“Ada
kesalahan-kesalahan dalam percintaan yang bisa dimaafkan, tetapi pengkhianatan
tidak termasuk salah satu di antaranya.”
2
Ponsel Shilla berbunyi sore itu,
dan dia langsung mengangkatnya ketika mengetahui bahwa yang menelepon adalah
mamanya,
“Shilla?” mamanya langsung
berbicara seperti kebiasaannya, “Mama harus memperingatkanmu.”
“Memperingatkan apa mama?” Dahi
Shilla mengeryit dan langsung waspada. Mamanya tidak pernah berucap dengan nada
seserius ini sebelumnya.
“Raka.” Suara sang mama setengah
berbisik, “Dia datang kemari pagi ini dan memohon kepada mama untuk memberikan
informasi di mana dirimu.”
“Mama tidak memberitahukannya
kepadanya kan?” Shilla langsung panik. Percuma dia pindah ke lain kota kalau
pada akhirnya Jeremy mengetahui dia ada di mana.
“Tentu saja tidak sayang.” Sang
mama menghela napas panjang, “Tetapi sepertinya dia tidak menyerah, dia bilang
pada akhirnya kalau mama tidak mau mengatakan di mana dirimu, dia akan tetap
tahu karena dia akan menghubungi kantor penerbitmu.”
Shilla mengernyit kesal. Kalau Raka menghubungi kantor penerbitnya,
tentu saja Raka akan tahu dimana dia berada. Dia mendesah kesal, tetapi tidak
bisa berbuat apa-apa, Shilla hanya tidak menyangka kenapa Raka sekeras kepala
ini mengejarnya. Apakah lelaki itu tidak bisa menerima bahwa Shilla tidak bisa
memaafkannya?
“Terima kasih sudah memperingatkanku mama, ada
kemungkinan bahwa dia sudah tahu di mana aku berada, aku menginformasikan
kepindahanku dan alamat baruku kepada penerbit. Aku akan bersiap kalau Jeremy
nekat dan mendatangiku.”
“Kau tidak apa-apa Shilla?” suara
mamanya tampak cemas di seberang sana, membuat Shilla tersenyum haru.
“Tidak apa-apa, mama, aku bisa
bertahan.” Jawabnya mencoba sekuat mungkin meskipun dalam hatinya dia meragu.
⧫⧫⧫
Perempuan itu datang lagi malam
ini, dan memesan segelas anggur untuk teman menulisnya. Cakka mengernyit, dari
info yang didapatnya dari Albert, Shilla adalah seorang penulis novel romance.
Tetapi sepertinya Shilla sedang murung karena beberapa kali perempuan itu hanya
menghela napasnya di depan laptopnya, lalu mengawasi layar laptop itu dengan
tatapan mata kosong.
Cakka merasa seperti pengintip
yang memalukan ketika berdiri di depan kaca balkon atas dan mengamati Sani
seperti ini, tetapi dia tidak bisa menahan diri. Sudah beberapa hari ini Shilla
selalu datang. Setiap pukul sembilan lalu akan menulis sampai dini hari sebelum
kemudian pulang ketika terang tanah menyentuh langit. Cakka tidak bisa menahan
ketertarikannya untuk mengintip ke bawah, menanti kedatangan Shilla. Dan sejauh
ini, perempuan itu tetap datang.
Ada keinginan tertahannya untuk
mendekati perempuan itu, tetapi dia menahan diri. Dia takut kalau dia terlalu
mengganggu, Shilla akan merasa segan dan kemudian tidak akan datang lagi.
“Perempuan itu datang lagi.”
Albert yang tiba-tiba sudah ada di ambang pintu ruang kerja Cakka bergumam
sambil tersenyum penuh pengertian, mengamati Cakka. “Kau sepertinya sangat
tertarik kepadanya.”
“Kenapa kau bisa berpikiran
begitu?” Cakka mundur dari kaca itu dan melangkah menuju kursi kerjanya. Albert
adalah tangan kanannya, orang kepercayaannya. Lelaki itu dulu adalah pegawai
setia ayahnya, dan orang yang paling dipercaya oleh ayahnya. Setelah ayah Cakka
meninggal dan dia mewarisinya jaringan kerajaan bisnis hotel dan restoran ini,
Albertlah yang selalu membantunya, memberinya pendapat dari sisi pengalaman,
melengkapi apa yang tidak dimiliki oleh Azka.
Karena itulah Cakka menghadiahi
Albert cafe ini, tetapi lelaki setengah baya itu menolaknya. Dia hanya ingin
tinggal di sebuah apartemen mini di bagian atas cafe dan tetap ingin bekerja
menjadi pelayan meskipun Cakka sudah melarangnya. Tetapi Albert bilang bahwa
menjadi pelayan cafe ini bisa membantunya tetap hidup. Dia kesepian dan
bercakap-cakap dengan para pelanggan bisa menyembuhkan sepinya, karena itulah
Cakka mengizinkan Albert menjadi pelayan di Garden Cafe ini.
Albert meletakkan kopi panas untuk
Cakka dan tersenyum, “Kau menyapanya malam itu, kau bahkan tidak pernah menyapa
pelanggan lain sebelumnya.”
Cakka tersenyum kecut, rupanya dia
terlalu mudah terbaca oleh Albert, “Tetapi bukan berarti aku tertarik
kepadanya.”
“Oh ya?” Albert mengangkat
alisnya, “Sebelumnya kau tidak pernah menginap di cafe ini.” Seperti halnya
Albert, Cakka mempunyai apartemen sendiri di sisi lain di bagian atas cafe ini.
Tetapi dia memang jarang memakainya, karena dia selalu pulang ke rumahnya,
kawasan hijau dan sejuk di perbukitan pinggiran kota, dekat dengan area resor
hotelnya. “Dan aku hitung, sejak kau menyapa perempuan itu, kau selalu datang
kemari setiap malam, tanpa absen.”
Cakka terkekeh mendengar perkataan
Albert, “Aku memang tidak bisa membohongimu ya.”
“Aku sudah mengenalmu sejak kecil.” Albert
tertawa, “Kau tidak pernah bertingkah seperti ini sebelumnya dengan perempuan
manapun.” Albert berdehem, “Begitu juga ketika dengan Kay.”
Cakka tertegun ketika nama Kay disebut. Wajahnya
sedikit memucat, dia lalu memalingkan muka dengan murung.
“Tetapi pada akhirnya semua akan tetap sama bukan?”
gumamnya sedih, “Seberapa besarpun aku tertarik kepada perempuan itu, aku tidak
akan pernah bisa memilikinya.”
“Kau bisa memilikinya kalau kau
mampu mengambil keputusan tegas.”
“Tidak.” Cakka mengernyit seolah
kesakitan, “Aku memang bukan orang baik. Tetapi aku masih punya hati.”
Tuhan tahu dia sudah tidak
mencintai Kay, tunangannya. Tetapi dia masih punya hati. Kesalahannya harus
dibayar, meskipun perasaannya yang dikorbankan.
⧫⧫⧫
“Cakka?” Suara lembut Kay
menggugah Cakka dari lamunannya, membuat Cakka menoleh dan langsung tersenyum
lembut,
“Iya sayang?”
Kay menyelipkan rambut panjangnya
yang indah di belakang telinganya, dan tersenyum lembut,
“Ada apa? Kau tampak begitu
murung.”
Cakka mendesah, “Ah..iya...
mungkin aku sedikit tidak enak badan.” Itu yang sesungguhnya. Dia sungguh
merasa tidak enak badan, dia tidak suka berada di sini, tetapi dia harus.
Setiap akhir pekan setelah kesibukan kantornya berakhir, dia harus berada di
sini, menghabiskan waktunya bersama Kay, tunangannya. Tetapi pikirannya
mengembara, ke cafe itu, tempat perempuan bernama Shilla itu selalu datang dan
menulis di sana sampai dini hari.
Cakka tidak sabar untuk segera
pergi dari sini dan menuju Garden Cafe, mengamati Shilla dari kejauhan.
“Pulanglah.” Bisik Kay lembut,
penuh pengertian, “Mungkin kau kelelahan dan butuh istirahat.”
Kay selalu seperti itu, begitu
lembut dan penuh pengertian. Apapun yang dilakukan Cakka dia selalu mengerti.
Apalagi yang sebenarnya Cakka cari?
Ditatapnya Kay dengan senyuman lembut, kemudian dia
menarik Kay mendekat dan mengecup keningnya,
“Kau mau kuantar masuk?”
“Tidak Cakka, pulanglah, aku bisa
masuk sendiri.” Jawab Kay tanpa kehilangan senyumnya.
Cakka menghela napas, lalu
menyentuhkan jemarinya di rambut Kay dengan lembut, “Terimakasih Kay, sampai
ketemu lagi besok ya.”
Kay mengangguk, memundurkan kursi
rodanya dan memutarnya memasuki rumah. Cakka menunggu sampai pintu rumah itu
tertutup, lalu melangkah pergi, tanpa menoleh lagi.
⧫⧫⧫
Dalam perjalanannya pulang dari
rumah Kay, Cakka merenung. Dulu semuanya baik-baik saja. Cakka melabuhkan
cintanya kepada Kay, dan memutuskan untuk melamarnya. Tetapi kemudian dia
larut, sibuk dalam pekerjaannya dan lupa untuk memberikan perhatiannya kepada
perempuan itu.
Kay yang kehilangan cintanya,
akhirnya memutuskan untuk mencari perhatian dari lelaki lain. Dan dia
mendapatkannya dari sosok lelaki bernama Edo, yang ternyata adalah seorang
bajingan.
Bajingan itu merenggut kegadisan
Kay yang sedang rapuh karena diabaikan oleh Cakka. Lalu kemudian
meninggalkannya begitu saja dalam kondisi hamil.
Masa-masa itu sangat menyakitkan
bagi Cakka, ketika Kay datang kepadanya dan mengakui semuanya, tentu saja Cakka
marah besar. Mereka sedang berkendara di mobil, di tengah hujan deras ketika
Kay mengakui semuanya kepada Cakka. Cakka yang marah menginjak gas begitu
kencang untuk meluapkan emosinya hingga kehilangan kewaspadaannya. Mereka lalu
mengalami kecelakaan fatal, kecelakaan yang membuat Kay keguguran anak hasil
hubungannya dengan Edo, dan tidak bisa berjalan lagi selamanya.
Cakka sendiri hanya mengalami lecet-lecet,
dia mendengar kenyataan bahwa Kay akan lumpuh dan merasakan penyesalan yang
luar biasa. Dialah penyebab semua ini, Kay menjadi lumpuh seumur hidup karena
dirinya, karena dialah mereka mengalami kecelakaan parah itu. Padahal
perselingkuhan Kay kalau ditelah adalah karena kesalahannya, Cakka terlalu
sibuk dengan bisnisnya sehingga melupakan Kay. Bahkan dia hampir tidak punya
waktu untuk tunangannya itu, jadi wajar kalau Kay sampai mengais perhatian dari
lelaki lain.
Lalu Cakka memutuskan bahwa dia
harus bertanggungjawab. Dan pagi itu pula ketika Kay tersadarkan diri dari
kecelakaan, menangis ketika mengetahui bahwa dia tidak bisa berjalan lagi, Cakka
memeluknya dan mengatakan bahwa dia akan selalu mendampingi Kay selamanya. Dia
memaafkan kekhilafan Kay dan bertekad untuk melangkah ke depan, meninggalkan
yang lalu.
Cakka mengira itu akan mudah. Toh
dia mencintai Kay sebelum kejadian itu, dipikirnya dia hanya perlu memaafkan
dan kemudian menjalani keadaan mereka seperti sebelumnya. Tetapi kemudian dia
merasakan perasaannya mulai terkikis dan musnah, setiap menatap perempuan
cantik itu. Lalu menyadari kenyataan bahwa Kay telah mengkhianatinya dan membiarkan
dirinya disentuh oleh lelaki lain sampai sedemikian jauhnya.
Hari demi hari berlalu, sampai di
titik cintanya musnah begitu saja. Dia menjalani harinya dengan Kay hanya
karena dia merasa harus melakukannya. Cakka yakin dia bisa melakukannya, toh hatinya
sudah mati rasa.
Sampai kemudian dia melihat
Shilla, dan terpesona lalu tertarik kepadanya.
Albert memang benar, Cakka tidak
pernah tertarik kepada perempuan lain sebelumnya. Begitu kuat, begitu
memabukkan, membuatnya tak bisa memikirkan yang lain. Membuatnya ingin mencoba
mendekat bahkan meskipun dia sadar bahwa dia tidak bisa memiliki perempuan itu.
Sejenak Cakka ragu, dia berada di
persimpangan jalan, satu menuju ke arah rumahnya dan yang lain menuju ke arah
Garden Cafe. Pada akhirnya Cakka mengarahkan mobilnya ke arah Garden
Cafe. Dia ingin melihat Shilla.
⧫⧫⧫
Ketika dia memasuki pintu cafe
itu, matanya mencari di sudut yang biasa, dan menemukan Shilla. Perempuan itu
sedang mengetik seperti biasa ditemani segelas anggur merah yang tinggal
tersisa setengahnya.
Sejenak Cakka ragu, tetapi kemudian dia
mendekat,
“Aku heran anggur itu tidak
membuatmu mengantuk.”
Sihlla langsung mendongak
mendengar sapaannya, ada tatapan terkejut di sana ketika melihat Cakka berdiri
di depannya. Tetapi kemudian dia tersenyum lembut.
“Aku punya penyakit susah tidur
akhir-akhir ini. Kata Albert anggur ini bisa membantu, tetapi sepertinya aku
kebal.”
Cakka tersenyum, “Kalau kau ingin
mengantuk jangan ikuti nasehat Albert, minumlah susu putih.”
“Susu putih?” Shilla mengeryit,
“Aku tidak suka susu putih, rasanya terlalu gurih dan menguarkan aroma yang
aneh di hidung, membuatku mual.”
Kali ini Cakka benar-benar
terkekeh geli, “Aku baru kali ini mendengarkan deskripsi yang begitu menarik
tentang susu putih.” Godanya, “Apa yang sedang kau tulis?” Tanpa sadar Cakka
menarik kursi dan duduk di depan Shilla.
“Roman percintaan.” Pipi Shilla
memerah, menyadari bahwa dia ditatap oleh lelaki yang begitu tampan, dengan
mata cokelat muda dan rambut berantakan yang tampak sangat menggoda. Tetapi
kemudian dia mengeraskan hati.
Semakin tampan seorang lelaki
berarti semakin berbahaya dirinya. Gumamnya dalam hati.
“Roman percintaan? Dan sepertinya
kau sedang kehabisan ide?”
Bagaimana lelaki ini tahu?
Shilla mengangkat bahunya, “Tokoh
utama di ceritaku saling membenci, dan aku merasakan dorongan kuat untuk
membiarkannya seperti itu.”
Cakka terkekeh, “Tetapi kau tidak bisa membiarkannya
seperti itu?”
“Tidak bisa.” Gumam Shilla penuh
penyesalan, “Karena ini cerita roman, dan cerita roman karanganku harus
berujung Happy Ending.”
“Kenapa?”
“Apanya?”
“Kenapa harus Happy Ending?”
Cakka menatap ke arah Shilla dengan tajam, membuat Shilla sedikit salah
tingkah.
“Karena di kehidupan nyata
kadangkala Happy Ending bukanlah milik kita.” Ingatan Shilla langsung
melayang kepada Raka dan dia tersenyum pahit, “Karena itulah setidaknya novelku
bisa menjadi pengobat luka hati.”
“Kau benar-benar penulis novel
yang baik dan memikirkan perasaan pembacanya.” Gumam Cakka sambil tersenyum,
yang ditanggapi Shilla dengan mengangkat bahunya.
“Aku hanya ingin menyajikan kisah
yang indah untuk pembacaku.”
“Misi yang luar biasa baik, dan aku yakin
itu bisa membantu semua orang, karena kadang di dunia nyata ini kita tidak
selalu berakhir indah.” Cakka bangkit dari duduknya dan menganggukkan kepala
sopan, “Silahkan lanjutkan menulis, maaf atas gangguanku.”
⧫⧫⧫
Cakka sedang mengenakan dasinya untuk
berangkat ke kantor pusatnya di area resor hotelnya ketika pintu apartemen
pribadinya di lantai dua cafe itu diketuk. Dia mengernyitkan keningnya, hari
masih pagi. Cafe di bawah memang buka duapuluh empat jam, tetapi yang pasti
tidak akan ada yang berani mengetuk pintunya sepagi ini. Bahkan Albertpun tidak
akan melakukannya.
Dengan jengkel sekaligus ingin
tahu, Cakka membuka pintu ruang kerjanya dan menemukan Alvin berdiri di sana. Saudara
kembarnya.
“Kenapa kau kemari pagi sekali?”
Cakka mengernyit, menatap adiknya ingin tahu. Cakka dilahirkan lebih dulu 3
menit sebelum Alvin. Karena itulah dia selalu menganggap dirinya sebagai kakak.
Lagipula, secara kepribadian, dia memang lebih dewasa dibandingkan Alvin. Alvin
terlalu berpikiran bebas, dia bahkan tidak mau memegang perusahaan warisan ayah
mereka dan memilih mengejar impiannya menjadi seorang pelukis. Kadang Cakka
merasa iri kepada Keenan karena kemampuannya untuk merasa bebas dan lepas dari
tanggung jawab.
Cakka sendiri tidak bisa.
Perusahaan ayahnya harus dikendalikan. Dan karena Alvin tidak bisa diandalkan,
maka dia mengambil alih seluruh tanggung jawab itu di pundaknya.
Mungkin dia memang ditakdirkan
untuk selalu memikul tanggung jawab terhadap orang lain di pundaknya, pikirnya pahit.
Sementara itu Alvin tampak tidak
peduli, dia melangkah masuk ke apartemen Cakka dan membanting tubuhnya di sofa,
“Aku sedang menerima proyek
melukis untuk desain kantor di dekat resor kita. Pekerjaan itu baru selesai
tadi pagi dan aku memutuskan untuk berkunjung ke rumahmu pagi ini sekaligus
menumpang tidur. Tetapi kata pelayan sudah berhari-hari kau tidak ada di sana
dan tidur di Garden Cafe.” Alvin merengut, “Jadi aku terpaksa menyusul kemari.”
Cakka meraih jasnya dan melirik
adiknya tanpa ekspresi, “Kau bisa menumpang tidur di kamar.” Gumamnya tenang,
“Aku harus bekerja.”
“Kau tampak tidak sehat.” Gumam
Alvin ketika mengamatinya, “Dan kurus. Apakah memimpin perusahaan ini membuatmu
begitu sibuk sampai lupa mengurus dirimu?”
Mereka berdua memang sudah lama
tidak bertemu, hampir enam bulan lebih. Itu karena Alvin memutuskan ke Belanda,
untuk mengunjungi guru melukisnya di sana. Adik kembarnya itu baru pulang
sebulan yang lalu, tetapi mereka sama-sama sibuk hingga sekaranglah pertemuan
mereka yang pertama setelah enam bulan berlalu.
Cakka sendiri mengamati adiknya
yang tampak beban lalu mengernyit.
“Salah satu dari kita harus
menjalankan perusahaan ini.”
“Kau tidak perlu melakukannya, kau
tahu itu.” Alvin memundurkan tubuhnya dan menyandarkan dirinya di sofa,
“Perusahaan itu bisa saja kau serahkan kepada para tangan kanan ayah, selama
ini bukankah mereka juga yang menjalankannya?”
“Tetapi perusahaan ini tetap butuh
seseorang yang mengendalikannya, Alvin.” Cakka bergumam tajam. “Aku bukan orang
bebas yang bisa melepaskan tanggung jawab seperti dirmu.” Sindirnya.
Alvin malahan tertawa, “Dan kaupun
memikul tanggung jawab itu, ciri khas seorang Caka.” Wajahnya berubah serius,
“Sama halnya seperti yang kaulakukan kepada Kay.”
“Aku tidak mau membicarakannya.”
Cakka langsung memalingkan muka, berusaha memutus percakapan. Mereka pasti akan
berakhir dengan adu argumentasi ketika membicarakan Kay.
Alvin adalah salah satu orang yang
menentang keras ketika Cakka melanjutkan pertunangannya dengan Kay. Dia tentu
saja tahu tentang pengkhianatan Kay dan menganggap Cakka bodoh karena memikul
tanggung jawab terhadap Kay. Padahal kecelakaan yang dialami Kay seharusnya
bukanlah kesalahan Cakka.
“Tidakkah kau bertanya-tanya bahwa
sebenarnya ada jodohmu di luar sana?” Alvin terus mengejar, tidak peduli akan
ekspresi membunuh yang dilemparkan Cakka kepadanya, “Tidakkah kau ingin tahu
bahwa pasangan jiwamu sedang menunggu jauh di sana? Menanti untuk kau temukan?
Kalau kau terus terpaku pada Kay, yang jelas-jelas tidak kau cintai, kau akan
kehilangan kesempatanmu untuk menemukan jodohmu yang sesungguhnya.”
“Aku tidak menyangka kau bisa
begitu puitis.” Cakka berusaha menghindar dari bahasan tentang Kay. Dia sedang
tidak mau memikirkannya.
“Aku seorang seniman, meskipun aku
pelukis, tetap saja aku bisa puitis.” Alvin tertawa, “Berbeda dengan dirimu
yang begitu kaku.” Wajahnya melembut, “Aku hanya ingin kau berhenti menyiksa
dirimu, kak.”
Apakah sejelas itu?
Cakka berusaha memasang wajah
datar, “Kalau kau ingin aku sedikit lebih baik, bantulah aku di perusahaan.”
‘Tidak.” Alvin langsung menjawab cepat,
“Berkemeja rapi, memakai jas dan dasi bukanlah gayaku. Aku bisa mati bosan
kalau bekerja di kantor.” Dengan santai dia melangkah berdiri dan menuju kamar
Cakka, “Selamat menikmati harimu.” Gumamnya santai lalu menghilang ke dalam
kamar.
⧫⧫⧫
Shilla sedang melangkah keluar
dari pintu putar apartemennya, hendak menuju ke supermarket terdekat untuk
membeli bahan makanan sebagai pengisi kulkasnya ketika langkahnya membeku di
trotoar.
Mobil warna biru itu dengan pelat nomor
yang sangat dikenalnya.
Itu mobil Raka...
Dan benar saja, lelaki itu
melangkah keluar dari mobilnya dan berdiri tepat di depan Shilla,
“Hai Shilla.” Sapanya seolah-olah tidak
pernah terjadi apa-apa di antara mereka, “Apa kabarmu? Aku kemari untuk
mengunjungimu, aku merindukanmu.” Bisiknya lembut.
Bisikan itu dulu pernah membuat
hati Shilla hangat. Tetapi sekarang tidak lagi, dia menggertakkan giginya
dengan marah,
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Raka mengangkat bahunya,
“Mengunjungimu tentu saja, kau pikir apa? Aku harap setelah kau puas dengan
tingkah kekanak-kanakanmu kita bisa bercakap-cakap dengan kepala dingin.”
Tingkah kekanak-kanakannya,
katanya?
Shillai menahan dirinya untuk maju
dan menampar Raka. Berani-beraninya lelaki itu muncul di depannya seolah tidak
bersalah dan mengganggu ketenangan hidupnya lagi.
“Aku tidak mau bercakap-cakap
denganmu. Minggir.” Gumam Shilla marah, ketika Raka dengan sengaja menghalangi
jalannya di trotoar yang sempit itu.
Tetapi Raka tidak bergeming, dia
malahan semakin sengaja menghalangi Shilla lewat.
“Kita harus bicara Shillai, ayolah
hentikan sikap kekanak-kanakanmu itu dan berbicaralah dengan dewasa.”
“Aku rasa aku sudah mengambil
keputusan dewasa dengan mengakhiri pertunangan kita. Menyingkirlah Raka dan
biarkan aku lewat.”
Shilla berusaha mencari jalan
melewati Raka, tetapi karena lelaki itu menghalangi jalannya, dia merengut
kepada Raka dengan tatapan menghina, “Ah sudahlah!” Gumamnya marah lalu membalikkan
tubuhnya, hendak berbalik dan meninggalkan Raka.
Sayangnya gerakannya kurang cepat,
Raka sudah meraih lengannya dan mencekalnya,
“Dengarkan aku dulu Shilla, kau
harus mendengarkan aku!” seru Raka mulai emosi. Lelaki itu bahkan tidak peduli
akan lirikan orang-orang di sekitar mereka.
Shilla malu, sungguh-sungguh malu.
Dengan sekuat tenaga dia berusaha melepaskan cekalan tangan Raka di lengannya,
berusaha melepaskan diri dari Raka. Dia jijik, dia benci, dan dia sangat muak
kepada laki-laki ini.
Di tengah usahanya melepaskan
diri, sebuah mobil berwarna merah menyala menepi ke trotoar di dekat mereka.
Cakka turun dari mobil dan mengernyit, dari kejauhan dia sudah melihat lelaki
itu mencengkeram lengan Shilla dan Shilla yang berusaha melepaskan diri. Pada
akhirnya dia tidak bisa menahan diri untuk mendekat,
“Bisakah kau lepaskan perempuan
itu? Tampaknya dia tidak mau berurusan denganmu.” Gumamnya dingin.
Membuat Shilla dan Raka menoleh
bersamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar