah masuk ke arah cafe, berharap-harap cemas, ingin menemukan sosok Shilla di dalam sana.
Tetapi perempuan itu tidak ada. Cakka membatin dalam diam. Menahan kekecewaan di hatinya. Apakah malam ini Shilla tidak menulis di cafe ini?
Albert yang melihat Cakka datang langsung mendekatinya dan tersenyum memahami, “Nona Shilla tentu saja datang tadi, dia menulis sebentar lalu pulang. Katanya dia mengantuk, mungkin anggur merah itu mulai bereaksi kepadanya.” Albert terkekeh, “Ngomong-ngomong, Nona Shilla tadi berkenalan dengan Tuan Alvin.”
“Shilla berkenalan dengan Alvin? Bagaimana bisa?”
“Tuan Alvin tadi pulang tepat pada saat Nona Shilla datang, mereka berpapasan.”
“Oh.” Cakka menghela napas panjang, menyembunyikan kecemasannya. Kalau sampai Alvin memperhatikan Shilla, dia pasti akan kalah. Selalu begitu, para perempuan lebih menyukai Alvin yang penuh canda dan mempesona daripada dirinya yang serius dan pendiam.
“Aku tidak ingin Alvin bertemu dengan Shilla lagi, Albert, apapun caranya.” Tiba-tiba dia merasakan firasat itu. Meskipun dirinya dan Alvin bertolak belakang dalam segala hal, tetapi dalam selera wanita mereka sama.
Kalau Alvin tertarik pada perempuan, maka Cakka akan mempunyai ketertarikan yang sama. Begitupun tentang Kay, Kay dulu tergila-gila kepada Alvin, tetapi karena Alvin tidak pernah serius dengan perempuan, Kay mengalihkan perhatiannya kepada Cakka.
Apakah Alvin merasakan getaran yang sama, yang dirasakanolehnya ketika melihat Shilla?Batin Cakka bertanya-tanya, mencoba mengusir kecemasan di dalam benaknya.
Sementara itu Albert mengerutkan keningnya sambil mengawasi Cakka, “Bagaimana caranya mencegah Tuan Alvin bertemu dengan Nona Shilla? Tuan Alvin bisa datang dan pergi sesuka hatinya.”
“Kalau ada Shilla di dalam, tahan Alvin dimanapun dia berada. Pokoknya jangan sampai mereka bertemu lagi.” Cakka bersikeras. Dia lalu memijit dahinya yang mulai berdenyut pusing, “Aku lelah sekali hari ini, Albert.”
Albert mengangkat alisnya, “Karena melewatkan malam bersama Nona Kay?” tebaknya dengan tepat, membuat Cakka menghela napas panjang, tidak membantah tetapi tidak juga mengiyakan.
⧫⧫⧫
“Hai.”
Shilla menolehkan kepalanya dan mengernyit ketika menemukan Cakka sedang bersandar di dekat pintu putar apartemennya, lelaki itu tampaknya sedang menunggunya,
Benarkah? Shilla mengernyitkan keningnya.
“Aku menunggumu dari tadi.” Cakka langsung bergumam, menjawab keraguan Shilla. “Bagaimana kabarmu? Apakah lelaki itu... mantan tunanganmu, mendatangimu lagi?”
Shilla tersenyum pahit, “Sepertinya dia memutuskan untuk menyerah sementara.”
“Apa yang dia lakukan sehingga kau tampak begitu membencinya, Shilla?”
Shilla tercenung, kenapa Cakka yang dilakukan Kay kepadanya, dia bisa memahami perasaan Shilla. Dan merasa Shilla lebih beruntung, karena perempuan itu bebas membenci dan meninggalkan, tidak seperti dirinya.
“Tetapi sepertinya dia belum menyerah.” Gumam Cakka kemudian, mengingat bagaimana Raka mencekal lengan Shilla dan memaksa untuk berbicara.
Shilla tertawa, “Dia memang begitu, tidak pernah mau menerima pendapat orang lain. Tetapi aku akan menunjukkan kepadanya bahwa kali ini dia tidak punya kesempatan lagi.”
“Karena kau seorang pendendam?” Gumam Cakka, sambil tersenyum,
“Bukan.” Shilla menggelengkan kepalanya, “Karena aku bisa memaafkan, tetapi tidak akan pernah bisa melupakan.” Jawab Shilla mantap.
Cakka tertegun, apakah itu juga yang dia rasakan kepada Kay? Bisa memaafkan segala kesalahan Kay di masa lalunya, tetapi tetap tidak bisa melupakannya?
“Kau mau kemana?” Cakka menatap penampilan Shilla yang lumayan rapi, dengan celana hitam dan kemeja formal berwarna krem.
Shilla mengamati penampilannya sendiri dan tersenyum, “Ini penampilan paling rapi yang bisa kulakukan. Aku akan menemui editorku dan menghadap perwakilan penerbit di kota ini, untuk membicarakan kontrak novel terbaruku.”
“Di mana?” tanya Cakka.
Shilla menyebut nama sebuah daerah perkantoran yang lumayan jauh dari tempat mereka berdiri sekarang,
“Mau kuantar?” Cakka langsung menawarkan.
Shilla langsung menggelengkan kepalanya, tidak mungkin dia menerima tawaran kebaikan lelaki itu kepadanya. Meskipun dia bertanya-tanya apa yang dilakukan Caakka menunggunya di sini, “Tidak usah, terima kasih. Aku sudah memesan taksi.” Senyum Shilla  berubah lembut, “Sampai jumpa.”
“Oke. Sampai jumpa lagi.” Cakka menyandarkan tubuhnya di dinding, mengamati Shilla yang melangkah pergi menuju tempat taksinya menunggu. Dicatatnya dalam hatinya bagaimana Shilla mengatakan ‘sampai jumpa’, dan bukannya ‘selamat tinggal’ kepadanya.
⧫⧫⧫
“Kau sudah menemukan alamat pria bernama Raka itu?” Cakka menelepon salah satu pegawai kepercayaannya di kantor cabang mereka di tempat asal Shilla. Dia ingin menyelidiki tentang Raka. Well, setiap orang yang akan berperang harus mempelajari musuhnya masing-masing bukan?
Cakka sendiri tidak tahu kenapa dia melakukannya, tetapi ketertarikannya kepada Shilla sendiri sungguh sangat mengganggunya. Dia tidak bisa melepaskan Shilla dari pikirannya, seluruh batinnya tersita untuk Shilla. Perempuan itu telah mendapatkannya dari pertama kali mereka saling menyapa.
“Dan setelah kau mendapatkan alamat Raka, apa yang akan kau lakukan?” Albert yang sedari tadi duduk di ruang kerja Cakka di atas cafe itu mengernyitkan keningnya, “Menyingkirkannya?”
“Mungkin.” Mata Cakka bersinar tajam, “Aku sudah terbiasa menyingkirkan orang-orang yang menghalangi jalanku.”
“Jalanmu?” Hanya Albert satu-satunya orang yang tahu kekejaman tersembunyi di balik sikap Cakka yang tenang dan terkendali. Dan hanya Albert pulalah yang berani membantah dan mempertanyakan semua keputusan Cakka. Karena dia tahu jauh di dalam hati Cakka, tersimpan kebaikan yang luar biasa besar, bertolak belakang dengan kekejamannya. Buktinya laki-laki itu tidak tega membuang Kay begitu saja. “Jalanmu untuk apa, Cakka? Untuk memiliki Shilla? Bukankah kau tidak bisa memiliki Shilla selama masih ada Kay?”
Ah iya. Kay.
Cakka sendiri masih belum tahu apa yang akan dilakukannya kepada Kay. Apakah terlalu kejam meninggalkan Kay yang lumpuh dan tidak berdaya seperti itu?
Tetapi Cakka tidak bisa membohongi perasaannya, perasaan yang dirasakannya dengan begitu kuat kepada Shilla.
“Akan kupikirkan nanti.” Gumam Cakka sekenanya.
Albert langsung mengangkat alisnya, “Pernikahanmu dengan Kay hampir delapan bulan lagi, Cakka.”
“Aku tahu.” Dan Cakka harus bisa bersikap tegas, menentukan apa yang akan dilakukannya selanjutnya.
Albert sendiri hanya tercenung, dia mencemaskan Cakka. Baginya Cakka sudah seperti anaknya sendiri karena dia memang tidak punya keluarga lagi. Pada saat Cakka memutuskan melanjutkan pertunangannya dengan Kay waktu itupun Albert sudah tidak setuju. Cakka hanya didorong oleh rasa bersalah. Albert takut kalau pada akhirnya Cakka bisa menemukan orang yang benar-benar dicintainya, dan dia terlanjut terikat kepada Kay?
Dan sepertinya, apa yang ditakutkannya sudah terjadi.
⧫⧫⧫
Shilla menoleh ke arah Angel yang sedang asyik memilih-milih hiasan rumit dari kerang di bazaar itu,
“Kau belum selesai?” tanyanya, kakinya mulai kelelahan karena berjalan begitu jauh mengelilingi seluruh area bazaar yang sangat luas. Angel mengajaknya ke tempat ini sepulang dia bertemu dengan penerbit tadi. Dan itu adalah sebuah kesalahan besar, karena begitu berbelanja, sepertinya Angel tidak bisa berhenti.
“Aku masih ingin melihat pakaian di sebelah sana.” Angel menunjuk sudut yang jauh, “Tadi ketika kita lewat, aku melirik ada satu baju yang warnanya lucu.”
Shilla mengernyit ketika membayangkan harus berjalan lagi ke arah sana, “Kenapa kau tadi tidak berhenti ketika kita lewat sana?”
Angel tampaknya tidak memahami kelelahan Shilla, “Aku tadi masih ragu apakah aku menginginkannya atau tidak.” Matanya tertuju pada gelang kerang yang dicobanya, “Sekarang aku memutuskan bahwa aku menginginkannya.” Angel menyerahkan gelang yang dipilihnya kepada penjualnya. Lalu menunggu gelang itu dibungkus dan kemudian dia membayarnya.
Setelah itu dia setengah menggandeng Shilla ke arah lokasi penjual baju yang dimaksudkannya, “Yuk.” Gumamnya bersemangat.
Dengan menyeret langkah, Shilla mengikuti Angel yang berjalan begitu cepat dan bersemangat. Kakinya sakit, dan dia sedikit oleng ketika menembus keramaian itu. Seseorang sepertinya tanpa sengaja mendorongnya sehingga tubuhnya tergeser ke samping, menabrak seseorang.
“Ups.” Gumam suara itu, sebuah tangan yang kuat menopangnya. Shilla mengenali suara itu dan dia mendongakkan kepalanya,
“Sepetinya kau ditakdirkan untuk selalu menabrakku.” Wajah Alvin yang ada di depannya, dan lelaki itu tersenyum geli menatapnya.










To Be Continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar