Sabtu, 03 Mei 2014

You've Got Me From Hello 2 -cakshill stories-


“Ada kesalahan-kesalahan dalam percintaan yang bisa dimaafkan, tetapi pengkhianatan tidak termasuk salah satu di antaranya.”
2
Ponsel Shilla berbunyi sore itu, dan dia langsung mengangkatnya ketika mengetahui bahwa yang menelepon adalah mamanya,
“Shilla?” mamanya langsung berbicara seperti kebiasaannya, “Mama harus memperingatkanmu.”
“Memperingatkan apa mama?” Dahi Shilla mengeryit dan langsung waspada. Mamanya tidak pernah berucap dengan nada seserius ini sebelumnya.
“Raka.” Suara sang mama setengah berbisik, “Dia datang kemari pagi ini dan memohon kepada mama untuk memberikan informasi di mana dirimu.”
“Mama tidak memberitahukannya kepadanya kan?” Shilla langsung panik. Percuma dia pindah ke lain kota kalau pada akhirnya Jeremy mengetahui dia ada di mana.
“Tentu saja tidak sayang.” Sang mama menghela napas panjang, “Tetapi sepertinya dia tidak menyerah, dia bilang pada akhirnya kalau mama tidak mau mengatakan di mana dirimu, dia akan tetap tahu karena dia akan menghubungi kantor penerbitmu.”
Shilla mengernyit kesal. Kalau Raka menghubungi kantor penerbitnya, tentu saja Raka akan tahu dimana dia berada. Dia mendesah kesal, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, Shilla hanya tidak menyangka kenapa Raka sekeras kepala ini mengejarnya. Apakah lelaki itu tidak bisa menerima bahwa Shilla tidak bisa memaafkannya?
“Terima kasih sudah memperingatkanku mama, ada kemungkinan bahwa dia sudah tahu di mana aku berada, aku menginformasikan kepindahanku dan alamat baruku kepada penerbit. Aku akan bersiap kalau Jeremy nekat dan mendatangiku.”
“Kau tidak apa-apa Shilla?” suara mamanya tampak cemas di seberang sana, membuat Shilla tersenyum haru.
“Tidak apa-apa, mama, aku bisa bertahan.” Jawabnya mencoba sekuat mungkin meskipun dalam hatinya dia meragu.
⧫⧫⧫
Perempuan itu datang lagi malam ini, dan memesan segelas anggur untuk teman menulisnya. Cakka mengernyit, dari info yang didapatnya dari Albert, Shilla adalah seorang penulis novel romance. Tetapi sepertinya Shilla sedang murung karena beberapa kali perempuan itu hanya menghela napasnya di depan laptopnya, lalu mengawasi layar laptop itu dengan tatapan mata kosong.
Cakka merasa seperti pengintip yang memalukan ketika berdiri di depan kaca balkon atas dan mengamati Sani seperti ini, tetapi dia tidak bisa menahan diri. Sudah beberapa hari ini Shilla selalu datang. Setiap pukul sembilan lalu akan menulis sampai dini hari sebelum kemudian pulang ketika terang tanah menyentuh langit. Cakka tidak bisa menahan ketertarikannya untuk mengintip ke bawah, menanti kedatangan Shilla. Dan sejauh ini, perempuan itu tetap datang.
Ada keinginan tertahannya untuk mendekati perempuan itu, tetapi dia menahan diri. Dia takut kalau dia terlalu mengganggu, Shilla akan merasa segan dan kemudian tidak akan datang lagi.
“Perempuan itu datang lagi.” Albert yang tiba-tiba sudah ada di ambang pintu ruang kerja Cakka bergumam sambil tersenyum penuh pengertian, mengamati Cakka. “Kau sepertinya sangat tertarik kepadanya.”
“Kenapa kau bisa berpikiran begitu?” Cakka mundur dari kaca itu dan melangkah menuju kursi kerjanya. Albert adalah tangan kanannya, orang kepercayaannya. Lelaki itu dulu adalah pegawai setia ayahnya, dan orang yang paling dipercaya oleh ayahnya. Setelah ayah Cakka meninggal dan dia mewarisinya jaringan kerajaan bisnis hotel dan restoran ini, Albertlah yang selalu membantunya, memberinya pendapat dari sisi pengalaman, melengkapi apa yang tidak dimiliki oleh Azka.
Karena itulah Cakka menghadiahi Albert cafe ini, tetapi lelaki setengah baya itu menolaknya. Dia hanya ingin tinggal di sebuah apartemen mini di bagian atas cafe dan tetap ingin bekerja menjadi pelayan meskipun Cakka sudah melarangnya. Tetapi Albert bilang bahwa menjadi pelayan cafe ini bisa membantunya tetap hidup. Dia kesepian dan bercakap-cakap dengan para pelanggan bisa menyembuhkan sepinya, karena itulah Cakka mengizinkan Albert menjadi pelayan di Garden Cafe ini.
Albert meletakkan kopi panas untuk Cakka dan tersenyum, “Kau menyapanya malam itu, kau bahkan tidak pernah menyapa pelanggan lain sebelumnya.”
Cakka tersenyum kecut, rupanya dia terlalu mudah terbaca oleh Albert, “Tetapi bukan berarti aku tertarik kepadanya.”
“Oh ya?” Albert mengangkat alisnya, “Sebelumnya kau tidak pernah menginap di cafe ini.” Seperti halnya Albert, Cakka mempunyai apartemen sendiri di sisi lain di bagian atas cafe ini. Tetapi dia memang jarang memakainya, karena dia selalu pulang ke rumahnya, kawasan hijau dan sejuk di perbukitan pinggiran kota, dekat dengan area resor hotelnya. “Dan aku hitung, sejak kau menyapa perempuan itu, kau selalu datang kemari setiap malam, tanpa absen.”
Cakka terkekeh mendengar perkataan Albert, “Aku memang tidak bisa membohongimu ya.”
“Aku sudah mengenalmu sejak kecil.” Albert tertawa, “Kau tidak pernah bertingkah seperti ini sebelumnya dengan perempuan manapun.” Albert berdehem, “Begitu juga ketika dengan Kay.”
Cakka tertegun ketika nama Kay disebut. Wajahnya sedikit memucat, dia lalu memalingkan muka dengan murung.
“Tetapi pada akhirnya semua akan tetap sama bukan?” gumamnya sedih, “Seberapa besarpun aku tertarik kepada perempuan itu, aku tidak akan pernah bisa memilikinya.”
“Kau bisa memilikinya kalau kau mampu mengambil keputusan tegas.”
“Tidak.” Cakka mengernyit seolah kesakitan, “Aku memang bukan orang baik. Tetapi aku masih punya hati.”
Tuhan tahu dia sudah tidak mencintai Kay, tunangannya. Tetapi dia masih punya hati. Kesalahannya harus dibayar, meskipun perasaannya yang dikorbankan.
⧫⧫⧫
“Cakka?” Suara lembut Kay menggugah Cakka dari lamunannya, membuat Cakka menoleh dan langsung tersenyum lembut,
“Iya sayang?”
Kay menyelipkan rambut panjangnya yang indah di belakang telinganya, dan tersenyum lembut,
“Ada apa? Kau tampak begitu murung.”
Cakka mendesah, “Ah..iya... mungkin aku sedikit tidak enak badan.” Itu yang sesungguhnya. Dia sungguh merasa tidak enak badan, dia tidak suka berada di sini, tetapi dia harus. Setiap akhir pekan setelah kesibukan kantornya berakhir, dia harus berada di sini, menghabiskan waktunya bersama Kay, tunangannya. Tetapi pikirannya mengembara, ke cafe itu, tempat perempuan bernama Shilla itu selalu datang dan menulis di sana sampai dini hari.
Cakka tidak sabar untuk segera pergi dari sini dan menuju Garden Cafe, mengamati Shilla dari kejauhan.
“Pulanglah.” Bisik Kay lembut, penuh pengertian, “Mungkin kau kelelahan dan butuh istirahat.”
Kay selalu seperti itu, begitu lembut dan penuh pengertian. Apapun yang dilakukan Cakka dia selalu mengerti. Apalagi yang sebenarnya Cakka cari?
Ditatapnya Kay dengan senyuman lembut, kemudian dia menarik Kay mendekat dan mengecup keningnya,
“Kau mau kuantar masuk?”
“Tidak Cakka, pulanglah, aku bisa masuk sendiri.” Jawab Kay tanpa kehilangan senyumnya.
Cakka menghela napas, lalu menyentuhkan jemarinya di rambut Kay dengan lembut, “Terimakasih Kay, sampai ketemu lagi besok ya.”
Kay mengangguk, memundurkan kursi rodanya dan memutarnya memasuki rumah. Cakka menunggu sampai pintu rumah itu tertutup, lalu melangkah pergi, tanpa menoleh lagi.
⧫⧫⧫
Dalam perjalanannya pulang dari rumah Kay, Cakka merenung. Dulu semuanya baik-baik saja. Cakka melabuhkan cintanya kepada Kay, dan memutuskan untuk melamarnya. Tetapi kemudian dia larut, sibuk dalam pekerjaannya dan lupa untuk memberikan perhatiannya kepada perempuan itu.
Kay yang kehilangan cintanya, akhirnya memutuskan untuk mencari perhatian dari lelaki lain. Dan dia mendapatkannya dari sosok lelaki bernama Edo, yang ternyata adalah seorang bajingan.
Bajingan itu merenggut kegadisan Kay yang sedang rapuh karena diabaikan oleh Cakka. Lalu kemudian meninggalkannya begitu saja dalam kondisi hamil.
Masa-masa itu sangat menyakitkan bagi Cakka, ketika Kay datang kepadanya dan mengakui semuanya, tentu saja Cakka marah besar. Mereka sedang berkendara di mobil, di tengah hujan deras ketika Kay mengakui semuanya kepada Cakka. Cakka yang marah menginjak gas begitu kencang untuk meluapkan emosinya hingga kehilangan kewaspadaannya. Mereka lalu mengalami kecelakaan fatal, kecelakaan yang membuat Kay keguguran anak hasil hubungannya dengan Edo, dan tidak bisa berjalan lagi selamanya.
Cakka sendiri hanya mengalami lecet-lecet, dia mendengar kenyataan bahwa Kay akan lumpuh dan merasakan penyesalan yang luar biasa. Dialah penyebab semua ini, Kay menjadi lumpuh seumur hidup karena dirinya, karena dialah mereka mengalami kecelakaan parah itu. Padahal perselingkuhan Kay kalau ditelah adalah karena kesalahannya, Cakka terlalu sibuk dengan bisnisnya sehingga melupakan Kay. Bahkan dia hampir tidak punya waktu untuk tunangannya itu, jadi wajar kalau Kay sampai mengais perhatian dari lelaki lain.
Lalu Cakka memutuskan bahwa dia harus bertanggungjawab. Dan pagi itu pula ketika Kay tersadarkan diri dari kecelakaan, menangis ketika mengetahui bahwa dia tidak bisa berjalan lagi, Cakka memeluknya dan mengatakan bahwa dia akan selalu mendampingi Kay selamanya. Dia memaafkan kekhilafan Kay dan bertekad untuk melangkah ke depan, meninggalkan yang lalu.
Cakka mengira itu akan mudah. Toh dia mencintai Kay sebelum kejadian itu, dipikirnya dia hanya perlu memaafkan dan kemudian menjalani keadaan mereka seperti sebelumnya. Tetapi kemudian dia merasakan perasaannya mulai terkikis dan musnah, setiap menatap perempuan cantik itu. Lalu menyadari kenyataan bahwa Kay telah mengkhianatinya dan membiarkan dirinya disentuh oleh lelaki lain sampai sedemikian jauhnya.
Hari demi hari berlalu, sampai di titik cintanya musnah begitu saja. Dia menjalani harinya dengan Kay hanya karena dia merasa harus melakukannya. Cakka yakin dia bisa melakukannya, toh hatinya sudah mati rasa.
Sampai kemudian dia melihat Shilla, dan terpesona lalu tertarik kepadanya.
Albert memang benar, Cakka tidak pernah tertarik kepada perempuan lain sebelumnya. Begitu kuat, begitu memabukkan, membuatnya tak bisa memikirkan yang lain. Membuatnya ingin mencoba mendekat bahkan meskipun dia sadar bahwa dia tidak bisa memiliki perempuan itu.
Sejenak Cakka ragu, dia berada di persimpangan jalan, satu menuju ke arah rumahnya dan yang lain menuju ke arah Garden Cafe. Pada akhirnya Cakka mengarahkan mobilnya ke arah Garden Cafe. Dia ingin melihat Shilla.
⧫⧫⧫
Ketika dia memasuki pintu cafe itu, matanya mencari di sudut yang biasa, dan menemukan Shilla. Perempuan itu sedang mengetik seperti biasa ditemani segelas anggur merah yang tinggal tersisa setengahnya.
Sejenak Cakka ragu, tetapi kemudian dia mendekat,
“Aku heran anggur itu tidak membuatmu mengantuk.”
Sihlla langsung mendongak mendengar sapaannya, ada tatapan terkejut di sana ketika melihat Cakka berdiri di depannya. Tetapi kemudian dia tersenyum lembut.
“Aku punya penyakit susah tidur akhir-akhir ini. Kata Albert anggur ini bisa membantu, tetapi sepertinya aku kebal.”
Cakka tersenyum, “Kalau kau ingin mengantuk jangan ikuti nasehat Albert, minumlah susu putih.”
“Susu putih?” Shilla mengeryit, “Aku tidak suka susu putih, rasanya terlalu gurih dan menguarkan aroma yang aneh di hidung, membuatku mual.”
Kali ini Cakka benar-benar terkekeh geli, “Aku baru kali ini mendengarkan deskripsi yang begitu menarik tentang susu putih.” Godanya, “Apa yang sedang kau tulis?” Tanpa sadar Cakka menarik kursi dan duduk di depan Shilla.
“Roman percintaan.” Pipi Shilla memerah, menyadari bahwa dia ditatap oleh lelaki yang begitu tampan, dengan mata cokelat muda dan rambut berantakan yang tampak sangat menggoda. Tetapi kemudian dia mengeraskan hati.
Semakin tampan seorang lelaki berarti semakin berbahaya dirinya. Gumamnya dalam hati.
“Roman percintaan? Dan sepertinya kau sedang kehabisan ide?”
Bagaimana lelaki ini tahu?
Shilla mengangkat bahunya, “Tokoh utama di ceritaku saling membenci, dan aku merasakan dorongan kuat untuk membiarkannya seperti itu.”
Cakka terkekeh, “Tetapi kau tidak bisa membiarkannya seperti itu?”
“Tidak bisa.” Gumam Shilla penuh penyesalan, “Karena ini cerita roman, dan cerita roman karanganku harus berujung Happy Ending.”
“Kenapa?”
“Apanya?”
“Kenapa harus Happy Ending?” Cakka menatap ke arah Shilla dengan tajam, membuat Shilla sedikit salah tingkah.
“Karena di kehidupan nyata kadangkala Happy Ending bukanlah milik kita.” Ingatan Shilla langsung melayang kepada Raka dan dia tersenyum pahit, “Karena itulah setidaknya novelku bisa menjadi pengobat luka hati.”
“Kau benar-benar penulis novel yang baik dan memikirkan perasaan pembacanya.” Gumam Cakka sambil tersenyum, yang ditanggapi Shilla dengan mengangkat bahunya.
“Aku hanya ingin menyajikan kisah yang indah untuk pembacaku.”
“Misi yang luar biasa baik, dan aku yakin itu bisa membantu semua orang, karena kadang di dunia nyata ini kita tidak selalu berakhir indah.” Cakka bangkit dari duduknya dan menganggukkan kepala sopan, “Silahkan lanjutkan menulis, maaf atas gangguanku.”
⧫⧫⧫
Cakka sedang mengenakan dasinya untuk berangkat ke kantor pusatnya di area resor hotelnya ketika pintu apartemen pribadinya di lantai dua cafe itu diketuk. Dia mengernyitkan keningnya, hari masih pagi. Cafe di bawah memang buka duapuluh empat jam, tetapi yang pasti tidak akan ada yang berani mengetuk pintunya sepagi ini. Bahkan Albertpun tidak akan melakukannya.
Dengan jengkel sekaligus ingin tahu, Cakka membuka pintu ruang kerjanya dan menemukan Alvin berdiri di sana. Saudara kembarnya.
“Kenapa kau kemari pagi sekali?” Cakka mengernyit, menatap adiknya ingin tahu. Cakka dilahirkan lebih dulu 3 menit sebelum Alvin. Karena itulah dia selalu menganggap dirinya sebagai kakak. Lagipula, secara kepribadian, dia memang lebih dewasa dibandingkan Alvin. Alvin terlalu berpikiran bebas, dia bahkan tidak mau memegang perusahaan warisan ayah mereka dan memilih mengejar impiannya menjadi seorang pelukis. Kadang Cakka merasa iri kepada Keenan karena kemampuannya untuk merasa bebas dan lepas dari tanggung jawab.
Cakka sendiri tidak bisa. Perusahaan ayahnya harus dikendalikan. Dan karena Alvin tidak bisa diandalkan, maka dia mengambil alih seluruh tanggung jawab itu di pundaknya.
Mungkin dia memang ditakdirkan untuk selalu memikul tanggung jawab terhadap orang lain di pundaknya, pikirnya pahit.
Sementara itu Alvin tampak tidak peduli, dia melangkah masuk ke apartemen Cakka dan membanting tubuhnya di sofa,
“Aku sedang menerima proyek melukis untuk desain kantor di dekat resor kita. Pekerjaan itu baru selesai tadi pagi dan aku memutuskan untuk berkunjung ke rumahmu pagi ini sekaligus menumpang tidur. Tetapi kata pelayan sudah berhari-hari kau tidak ada di sana dan tidur di Garden Cafe.” Alvin merengut, “Jadi aku terpaksa menyusul kemari.”
Cakka meraih jasnya dan melirik adiknya tanpa ekspresi, “Kau bisa menumpang tidur di kamar.” Gumamnya tenang, “Aku harus bekerja.”
“Kau tampak tidak sehat.” Gumam Alvin ketika mengamatinya, “Dan kurus. Apakah memimpin perusahaan ini membuatmu begitu sibuk sampai lupa mengurus dirimu?”
Mereka berdua memang sudah lama tidak bertemu, hampir enam bulan lebih. Itu karena Alvin memutuskan ke Belanda, untuk mengunjungi guru melukisnya di sana. Adik kembarnya itu baru pulang sebulan yang lalu, tetapi mereka sama-sama sibuk hingga sekaranglah pertemuan mereka yang pertama setelah enam bulan berlalu.
Cakka sendiri mengamati adiknya yang tampak beban lalu mengernyit.
“Salah satu dari kita harus menjalankan perusahaan ini.”
“Kau tidak perlu melakukannya, kau tahu itu.” Alvin memundurkan tubuhnya dan menyandarkan dirinya di sofa, “Perusahaan itu bisa saja kau serahkan kepada para tangan kanan ayah, selama ini bukankah mereka juga yang menjalankannya?”
“Tetapi perusahaan ini tetap butuh seseorang yang mengendalikannya, Alvin.” Cakka bergumam tajam. “Aku bukan orang bebas yang bisa melepaskan tanggung jawab seperti dirmu.” Sindirnya.
Alvin malahan tertawa, “Dan kaupun memikul tanggung jawab itu, ciri khas seorang Caka.” Wajahnya berubah serius, “Sama halnya seperti yang kaulakukan kepada Kay.”
“Aku tidak mau membicarakannya.” Cakka langsung memalingkan muka, berusaha memutus percakapan. Mereka pasti akan berakhir dengan adu argumentasi ketika membicarakan Kay.
Alvin adalah salah satu orang yang menentang keras ketika Cakka melanjutkan pertunangannya dengan Kay. Dia tentu saja tahu tentang pengkhianatan Kay dan menganggap Cakka bodoh karena memikul tanggung jawab terhadap Kay. Padahal kecelakaan yang dialami Kay seharusnya bukanlah kesalahan Cakka.
“Tidakkah kau bertanya-tanya bahwa sebenarnya ada jodohmu di luar sana?” Alvin terus mengejar, tidak peduli akan ekspresi membunuh yang dilemparkan Cakka kepadanya, “Tidakkah kau ingin tahu bahwa pasangan jiwamu sedang menunggu jauh di sana? Menanti untuk kau temukan? Kalau kau terus terpaku pada Kay, yang jelas-jelas tidak kau cintai, kau akan kehilangan kesempatanmu untuk menemukan jodohmu yang sesungguhnya.”
“Aku tidak menyangka kau bisa begitu puitis.” Cakka berusaha menghindar dari bahasan tentang Kay. Dia sedang tidak mau memikirkannya.
“Aku seorang seniman, meskipun aku pelukis, tetap saja aku bisa puitis.” Alvin tertawa, “Berbeda dengan dirimu yang begitu kaku.” Wajahnya melembut, “Aku hanya ingin kau berhenti menyiksa dirimu, kak.”
Apakah sejelas itu?
Cakka berusaha memasang wajah datar, “Kalau kau ingin aku sedikit lebih baik, bantulah aku di perusahaan.”
‘Tidak.” Alvin langsung menjawab cepat, “Berkemeja rapi, memakai jas dan dasi bukanlah gayaku. Aku bisa mati bosan kalau bekerja di kantor.” Dengan santai dia melangkah berdiri dan menuju kamar Cakka, “Selamat menikmati harimu.” Gumamnya santai lalu menghilang ke dalam kamar.
⧫⧫⧫
Shilla sedang melangkah keluar dari pintu putar apartemennya, hendak menuju ke supermarket terdekat untuk membeli bahan makanan sebagai pengisi kulkasnya ketika langkahnya membeku di trotoar.
Mobil warna biru itu dengan pelat nomor yang sangat dikenalnya.
Itu mobil Raka...
Dan benar saja, lelaki itu melangkah keluar dari mobilnya dan berdiri tepat di depan Shilla,
“Hai Shilla.” Sapanya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka, “Apa kabarmu? Aku kemari untuk mengunjungimu, aku merindukanmu.” Bisiknya lembut.
Bisikan itu dulu pernah membuat hati Shilla hangat. Tetapi sekarang tidak lagi, dia menggertakkan giginya dengan marah,
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Raka mengangkat bahunya, “Mengunjungimu tentu saja, kau pikir apa? Aku harap setelah kau puas dengan tingkah kekanak-kanakanmu kita bisa bercakap-cakap dengan kepala dingin.”
Tingkah kekanak-kanakannya, katanya?
Shillai menahan dirinya untuk maju dan menampar Raka. Berani-beraninya lelaki itu muncul di depannya seolah tidak bersalah dan mengganggu ketenangan hidupnya lagi.
“Aku tidak mau bercakap-cakap denganmu. Minggir.” Gumam Shilla marah, ketika Raka dengan sengaja menghalangi jalannya di trotoar yang sempit itu.
Tetapi Raka tidak bergeming, dia malahan semakin sengaja menghalangi Shilla lewat.
“Kita harus bicara Shillai, ayolah hentikan sikap kekanak-kanakanmu itu dan berbicaralah dengan dewasa.”
“Aku rasa aku sudah mengambil keputusan dewasa dengan mengakhiri pertunangan kita. Menyingkirlah Raka dan biarkan aku lewat.”
Shilla berusaha mencari jalan melewati Raka, tetapi karena lelaki itu menghalangi jalannya, dia merengut kepada Raka dengan tatapan menghina, “Ah sudahlah!” Gumamnya marah lalu membalikkan tubuhnya, hendak berbalik dan meninggalkan Raka.
Sayangnya gerakannya kurang cepat, Raka sudah meraih lengannya dan mencekalnya,
“Dengarkan aku dulu Shilla, kau harus mendengarkan aku!” seru Raka mulai emosi. Lelaki itu bahkan tidak peduli akan lirikan orang-orang di sekitar mereka.
Shilla malu, sungguh-sungguh malu. Dengan sekuat tenaga dia berusaha melepaskan cekalan tangan Raka di lengannya, berusaha melepaskan diri dari Raka. Dia jijik, dia benci, dan dia sangat muak kepada laki-laki ini.
Di tengah usahanya melepaskan diri, sebuah mobil berwarna merah menyala menepi ke trotoar di dekat mereka. Cakka turun dari mobil dan mengernyit, dari kejauhan dia sudah melihat lelaki itu mencengkeram lengan Shilla dan Shilla yang berusaha melepaskan diri. Pada akhirnya dia tidak bisa menahan diri untuk mendekat,
“Bisakah kau lepaskan perempuan itu? Tampaknya dia tidak mau berurusan denganmu.” Gumamnya dingin.
Membuat Shilla dan Raka menoleh bersamaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar