Rabu, 28 Mei 2014

Salahkah Bila Aku Mencintaimu -alvia stories-

SALAHKAH BILA AKU MENCINTAMU



 
 
 
 
 
 
 
 
 
by della amanda
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
sengaja mimin bikin couple alvia, biar ada SELINGAN buat cerbung versi cakshill
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
enjoy!
Don't copast!
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Malam itu Alvin masih belum terlelap ia masih sibuk mempersipkan surat untuk Sivia besok.

“apapun yang terjadi besok, aku akan terima,, aku ingin ungkapin ini semua, mungkin ini satu-satunya cara agar Sivia mengerti perasaan aku,” gumam Alvin dalam hati.
 
Dentang jam menunjukkan pukul 24.00, mata Alvin belum juga terpejam, ia masih memikirkan apa yang akan terjadi esok hari. Alvin mencoba untuk tidur tapi kejadian esok menghantui dirinya hingga pukul 04.00 Alvin belum tertidur.
Pagi sudah datang, ayam jago milik tetangga Alvin berkokok dengan lantang membangunkan Alvin yang baru saja terpejam. Dengan rasa malas, Alvin beranjak dari ranjangnya dan bersiap berangkat sekolah.
Sesampai di sekolah, Alvin berpapasan dengan Sivia dan genknya di lorong sekolah.
“ha…hai Sivia??’’ sapa Alvin gugup, Sivia hanya menjawab dengan seutas senyum manis di bibirnya dan berlalu bersama teman-temannya.
“Sivia, apakah aku salah telah menyukai dirimu,, kau adalah gadis paling popular di sekolah ini, sementara aku….” Belum sempat menyelesaikan perkataannya dalam hati, tiba-tiba Shilla datang menepuk pundak Alvin.
“hayoo,, liatin sapa tuu sampe nggak kedip dari tadi,, pasti liatin Sivia yaa,” geretak Shilla meledek Alvin. Alvin hanya tersipu malu mendengar perkataan Shilla, wajahnya memerah dan tangannya berkeringat dingin.
“sudahlah Alvin, lupakan saja gadis itu, toh dia juga sudah punya pacar kan???” Shilla mencoba mengingatkan Alvin.
“pacar??” Alvin terkejut, karena setahu Alvin, Sivia masih jomlo setelah putus dengan Rio.
“kau tak tau, seminggu lalu tepatnya mereka jadian,, pasti kau tak membaca majalah hari ini kan, ini coba saja baca, Sivia berpacaran dengan Gabriel kakak kelas kita yang menjadi kapten club basket,” kata Shill sembari menunjuk majalah yang di pegangnya.
“makasih, aku juga telah memikirkan ini berulang-ulang kok’’ jawab Alvin kecewa, seraya beranjak meninggalkan Shilla. Alvin pun berjalan menuju kelasnya, sesampainya di kelas, ia hanya terdiam melamun di bangkunya. Tiba-tiba suara seorang gadis membuyarkan lamunannya, gadis itu adalah Sivia.
‘”permisi semua, ‘’ semua wajah tertuju pada arah suara itu.
“alvinnya ada kan??’’ lanjut Sivia. Seraya Alvin langsung berdiri dari bangkunya. (deg-deg-deg) degupan jantung Alvin menjadi lebih cepat, ia begitu gugup.
“hai Alvin,, ini ada tugas dari p.hardi untuk kelas mu(Sivia memberikan selembar kertas berisi tugas kepada Alvin).. hei, kenapa wajahmu pucat sekali, apa kau sakit (Sivia memegang dahi Alvin)’’
Alvin sangat gugup, tubuhnya berkeringat, ia tak mampu berkata apa-apa, ia hanya bisa menatap mata Sivia.
“ya sudahlah, kalo kamu nggak mau jawab, aku balik ke kelas dulu ya..??”
“Siv… Sivia ,??"
“ya, ada apa??’’
“apa nanti jam istirahat kau bisa menemuiku di taman belakang??” pinta Alvin pada Sivia.
“tentu,, aku bisa kok’’ jawab Sivia enteng.
(huuufft) Alvin mencoba menghela nafas, ia mencoba menenangkan hatinya.
Bel istirahat pun berbunyi, Alvin bergegas keluar kelas menuju taman belakang, sesampai di sana, Alvin harus menunggu Sivia hingga 15 menit lebih.
“kenapa Sivia belum datang, apa ia lupa??” gumam Alvin lirih, tak berapa lama Sivia pun datang. Ia menghampiri Alvin yang sedari tadi duduk di bangku taman.
“Sivia??” Alvin serentak berdiri dari bangku itu.
“iya, maaf ya aku terlambat tadi aku masih….” Belum menyelesaikan perkataannya, Alvin sudah memotong kata-kata Sivia.
“aku ingin memberikan ini” potong Alvin seraya memberikan sehelai surat untuk Sivia.
“apa isi surat ini Alvin,??” Tanya Sivia,
“baca saja” jawab Alvin menahan semua kegelisahannya. Namun, bukannya dibaca tapi Sivia malah membuang surat itu.
“untuk apa aku baca surat ini, sementara penulisnya ada di hadapanku, langsung saja kau katakan Alvin??” paksa Sivia pada Alvin. Alvin tak memikirkan hal ini sebelumnya, saat Sivia berkata seperti itu, tubuh Alvin serasa tersentak. Dia yang awalnya tenang-tenang saja, kini menjadi sangat gugup. Bibirnya sulit tuk berucap, ia hanya tertunduk dan terdiam beberapa saat.
“aku,, aku ingin bicara sesuatu pada mu Vi” Alvin mulai berkata dengan menahan semua rasa gugupnya.
“katakan saja, aku akan mendengarkannya” jawab Sivia seraya tersenyum manis.
“Sivia, sebenernya sejak pertama kita ketemu aku udah menyimpan perasaan ke kamu, tapi aku nggak berani ungkapinnya, aku tau aku nggak pantas untuk kamu, aku hanya anak biasa sedangkan kamu adalah gadis paling diidolakan di sekolah ini, aku juga udah pikirin ini mateng-mateng, aku nggak bisa terus memendam perasaanku Vi, aku sayang sama kamu, aku selalu mencoba jadi yang lebih baik agar kau selalu menatapku dan tersenyum padaku, hingga sekarang aku jadi seperti ini itu karena kamu” ungkap rio.
“Alvin, kau juga pasti tau kan,, aku sekarang telah punya pacar, terimakasih kau sudah mau menyayangi aku, tapi sungguh aku minta maaf aku nggak bisa balas semua itu” jawab Sivia dengan lembut seraya mengangkat dagu Alvin yang sejak tadi tertunduk.
“aku minta maaf, aku sudah salah, aku memang tak pantas mencintai kamu” kata Alvin seraya meninggalkan Sivia. Sivia merasa bersalah pada Alvin, dia mencoba memanggil Alvin tapi, Alvin tak menghiraukannya.
Sivia pun berjalan perlahan ke kelasnya, tapi kerumunan siswi menghentikan langkahnya. Para siswi itu membicarakannya, mereka berbisik-bisik satu sama lain, tapi Sivia hanya melirik sebentar dan melanjutkan langkahnya. Ketika ia melewati kelas XI- IPA dia melihat Alvin yang sedang tertunduk di bangkunya. Sivia ingin masuk tapi guru sudah datang, ia pun bergegas masuk kelasnya yang berjarak 2 kelas dari kelas Alvin.
Bel tanda berakhirnya pelajaran hari ini pun berbunyi, lautan putih abu pun bergegas keluar kelas namun mereka tak langsung pulang karena hari itu hujan deras, mereka pun harus menunggu hingga hujan reda meski beberapa anak nekat untuk pulang. Sivia dan Alvin keluar kelas masing-masing secara bersamaan. Sivia menghampiri teman-temannya di depan kelas. Tiba-tiba Gabriel menghampiri Sivia bersamaan dengan Alvin. Mereka berdua membukakan payung dan ingin mengantarkan Sivia pulang. Tentu saja Sivia lebih memilih diantar oleh Gabriel kekasihnya. Dari kejauhan Sivia masih melihat Alvin yang terlihat sangat sedih.
“Alvin, maafin aku ya,, aku nggak bermaksud nyakitin kamu, semoga kamu bisa ngerti” kata Sivia dlam hati kecilnya. Gabriel membukakan pintu mobil untuk Sivia, dan Gabriel pun bergegas masuk mobil. Dari kaca mobil Sivia melihat Alvin yang nekat hujan-hujan, Alvin membuang payungnya dan berjalan dengan penuh penyesalan. Sivia hanya bisa melihat Alvin dari mobil, tanpa terasa, Sivia meneteskan air matanya untuk Alvin.
Keesokan harinya Alvin sakit dan tak bisa bersekolah. Sivia tak mengetahui hal itu. Hingga 5 hari pun berlalu, Alvin masih terbaring lemah di tempat tidurnya. Sivia yang baru mendengar hal tersebut merasa cemas, pulang sekolah ia pun langsung bergegas menuju rumah Alvin.
Di sana Sivia melihat Alvin dengan wajah pucat pasi dan terbaring sangat lemah.
“semakin hari, keadaan Alvin semakin memburuk nak, Alvin tak mau makan bahkan minum obat saja tak mau, ibu bingung harus bagaimana membujuk Alvin.” Kata ibu Alvin.
“tante, apakah siang ini Alvin sudah makan??” Tanya Sivia.
“belum nak, ibu sudah memaksanya tapi dia tak mau membuka mulutnya” jawab ibu Alvin.
“biar saya yang membujuknya” serentak Sivia mengatakan itu tanpa piker panjang.
“Alvin, kenapa kau menyiksa dirimu seperti ini,??” Tanya Sivia seraya memegang tangan Alvin lembut.
“untuk apa kau kemari Vi, aku tak pantas untuk kau jenguk, aku sudah tak ada gunanya Vi, sudahlah cepatlah pulang,” pinta Alvin serentak melepaskan tangan Sivia. Tak berapa lama ibu Alvin datang membawakan sepiring nasi untuk Alvin. Sivia langsung berdiri dan mengambil piring itu. Sivia mencoba membujuk Alvin untuk makan namun Alvin malah membanting piring berisi nasi itu.
“Alvinn, kau kenapa, kenapa kau seperti ini padaku??’’ Tanya Sivia dengan mata berkaca-kaca.
“aku nggak ingin melihat kamu lagi, pergilah dari rumah ini, dan jangan menginjakkan kakimu di sini lagi.’’ Alvin membentak Sivia.

“jadi kau mengusirku, apa seperti ini Alvin yang aku kenal, kenapa kau berubah begitu cepat, kalau kau membenciku, bukan seperti ini caranya. Bukan dengan menyakiti dirimu sendiri, kau yang selalu menyemangatiku kenapa sekarang kau kehilangan semangat, kau bukanlah Alvin yang dulu.” Kata Sivia seraya melangkahkan kaki meninggalkan Alvin yang masih terdiam.
Alvin hanya terdiam di atas tempat tidurnya. Keesokan harinya Alvin memaksakan diri untuk bersekolah, dengan tubuh tertatih-tatih Alvin berjalan menuju lorong sekolah. Sesampai di kelas, Alvin di sambut hangat oleh teman-temannya.
“hei Alv, kau masih hidup ternyata hahaha,,,!!!” ledek Obiet teman sebangku Alvin. Alvin hanya tersenyum tipis mendengar ledekan teman-temannya.
“tentu saja Alvin masih hidup, ia kan masih ingin bertemu wanita pujaannya, makanya hari ini dia bersekolah” sahut Patton,
“hoho,, siapa gadis itu,, setauku Alvin tak pernah dekat dengan gadis lain selain Shilla” Cakka terheran.
“Alv, apakah kau tak mau menjawabnya sendiri??” seru Patton meledek temannya itu.
“sudahlah, aku tak mau membahasnya, aku ingin sendiri” Alvin seraya pergi meninggalkan teman-temannya itu. Alvin beranjak pergi dari kelasnya, tanpa sengaja Alvin menabrak seorang gadis, buku gadis itu berhamburan di lantai teras.
“maaf. Maafin aku, aku nggak sengaja” Alvin meminta maaf kepada gadis itu sambil membantunya merapikan buku-bukunya. Ternyata gadis itu adalah Sivia, Alvin langsung menundukkan kepalanya, dan bergegas meninggalkan Sivia.
“Alvin tunggu” panggil Sivia.
“ada a..apa.. Siv..Sivia??” Tanya Alvin terpatah-patah.
“untukmu” Sivia memberikan secarik kertas untuk Alvin. Alvin segera menerima kertas itu dan pergi begitu saja.
Di taman Alvin membaca surat itu.

        Dear Alvin,
Aku minta maaf, mungkin aku sudah menyakiti hati kamu. Tapi sungguh aku tak bermaksud mempermainkan perasaan kamu. Ketahuilah, sekarang aku telah berpisah sama Gabriel. Dan orang tuaku akan membawaku pergi ke amerika untuk melanjutkan study ku bersama kakak ku. Kamu nggak pernah bersalah kok Alvin, semua perasaanmu ke aku itu tidak bersalah. Tapi akulah yang bersalah karena tak dapat membalas rasa sayangmu padaku. Mungkin hari ini adalah terakhir kita bertemu. Sebenernya aku tak ingin pergi, tapi tempat ini memberiku banyak kenangan buruk.
Alvin jika nanti kau menyukai seoarang gadis lagi, jangan pernah bertindak konyol seperti ini. Aku nggak akan lupain kamu, karena kamu adalah sosok cowok yang bisa membuatku tersenyum.
       
       Sivia,

Setelah membaca surat tersebut, Alvin langsung beranjak dan berlari menuju kelas Sivia. Sesampai di kelas Sivia, Alvin memeluk Sivia erat sekali.
“Sivia, jangan tinggalin aku, aku mohon” pinta Alvin dengan tulus.
“Alvin apa-apaan sih kamu, malu tauk” jawab Sivia seraya melepas pelukan Alvin. Tapi Alvin masih tetap saja memohon pada Sivia, ia berlutut di depan Sivia. Alvin meneteskan air matanya, Sivia pun ikut menangis.
“Alvin, jangan kau seperti ini, aku tak bisa menuruti kamu. Aku nggak bisa terus di sini, aku harus pergi hari ini juga. Jangan memberatkan aku Alvin, please” kata Sivia seraya membantu Alvin berdiri.
‘’Sivia, aku nggak tau tapi aku nggak bisa maksa kamu buat sayang sama aku, pergilah Sivia, mungkin aku nggak pantas bersanding denganmu. Dan sekali lagi, jangan salahkan dirimu sendiri, karena aku yang salah karena telah mencintamu” Alvin mencoba melapangkan hatinya menerima kepergian gadis yang selama ini dicintainya. Sivia hanya menatap Alvin dengan seutas senyum manis seperti biasanya.
Tak lama kemudian ayah Sivia datang untuk menjemput Sivia. Sivia pun segera bergegas untuk berangkat ke amerika. Sivia juga berpamitan kepada Alvin, Sivia mencium dahi Alvin sebagai tanda perpisahan.
“aku akan kembali” bisik Sivia lembut. Alvin hanya diam terpaku, ia tak mampu menahan semua perasaannya. Akhirnya Sivia pun beranjak dan pergi meninggalkan Alvin. Tiada sepatah kata dari Alvin untuk Sivia. Alvin mencoba sabar menghadapinya.
1 tahun kemudian, Alvin menjadi anak yang prestasinya menonjol, akhirnya Alvin mengikuti pertukaran pelajar di amerika selama setengah tahun. Tanpa disadari di sebuah toko buku, Alvin bertemu dengan Sivia saat ia ingin mengambil sebuah buku, tangan mereka secara bersamaan meraih buku itu.
“Sivia??... kau Sivia kan??” Alvin terheran.
“Alvin,?? Kok kamu bisa di sini??” Sivia pun juga terheran.

“iya aku ikut pertukaran pelajar selama setengah tahun,, hey bagaimana kabarmu, kau sehatkan” Tanya Alvin.
“ya seperti yang kau lihat ini”
“Sivia, soal perasaanku dulu, aku sudah mulai bisa menepiskannya. Aku sadar cinta emang nggak harus memiliki, benarkan Vi..??”
“yaa, bener banget,, tumben kamu nyadar” ledek Sivia. Mereka pun tertawa bersamaan.
Akhirnya mereka pun bersahabat, menjadi sahabat yang sangat akrab. Alvin telah mengubur dalam-dalam perasaannya karena ia tahu kalo sampai kapanpun Sivia nggak akan bisa sayang padanya, seperti ia menyayangi Sivia. Satu hal yang menjadi pelajaran untuk Alvin, bahwa cinta itu tak bisa dipaksakan, dan tak harus memiliki.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
SELESAI

Kenangan Yang Terlupakan -cakshill stories-


Kenangan yang Terlupakan










By della amanda










heyho! mimin bawa cerpen nih! inget ya, ini itu karangannya kak della amanda










NO COPAST!!!!











    “sialaaaaann!!!!!” teriak perempuan itu dengan histeris.
    “eh kenapa sih kamu Shill?!” Tanya teman sebangkunya dengan pelan.
    “Cakka sialaaaann!!!” seru perempuan itu lagi dengan mimik kesal dan pipi merah padam menahan sebal.
    “Shilla! Kamu kira pelajaran saya pelajaran seni musik apa?! berdiri dan angkat 1 kaki kamu di luar kelas!” hardik Ibu guru yang sedang menjelaskan pelajaran, dan merasa sangat terganggu oleh suara lantang dari Shilla.
    Dengan pasrah dan agak menyesal akhirnya Shilla meninggalkan tempat duduknya, dan menjalani hukuman dari Bu Priyati sang guru Matematika. Selama 2 jam pelajaran, Shilla yang hanya berdiri tegap itu terus memanyunkan bibirnya dan ngedumel dalam hati soal cowok bernama Cakka. Entah kenapa Shilla sangat tidak menyukai cowok itu, padahal Cakka adalah sepupunya! Cakka sendiri sering datang kerumah Shilla untuk main, tapi kali ini dia sangat-sangat kesel terhadap saudaranya itu.

    Sesampainya dirumah, ia mendapati lagi Cakka dirumahnya sedang bercakap-cakap diruang tamu bersama mamanya. Shilla tidak menghiraukan kehadiran saudaranya dan langsung berlenggang menuju kamarnya di lantai 2. Tapi saat ia baru mau menaiki anak tangga tiba-tiba suara itu datang..
    “Shilla, ini ada saudara datang ko ga dikasih salam malah langsung nyelonong gitu aja kaya bajaj?” sahut mama Shilla.
    “dia udah sering dateng jadi ngapain harus aku selalu kasih salam. Udah ah, aku mau ganti baju dulu ma.” Ujarnya ketus lalu melanjutkan lagi langkah kakinya menuju kamar.
    “maaf ya Kka, Shilla emang sifatnya keras kepala.” Kata mama Shilla yang menyampaikannya dengan sedikit ga enak hati pada Cakka yang sedang meneguk sirup cocopandannya.
    “ngga papa tante. Itu juga aku udah tau, dari kecil dia emang kaya gitu sifatnya hehe. Aku mau langsung ke kamarnya aja ah. Permisi ya tan.” Ucap Cakka yang memaklumi sifat Shilla. Ia pun langsung menuju ke lantai 2 ke kamar Shilla. Tanpa ragu-ragu Cakka langsung membuka pintu kamar cewek itu dengan nada mengagetkan.
    Bersamaan dengan pintu yang terbuka. “WWOOOY!!!” didapatinya Shilla yang memakai tank top hitam sedang sibuk memilih baju rumah yang biasa ia pakai.
    “eh gilaaaa!!! Aku lagi ganti baju dodol! Sana pergi!!” seru Shilla yang kaget akan tingkah Cakka.
    “lebay banget, kamu kan masih pake tank top ngga telanjang ini!” tuturnya enteng.
    “ihh dasar mesum!! Tutup lagiii pintunyaaaaaa sekaraaaanggggg!!!!” teriak Shilla dengan sekuat tenaga. Cakka yang merasa gendang telinganya sebentar lagi akan pecah langsung menuruti perintah sepupunya itu.
    “eh Shill, gila ya?!! Kamu pengen bikin aku budek karena suara kamu yang cempreng dan nyaring itu?!” kata Cakka.
    “iya! Aku pengen bikin kamu tuli! Jangan pernah dateng kerumah aku  lagi! Aku ga suka sama kamu!” jawab Shilla tanpa ragu dari balik pintu kamarnya.
    Sejenak tidak ada suara balasan dari Cakka, lalu suara itu muncul lagi dengan nada pelan. “Shill, dengerin dulu..aku mau ngomong sebentar.”
     Otak Shilla mulai berpikir, ada apa sih sama saudaranya itu?! Kenapa dia selalu datang kerumahnya dan ingin sekali dekat dengan dirinya? Apa Cakka sudah gila? Setiap hari dia nerima aja omelan serta teriakan Shilla yang menolak untuk bertemu dengannya. Meskipun di marahin abis-abisan setiap ketemu tapi tetep aja Cakka ga pernah absen dateng kerumah Shilla.
     “Cakka, siapa sih dia?! Aku ga inget punya sepupu/saudara namanya Cakka? Aku ga bisa inget siapa dia! Tapi kenapa nama itu bikin kepala aku pusing setiap kali memikirkannya?” ujarnya dalam hati. Cakka...Cakka...Cakka... Pandangan Shilla mulai kabur, kepalanya pusing, entah kenapa badannya seperti tidak seimbang dan melayang-layang.
     “Shill, tolong buka pintunya sebentar..” ucap Cakka yang mulai penasaran kenapa sedari tadi hanya hening yang ia dengar dari kamar Shilla, kemudian dengan hati-hati ia pun membuka pintu kamar Shilla, didapatinya perempuan itu pingsan!! Segera Cakka dengan wajah panik menggendong Shilla ke tempat tidurnya dan memberitahu tante Christy tentang keadaan anaknya. Saat itu Cakka benar-benar seperti orang kalap! Hanya melihat Shilla yang tergeletak pingsan saja membuatnya seperti ingin mati menyelamatkan cewek satu itu. Tante Christy yang memperhatikan gerak-gerik Cakka pun berkata: “Kka, kamu tidak lelah dengan semua ini?”
“jangan berkata seperti itu dulu tante, sekarang ngga tepat waktunya.” Kata Cakka yang mengusapkan minyak kayu putih ke kening dan hidung Shilla.
    “aku pulang dulu, kalau Shilla sudah siuman jaga dia ya tante.” Ucap Cakka.
    Setelah berpesan pada Tante Christy, Cakka pun pergi dari tempat itu. Ia memang merasa sangat lelah dengan ini, tapi sekarang belum sempat baginya untuk menjelaskan. Sedangkan, Tante Christy yang setia menunggu anak semata wayangnya itu siuman sampai-sampai tertidur karena cukup lama Shilla tidak sadarkan diri.
    “Ila, kamu jangan ikutan main bola ya! Nanti mama kamu marah sama aku kalo kamu kenapa-kenapa.”
    “gak papa Akka!! Ila mau ikut main bola pokoknya!” ucap anak perempuan berumur 8 tahun itu.
    “kamu liatin aku aja ya. Ila kan cewek ga pantes main bola.” Kata Akka yang berusaha melarang Ila untuk ikut bermain bola.
    “iyauda, yang penting aku ikut Akka.” Senyum manis Ila pun langsung terpampang jelas di wajah lugunya. Akka sangat senang mempunyai teman kecil seperti Ila, Ila beda dengan anak cewek yang lainnya. Pasalnya, Ila ga cengeng seperti kebanyakan anak-anak cewek seusianya, Ila juga agak tomboy karena dia suka main sama anak-anak cowok terutama sama Akka. Hal itu membuat dua anak kecil ini tumbuh bersama-sama. Sampai masuk playgroup,TK, SD pun mereka tidak terpisahkan, dan sangat dekat. Tapi suatu hari kabar buruk pun datang untuk Akka.
    “Akka, Ila besok mau pindah rumah jadi kita ga bisa main sama-sama lagi deh.” Ujar Ila dengan isak tangisnya yang malu melihat wajah Akka.
    “Ila memangnya mau pergi kemana?” Tanya Akka.
    Dengan berderai air mata Ila berusaha berbicara. “Ila juga ngga tau Akka, tapi yang jelas pindahnya jauh. Kita jadi ga bisa ketemu lagi.”
    Sejenak anak cowok bernama Akka itu terdiam akan kabar yang sangat mengagetkan ini. Ia tidak tau harus berkata apa, tapi yang pasti hatinya sangat terpukul bahwa Ila akan pergi meninggalkannya. Akhirnya anak cowok itu pun membuka mulutnya “Ila, kamu tenang aja. Akka pasti akan temuin Ila, Ila jangan takut. Ila mau janji ngga sama aku?”
    “janji apa Akka?” Tanya Ila masih dengan tangisnya yang tak berhenti.       
    “Ila janji ya akan tunggu Akka? Jangan lupa sama Akka.”
    “Ila ga mungkin lupa Akka! Akka temen Ila yang paling baik! Ila janji, tapi Akka harus ketemu Ila lagi.”
    “Akka...Akka...Akka...”
    Mama Shilla langsung terbangun saat mendengar anaknya bergurau nama Akka. Sang mama pun langsung menyadarkan Shilla dari gurauannya itu. Setelah diberi air putih oleh mamanya dan bersandar di punggung kasur beberapa saat, keadaan Shilla terlihat kembali normal dan ia pun membuka topic “ma, Akka itu siapa? Tadi aku mimpi tentang masa kecil aku sama cowok bernama Akka.” Ucap Shilla lemah.
    Mamanya kaget ketika Shilla bertanya seperti itu. “memangnya kamu ingin tau tentang dia?” Tanya mama yang membuat Shilla semakin penasaran di kondisinya yang masih limbung itu.
    “cepetan kasih tau aku ma siapa Akka itu!” kali ini Shilla berkata dengan sedikit menaikan intonasi pembicaraannya.
    “Akka adalah Cakka...”
    Belum sempat melanjutkan penjelasan, Shilla langsung memotong perkataan mamanya dan tampak begitu kaget. Keadaan yang tadi lemah kini tiba-tiba entah bagaimana menghilang dari tubuh Shilla. “mama jangan bercanda!! Cakka itu saudara aku!!”

***

    “Ila, apa kamu sudah benar-benar ngelupain aku? Tidak adakah sedikit sisa kenangan tentang aku di hatimu?” kata Cakka sambil meraih foto waktu ia kecil bersama dengan Shilla dan terus memandanginya.
    “Cakka..” suara yang tidak asing itu memasuki kamar Cakka dan menghampiri dirinya.
    “papa?”
    “kamu sudah berusaha sangat keras terhadap Shilla, jadi bagaimana keputusan kamu? Kalau kamu merasa segalanya sudah tidak mungkin dapat kembali lagi, papa ingin kamu meneruskan sekolah ke luar negri.” Kata papa Cakka yang memegang bahu putranya.
    Cakka tidak berani memutuskan untuk pergi ke luar negri, walaupun semuanya terasa mustahil untuk diingat kembali tetapi ia tidak bisa meninggalkan Shilla. Janjinya dulu terhadap teman kecilnya itu membuatnya tak bisa pergi dari Shilla, meski Shilla tidak mengenal dirinya...
    “putuskanlah besok, papa tidak mau kamu terus terjebak dengan masa lalumu yang bahkan tidak dapat diingat oleh Shilla.”

***

I'll find you somewhere
I'll keep on trying
Until my dying day
I just need to know
Whatever has happened
The truth will free my soul
Wherever you are
I won't stop searching
Whatever it takes me to know
(Within Temptation – Somewhere)
    Lagu dari band favorit Cakka begitu melukiskan kisahnya akan Shilla. Hari ini adalah hari terakhirnya untuk bertemu teman kecilnya itu, dan hari ini juga akan dia putuskan untuk meneruskan sekolah diluar negri atau tetap melanjutkan perannya yang memilukan.
    Setibanya dirumah Tante Christy, Cakka langsung disambut dengan hangat. Ia duduk diruang tamu dengan gelisah dan terus memikirkan perkataan papanya semalam untuk pergi sekolah ke luar negri.
    “sebentar ya Cakka, tante tinggal dulu.”
    “iya ngga papa tante.”
    Menunggu, menunggu dan menunggu...beberapa puluh menit ia menunggu Tante Christy yang tak kunjung kembali, padahal ia ingin menyampaikan pesan kepada Shilla melalui Tante Christy untuk yang terakhir kalinya.
    “Cakka..” terdengar suara perempuan yang tak salah lagi adalah...Shilla!!
    “oh, S, Shill..keadaan kamu udah membaik?” ucap Cakka dengan terbata-bata dan terlihat seperti orang kikuk.
    “keadaan aku ternyata ga pernah baik selama ini, iya kan?” perkataan Shilla membuat Cakka kebingungan atas apa yang ia bicarakan.
    “apa maksud kamu?” Tanya Cakka singkat.
    Shilla tampak termenung, ia menundukan kepalanya menatap lurus lantai rumahnya. Cakka yang kebingungan juga jadi ikut-ikutan terdiam tak bergeming. Hening kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan mereka. Tak ada yang berani membuka mulut lebih dahulu, Shilla pun belum menjawab pertanyaan Cakka yang tak mengerti akan perkataannya. Namun, beberapat saat Shilla mulai kembali berbicara.
    “Akka...kenapa terus menunggu Ila? Padahal Akka udah temuin Ila, tapi kenapa Akka pengen Ila ngga kenal sama Akka? Mama udah ceritain semuanya.” Ucap Shilla yang memanggil Cakka dengan sebutan masa kecilnya dulu, ia merasa sangat menyesal karena selalu bersikap kasar kepada Cakka yang ternyata adalah Akka teman dekat waktu ia kecil dan bukan saudara/sepupunya!
    Kata-kata dari mulut Shilla yang memasuki telinga Cakka membuat matanya terbelalak, ia melihat Shilla yang mulai meneteskan air mata dan terlihat begitu sedih karena merasa sudah dibohongi oleh dirinya. “aku ga pernah berniat membohongi kamu La, tapi kecelakaan yang membuat kamu hilang ingatanlah yang menjauhkan kita. Aku merasa percuma saja kalau aku mengatakan bahwa aku adalah Akka teman kecil kamu, sedangkan kamu tidak mengingat apa pun tentang aku. Jadi, aku putuskan untuk menunggu dan berpura-pura menjadi saudara kamu. Ini semua begitu menyakitkan bagi aku..melihat kamu setiap hari yang tidak mengenal aku..itu sangat menyakitkan.” Seketika itu Cakka mulai meneteskan beberapa derai air mata yang mengalir di pipinya.
    “aku minta maaf. Aku nggak tau kalau kamu telah begitu menderita karna aku, aku memang ngga pantes jadi temen kamu.” Tangis Shilla meledak setelah mengucapkan kalimat itu, ia tidak tau bahwa selama ini Cakka berusaha mencarinya dan menunggunya di balik kenangan yang terlupakan oleh Shilla.
    “kamu memang bukan hanya teman, tapi kamu adalah perempuan yang membuat aku bisa menunggu begitu lama dan itu membuat aku sangat menyukaimu. Aku suka sama kamu La, dari semasa kita kecil, kita berpisah, aku temuin kamu, aku berpura-pura, dan bahkan sampai saat ini.” Ujar Cakka yang mengakui perasaannya yang terpendam selama ini. Setelah bertahun-tahun terpisah dan berpura-pura akhirnya ia dapat mengucapkan kata-kata yang tertahan sudah begitu lama di hatinya.
    “aku...aku juga menyukai kamu Akka, dari dulu..maaf aku pernah melupakan kamu.” Ujar Shilla dengan lirih.
    “oia, aku ga mau manggil Akka lagi, karena nama itu adalah masa laluku yang terlupakan, dan sekarang yang ada dihadapan aku itu Cakka. Jadi kamu juga jangan panggil aku Ila lagi. Kalo kamu ngga panggil Shilla, aku ga jadi suka ah.” Kata Shilla yang tertawa kecil sambil menghapus tangis di pipinya yang sudah agak mengering.
    “habis nangis ketawa makan gula jawa nih ya?” goda Cakka yang menyunggingkan senyum manisnya pada Shilla.
    “iiihhh!!!! Ngeselin!!!” ucap Shilla yang merasa kesal digodai padahal ia berkata serius.
    “ok, ok..Shilla I heart U.” goda Cakka lagi.
    “iiih!! Apaan sih kamu! Aku tuh ngga suka sama Sm*sh!” serunya dengan nyaring.
    Kejadian yang tidak disangka ini pun terjadi. Cakka yang mengira usahanya selama ini akan berhenti sia-sia juga masih tidak percaya bahwa hari seperti ini, hari yang ia dambakan datang padanya. Shilla yang 9 tahun sudah menghilang dan  ia temukan kini dapat mengingat kembali dirinya. Rencana untuk meneruskan sekolah ke luar negri pun ia batalkan. Tante Christy yang menyaksikan dari jauh sangat senang melihat bahwa anaknya dapat mengingat kembali semua hal yang pernah terlupakan.
    “Shilla...ternyata aku memang tidak bisa meninggalkan kamu. Rasa sayangku terlalu besar dari keberanianku untuk berhenti menunggu saat seperti ini. Aku sangat menyayangimu.” Kata Cakka dalam hati yang diiringi pelukan hangatnya dengan Shilla.



Say my name, so I will know you're back
You're here again for a while..
Oh, let us share the memories that only we can share together..
Tell me about the days before I was born, how we were as children..
(Within Temptation – Say My Name)

TAMAT

Selasa, 27 Mei 2014

You've Got Me From Hello 6 -cakshill sories-


“Janji yang tidak sepenuh hati diucapkan, sebaiknya langsung dibatalkan.”
6








NO COPAST!!










CIPT. SANTHY AGATHA

Kay menunggu dengan cemas, Cakka memang selalu terlambat datang tetapi dia tidak pernah mengingkari janjinya. Kedua orang tuanya baru datang dari Paris, dan ini adalah kali pertama mereka akan berkumpul untuk membicarakan persiapan pernikahan mewah dan besar mereka yang rencananya akan dilaksanakan delapan bulan lagi.
Dia sudah berdandan secantik mungkin dan mulai gelisah karena ini sudah terlambat hampir satu jam dari waktu yang dijanjikan, tetapi tidak ada kabar dari Cakka. Kay duduk di dekat jendela, menanti dengan cemas.
Lalu ketika mobil warna merah menyala itu memasuki gerbang rumah, hampir saja Kay terlonjak bahagia dari duduknya, lupa kalau dia sedang berpura-pura lumpuh. Tidak ada yang tahu selain keluarganya, pelayan kepercayaan mereka di rumah ini, dan dokter pribadi mereka bahwa Kay sebenarnya sudah sembuh jauh di waktu lalu. Dia sudah bisa berjalan normal seperti biasanya. Diagnosa dokter waktu itu ternyata salah, dan kaki Kay tidak apa-apa.
Tetapi kemudian dia memohon kepada kedua orangtuanya dan dokter mereka untuk merahasiakannya dan membiarkan Cakka tidak tahu. Kepada mereka diceritakannya betapa takutnya dia kehilangan Cakka kalau sampai Cakka tahu bahwa dia baik-baik saja. Yang dimilikinya dari Cakka hanyalah rasa tanggung jawab lelaki itu kepadanya, dan itu semua karena kakinya yang lumpuh.
Kalau kakinya sudah tidak lumpuh lagi, maka tidak akan ada sesuatupun yang bisa mengikatkan Cakka kepadanya. Lelaki itu sudah pasti akan meninggalkannya.Kay rela duduk di kursi roda terus sampai dia bisa mengikat Cakka di pernikahan. Setelah mereka terikat secara resmi dan dia sah memiliki Cakka, dia sudah merencanakan untuk berpura-pura sembuh secara bertahap dan kemudian kembali normal. Cakka tidak akan pernah curiga. Dia sudah begitu lama berpura-pura lumpuh sehingga tampak sangat meyakinkan.
Diliriknya Cakka yang baru turun dari mobil dan hatinya berbunga-bunga melihat ketampanan lelaki itu. Lelaki itu akan menjadi suaminya, akan dimilikinya sebentar lagi. Dia hanya harus bersabar.
Cakka melangkah mendekati tangga rumah itu dengan ekspresi lelah. Hari ini banyak sekali yang harus dikerjakannya, dan yang dia inginkan hanya datang ke Garden Café. Menanti kedatangan Shilla, yang tak kunjung datang lagi setelah peristiwa ciuman itu.
Cakka tak henti-hentinya mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa menahan dirinya untuk mencium Shilla. Dialah yang membuat Shilla menghindarinya seperti sekarang ini. Dan sekarang dia tidak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa dilakukannya hanyalah menunggu, dan ternyata menunggu itu tidak enak, sama sekali tidak enak. Kemudian karena sibuk dengan pekerjaan dan pikirannya tentang Shilla, Cakka hampir saja melupakan janji temunya dengan kedua orang tua Kay yang baru pulang dari Paris. Dia mungkin saja benar-benar lupa dan tidak akan datang kalau dia tadi tidak melirik tanpa sengaja ke arah ponselnya yang tergeletak begitu saja di kursi penumpang di sebelahnya, dan menyadari bahwa ponselnya itu berkedip-kedip oleh karena puluhan pesan dari Kay.
Kursi roda Kay muncul di pintu dan perempuan itu menyambutnya dalam senyum bahagia dan khawatir.

“Kau tidak membalas pesanku.” Gumam Kay cemas, memeluk Cakka ketika lelaki itu mendekat dan setengah menunduk mengecup dahinya, “Aku takut kau kenapa-kenapa.”

“Maaf aku terlambat, urusan pekerjaan.” Gumam Cakka datar, “Di mana orang tuamu?”
Cakka menyiapkan hatinya untuk malam itu, karena dia harus membicarakan persiapan pernikahan. Persiapan pernikahan yang bahkan tidak setitikpun ingin dilakukannya.
⧫⧫⧫
Ketika Shilla memasuki cafe itu kembali, pandangannya langsung memutar ke sekeliling, bahkan Albert yang biasanya menyapanya dengan ramah tidak ada. Kemana pelayan setengah baya yang sangat ramah itu?
Yang lebih membuatnya kecewa, sama sekali tidak ada tanda-tanda keberadaan Cakka disana mendekatinya dan memberikan menunya,
“Di mana Albert?’ Shilla bertanya sambil lalu kepada pelayan itu.
Pelayan itu melirik ke atas lantai dua, “Tuan Albert sedang tidak enak badan. Beliau beristirahat di kamar atas. Tetapi beliau bilang akan turun sebentar lagi.” Pelayan itu melirik jam tanganya.
“Tuan?” Shilla tidak bisa menahan diri untuk berkomentar mengenai cara pelayan itu memanggil Albert, bukankah mereka sama-sama pelayan? Tetapi kenapa cara pelayan itu memanggil Albert dengan kata ‘tuan’ dan ‘beliau’ tampak begitu hormat.
Pelayan itu menatap Shilla dan tersenyum, “Anda tidak tahu? Tuan Albert bukanlah pelayan di cafe ini, setidaknya bukan itu jabatannya. Dia bisa dibilang adalah penanggung jawab cafe ini, Tuan Cakka memberikan cafe ini kepadanya, sebagai orang kepercayaan tuan Cakka. Tetapi beliau memilih berperan sebagai pelayan.”
Setelah pelayan itu pergi, Shilla masih mengerutkan keningnya, pelayan itu bilang kalau Cakka memberikan cafe ini kepada Albert?
Selama ini Shilla berpikir bahwa cafe ini adalah warisan paling besar dari ayah Cakka. Cakka sendiri bilang bahwa dia mengelola cafe ini dan lain-lain yang Shilla kira adalah bisnis sampingan yang tidak sebesar cafe ini.
Tetapi pelayan tadi mengatakan bahwa Cakka memberikan cafe ini kepada Albert seolah itu sesuatu yang tidak penting? Apakah yang dimaksud dengan ‘dan lain-lain’ oleh Cakka adalah sesuatu yang lebih besar?
“Kali ini tidak pakai anggur?”
Shilla terlompat dengan kaget dari kursinya, jantungnya berdebar dan dia menoleh ke belakang, tampak Albert di sana. Lelaki itu tampak pucat dan lelah tidak seceria biasanya.
“Aku belum memesan anggur.” Shilla tersenyum lembut kepada lelaki setengah baya itu, “Tetapi sepertinya itu menarik.”
Albert menganggukkan kepalanya ramah, lalu memberikan isyarat kepada pelayan di bar untuk membawakan minuman pesanan Shilla yang biasa.
Anggur itupun datang, dalam gelas bening yang berkilauan, menguarkan aroma harum yang manis dan menyenangkan,
“Tahukah anda kalau anggur ini seperti laki-laki?” gumam Albert setengah tersenyum.
Shilla mendongakkan kepalanya dan menatap Albert bingung, “Seperti laki-laki?”
“Ya. Mereka berwarna merah dan pekat diluar, menguarkan aroma khas yang mengancam. Seakan memperingatkan siapapun yang berani mendekat. Ketika anda meminumnya asal-asalan anda tidak akan bisa memahami cita rasanya, yang terasa hanya alkohol dan rasa pahit. Tetapi kalau anda bisa menyesuaikan antara aroma dan cara mencicipi yang nikmat, anda akan bisa menemukan intisari yang berpadu, rasa yang manis dan aroma yang menggoda. Itu sama dengan laki-laki, di luar begitu mengancam tetapi ketika anda bisa menanganinya dengan benar, dia akan memberikan yang terbaik untuk anda.”
Shilla meresapi kata-kata Albert dan menemukan kebenaran di dalamnya. Filosofi lelaki dan anggur merah. Sungguh menarik.
“Kurasa aku bisa menggunakannya untuk novelku.” Gumamnya ceria, membuat Albert terkekeh,
“Saya akan sangat tersanjung.” Lelaki itu berdiri dan berpamitan, membuat Shilla menyesal karena dia tidak punya keberanian untuk menanyakan keberadaan Cakka.
⧫⧫⧫
“Terima kasih Cakka.” Kay menggenggam kedua jemari Cakka dengan penuh sayang, lelaki itu duduk di depannya dan tampak kaku. Kay berusaha mencairkan suasana dengan kelembutannya. Biasanya Cakka akan melembut juga kalau dia sudah bersikap rapuh. Tetapi entah kenapa malam ini benak kekasihnya ini seolah-olah tidak ada di sana, menerawang entah kemana.
“Apakah kau baik-baik saja?” tanya Kay lagi mencoba memecah keheningan ketika Cakka hanya diam saja, “Kau tampak tidak bahagia..”
Cakka memandang Kay dengan tatapan tidak terbaca, “Kau bicara apa, tentu saja aku bahagia.” Bibirnya tersenyum, tetapi senyum itu jelas-jelas tidak sampai ke matanya.
“Aku memang tahu betapa beruntungnya aku bisa memilikimu.” Kay menundukkan kepalanya sedih, “Dengan kondisiku yang sekarang, sebenarnya aku tidak pantas untukmu. Apalagi kejadian di masa lalu itu, aku sungguh malu kalau mengingatnya.” Jemari lentik Kay yang indah menutup wajahnya, airmatanya mengalir deras, “Mungkin seharusnya aku mati saja di kecelakaan itu.”
“Sttt.” Cakka menyentuh jemari Kay yang sedang menutup mukanya, dan menariknya dengan lembut ke dalam genggamannya, “Jangan berkata seperti itu, aku sudah berjanji akan bertanggung jawab atas dirimu bukan? Aku akan menjagamu, Kay seperti janjiku.”
Kay menatap Cakka dengan matanya yang basah, “Apakah kau mencintaiku, Cakka? Sedalam aku mencintaimu?”
Kalimat itu tak sampai untuk keluar dari bibir Cakka, dia hanya menganggukkan kepalanya dan berucap, “Ya Kay.” Dan menyadari betapa beratnya mengatakan ‘aku cinta kepadamu’ kepada seseorang yang tidak kau cintai.
⧫⧫⧫
Shilla berhasil menyelesaikan bab klimaks itu dengan gemilang, tokoh utamanya akhirnya menyadari kesalahannya dan mengejar pasangannya. Mereka pada akhirnya berhasil menyelesaikan kesalahpahaman mereka...
Dia memundurkan tubuhnya di kursi yang nyaman itu dan membaca ulang tulisannya lembar demi lembar sambil lalu. Angel pasti akan sangat senang kalau mengetahui dia berhasil menyelesaikan bab klimaks ini. Semula sangat sulit menulis bab klimaks ini, karena setelah pertengkaran, sesuai draft akan ada permaafan, sesuatu yang tidak pernah bisa dilakukan Shilla terhadap Raka.
“Dan akhirnya kau muncul di sini.” Suara maskulin yang dalam itu menyapanya. Suara yang membuat jantung Shilla langsung berpacu dengan kencang, dia menoleh dan sosok yang dibayangkannya berdiri di sana.
Lelaki itu tampak lelah, dengan jas resmi yang sudah dilepas dan disampirkan di pundaknya. Dasi yang sudah terlepas sepenuhnya dan kancing kemeja atasnya yang dibuka.
“Hai.” Gumam Shilla, tiba-tiba merasa malu ketika ingatan akan ciuman mereka malam itu menyeruak di benaknya.
Cakka tampaknya memahami, lelaki itu mengangkat sebelah alisnya lembut,
“Dari kejauhan kau tampaknya senang. Apakah kau berhasil menyelesaikan tulisanmu?”
Shilla mengangguk, “Bab yang paling sulit sudah kulalui, besok tinggal membereskan semuanya.”
“Kita harus merayakannya.” Cakka terkekeh, penampilannya yang formal dan sedikit berbeda dengan biasaya tampak melembut ketika dia tertawa, “Tunggu sebentar ya aku mandi dulu, aku akan segera menyusulmu kembali.”
Ketika Cakka pergi, Shilla membaca ulang kisah yang baru saja ditulisnya. Sudah jelas tokoh wanita dalam novel buatannya tergila-gila kepada sang tokoh lelaki, dia digambarkan selalu berbunga-bunga ketika tokoh lelaki itu ada di benaknya.
Berbunga-bunga?
Shilla tiba-tiba menyadari sesuatu, selama ini dia selalu menuliskan deskripsi perasaan dalam bentuk tulisan dengan lancar. Tetapi ketika menelaah perasaannya sendiri dia benar-benar kebingungan.
Apakah dia sedang merasakan berbunga-bunga ketika bersama Cakka? Shilla menggelengkan kepalanya. Bagaimana mungkin sebuah perasaan begitu kuat muncul kepada seseorang yang tidak begitu kita kenal?
Cakka turun lagi hampir dua puluh menit kemudian. Rambutnya basah dan dia mengenakan baju santai, celana jeans, dan kaos berkerah yang semakin menonjolkan bentuk tubuhnya yang bagus,
Seolah sudah biasa, lelaki itu langsung mengambil tempat duduk di seberang Shilla. Dia memberi isyarat kepada pelayan untuk membawakannya minuman.
Dalam waktu singkat, pelayan itu meletakkan secangkir kopi hitam pekat di depan mereka berdua,
“Di mana Albert?” Cakka mengernyit, biasanya dia melihat Albert dimana-mana, lelaki itu sangat bahagia jika bisa berada di lingkungan operasional cafe dan berhubungan dengan para pelanggan. Sangat bertolak belakang dengan dirinya yang memilih menggerakkan segala sesuatunya di balik layar, melindungi dirinya dengan menampilkan kesan misterius.
“Tuan Albert beristirahat di atas, tuan. Tadi beliau sempat turun sebentar, tetapi kemudian mengeluh pusing lagi dan ingin beristirahat.’
Albert? Pusing? Cakka mengernyitkan keningnya. Meskipun sudah setengah baya, Albert selalu penuh vitalitas dan Cakkalah yang paling tahu betapa jarangnya Albert sakit.
Mungkin kali ini Albert benar-benar sakit, Cakka mendesah dalam hati, memberi isyarat kepada pelayan itu untuk menjauh.
Suasana cafe cukup ramai ketika itu, padahal waktu sudah hampir beranjak tengah malam. Sekelompok pemuda tampaknya memilih menikmati malam sambil mengobrol di tempat yang paling ujung sebelah sana, dan beberapa yang lain memilih untuk mencicipi hidangan,
“Mau makan sesuatu?” Cakka melirik ke arah buku menu dan tersenyum kepada Shilla,
“Aku sudah makan tadi sore.” Shilla tersenyum, “Tetapi secangkir kopi tidak akan kutolak, “ gumamnya dalam senyum.
“Aku lapar.” Cakka menekuri buku menu dan merenung, dia sudah makan di rumah Kay tadi, tapi dia hampir tidak bisa menelan makanannya, “Mungkin aku akan meminta sup ini.” Cakka memanggil pelayan lagi dan menyebutkan pesanannya.
Setelah pelayan pergi, Cakka memajukan tubuhnya dan menopang dagunya dengan kedua siku di meja, tatapannya tajam dan intens,
“Kau tidak kemari lama sekali.”
Apakah Cakka setiap hari menunggunya? Shilla melirik gelisah ke arah Cakka, bingung harus bersikap bagaimana.
“Apakah karena kejadian waktu itu? Ciuman waktu itu?” sambung Cakka lagi, dengan tatapan penuh tanya.
Shilla membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kalimat yang keluar. Suaranya seakan tertelan di tenggorokannya.
Cakka mengamati Shilla, lalu tertawa, “Untuk seseorang yang penghidupannya berasal dari rangkaian kata-kata, kau tampak sulit sekali mengeluarkan sepatah kata sekalipun.”
Pipi Shilla memerah, dan dia memalingkan muka, tidak tahan ditatap setajam itu. Tetapi kemudian pertanyaan di hatinya mendesaknya,
“Kenapa waktu itu kau menciumku?”
Cakka langsung tersenyum lembut, “Karena aku merasakan sesuatu yang lebih kepadamu.” Gumamnya, “Aku tidak pernah bermaksud merendahkanmu dengan menciummu, itu terjadi begitu saja.” Cakka mendesah, “Setelah itu kau bahkan tidak mau muncul di cafe, aku panik.... dan berpikir kau mungkin marah kepadaku.” Tatapan Cakka melembut, “Shilla, mungkin ini memang terlalu cepat, kita baru bertemu beberapa kali, belum mengenal satu sama lain. Tetapi ada perasaan nyaman yang kurasakan ketika bersamamu, bahkan ketika pertama kali kau menyapaku. Perasaan nyaman yang membuatku meyakini bahwa aku harus mencoba untuk lebih dekat bersamamu.”
“Oh.” Shilla bergumam pelan membuat Cakka tergelak,
“Oh?” Lelaki itu mengulangi gumaman Shilla, “Aku berusaha setengah mati menjelaskan perasaanku ini kepadamu dan tanggapanmu hanya ‘Oh’ ?” Lalu jemari lelaki itu meraih jemari Shilla dari seberang meja dan menggenggamnya lembut, “Shilla, aku tahu ini terlalu cepat, kau masih sakit karena perbuatan Raka dan berusaha menyembuhkan dirimu, tapi aku hanya ingin bersamamu, ada di dekatmu, dan berusaha lebih mengenalmu. Aku berharap kau juga bisa mengenalku lebih dekat dan mungkin kita bisa melihat bersama-sama akan di bawa kemana perasaan ini.”
Semua ini terlalu cepat, Shilla membatin dalam hati, dia bahkan tidak tahu apapun tentang Cakka dan begitu juga sebaliknya. Tetapi ajakan Cakka untuk berjalan bersama dan menelaah arti dari kebersamaan mereka terasa begitu menggoda.
“Shilla?” Cakka memanggil lagi, mulai tidak sabar dengan kediaman Shilla, dia butuh jawaban, segera. Setelah itu dia bisa bertindak cepat, meluruskan semua rencananya.
Shilla menatap Cakka, melihat kesungguhannya di situ, Cakka memang luar biasa tampan, tetapi lelaki itu tampaknya tidak pernah sadar menebarkan pesonanya ke orang-orang, tidak seperti Raka. Dan Cakka juga baik, lembut, serta menghormatinya, mungkin Shilla bisa mencobanya. Dengan lebih sering bersama Cakka, mencoba mengenalnya lebih dekat dan kemudian memutuskan apakah akan membuka hatinya ke dalam hubungan yang lebih serius dengan Cakka atau tidak.
Shilla menganggukkan kepalanya, “Aku bersedia mencobanya, Cakka. Tetapi hanya itu, kita bersama-sama berusaha untuk lebih saling mengenal. Dan mengenai hasil akhirnya mungkin bisa kita lihat nanti.”
Sinar kemenangan muncul di mata Cakka, tetapi lelaki itu dengan cepat menutupinya, membuat wajahnya tampak lembut, “Terima kasih atas kesempatan yang kau berikan ini Shilla.”
⧫⧫⧫
Pagi harinya, Cakka yang sedang duduk di ruangannya di kantor pusat kedatangan tamu. Tamu yang sudah sangat di tunggunya. Seorang lelaki yang sangat tampan, dan juga sahabatnya.
“Jadi kau meminta bantuanku?” Iel menatap Cakka sambil tersenyum manis.
“Kaulah satu-satunya orang yang kupercaya bisa melakukannya.”
Iel tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya, “Mungkin di dunia ini, hanya kaulah satu-satunya orang yang meminta sahabatnya untuk merayu tunangannya,” Tatapannya berubah serius, “Apakah kau yakin ini akan berhasil? Kay kelihatannya sangat mencintaimu dan dia sudah akan menikah denganmu. Mungkin saja dia sangat setia kepadamu dan susah dirayu?”
Mata Cakka bersinar dingin dan kejam, “Dia sudah pernah mengkhianatiku sekali karena aku kurang memberinya perhatian. Aku yakin dia akan melakukannya lagi kalau ada kesempatan.”
⧫⧫⧫
“Hai.” Cakka sudah menunggu di depan lobi apartemen Shilla, mereka berjanji untuk menghabiskan hari sabtu ini bersama-sama. Memberi kesempatan kepada diri mereka untuk saling mengenal lebih dekat.
“Hai juga.” Shilla berdiri gugup di depan Cakka, menyadari penampilannya yang sederhana jika dibandingkan dengan penampilan Cakka yang begitu gaya. Oh, lelaki itu tidak berpakaian macam-macam, dia hanya memakai celana jeans warna hitam pekat dan T-shirt polo bergaris, tetapi entah kenapa keseluruhan penampilannya begitu luar biasa. Bahkan beberapa orang yang berlalu lalang di lobi apartemen pasti menoleh dua kali untuk meliriknya.
Tetapi bukan hanya penampilan fisik sebenarnya yang membuat Shilla tertarik kepada Cakka. Aura lelaki itu yang misterius di balik sikap lembutnya, membuat Shilla ingin mendekat dan ingin tahu.
Apakah dia akan seperti ngengat yang menjadi korban karena tidak bisa menahan ketertarikannya terhadap api yang menyala? Shilla mendesah dalam hati. Setidaknya dia sudah mempersiapkan diri, memasang pagar di hatinya agar dia tidak terjun bebas, jatuh ke dalam pesona Cakka dan kemudian terluka parah.
“Kita akan kemana?” Shilla melangkah bersama Cakka keluar. Mobil Cakka sudah disiapkan, diparkir di depan apartemennya.
Cakka mengangkat bahunya, “Terserah, kemana saja, mungkin nonton, jalan-jalan, bersantai, apapun itu asal bersamamu.”
Cakka mengucapkan kata-katanya dengan santai, tidak menyadari bahwa dia membuat pipi Shilla memerah.
⧫⧫⧫
Mereka melakukan apapun yang dilakukan orang-orang untuk bersantai di akhir pekan, nonton, makan, jalan-jalan. Setiap detiknya terasa menyenangkan, mereka mengobrol tanpa henti, sangat cocok dalam pembicaraan apapun dan menyadari bahwa mereka punya banyak sekali kesamaan minat.
Bersama Cakka seharian pun terasa begitu sekejap saking menyenangkannya.
Tanpa sadar hari sudah beranjak malam. Ketika mereka mengendarai mobil hendak pulang, Shilla menyandarkan tubuhnya dengan santai di kursi penumpang, menatap Cakka dalam senyuman.
“Terima kasih atas hari yang sangat menyenangkan ini.”
Cakka menoleh sedikit dan tersenyum simpul, “Sama-sama Shilla, aku juga bahagia bisa menghabiskan waktu denganmu, itu sangat menyenangkan.” Lelaki itu meremas jemari Shilla dengan sebelah tangannya, lembut. “Minggu depan kita lakukan lagi ya.”
“Iya.” Dada Shilla membuncah dipenuhi oleh perasaan berbunga-bunga yang pekat. Oh ya, gawat! Seharian ini dia sudah berusaha memasang pagar di hatinya, tetapi Cakka sudah menerobos pagar itu, membuatnya tidak bisa menahan lelaki itu. Shilla sepertinya sudah jatuh cinta kepada Cakka.
⧫⧫⧫
Kay sedang duduk di dalam mobil, dalam perjalanan menuju butik langganan keluarga, dan merenung. Ini semakin lama semakin menakutkan, hari pernikahannya dengan Cakka sudah menjelang. Keluarganya sudah mempersiapkan semuanya terutama menyangkut gaun pengantinnya. Karena selain hal itu, untuk masalah persiapan pesta seperti dekorasi, gedung, catering, dan lain-lain mereka tidak akan perlu mencemaskannya. Cakka memiliki jaringan perusahaan di bidang resor, perhotelan, dan restoran. Lelaki itu tinggal menjentikkan jarinya dan sebuah pesta yang megah pasti akan disiapkan dengan mudah.
Tetapi perasaan Kay terasa semakin tidak nyaman. Hari demi hari hubungan mereka merenggang, dan semakin dekat ke hari pernikahan mereka, Cakka semakin jarang muncul. Lelaki itu kadang hanya membalas pesan singkatnya sekenanya, tidak pernah mengangkat telepon ketika dia mencoba meneleponnya. Dan lelaki itu tidak pernah datang ke rumahnya lagi.
Sudah sebulan berlalu, bahkan kedua orangtuanya mulai menanyakan kenapa Cakka tidak pernah muncul dan dengan senyum palsunya Kay menjelaskan bahwa semua baik-baik saja, hanya saja Cakka memang sedang sangat sibuk. Tetapi Cakka tidak pernah seperti ini sebelumnya, dulu meskipun sibuk, lelaki itu selalu menyempatkan menemuinya meskipun sebentar di akhir pekan.
Kay tahu bahwa Cakka mungkin tidak mencintainya lagi. Sejak dia mengaku pengkhianatannya yang dilakukannya dengan Edo karena begitu haus perhatian dari Cakka, yang membuatnya terjerumus terlalu jauh lalu hamil, cinta itu sudah musnah di mata Cakka. Tatapan Cakka kepanya sudah berbeda, datar dan tanpa perasaan meskipun laki-laki itu selalu bersikap lembut kepadanya.
Tetapi Kay bisa dibilang sangat mensyukuri kecelakaan itu, kecelakaan yang membuatnya didiagnosa tidak akan bisa berjalan lagi. Yang membuat Cakka sangat menyesal dan pada akhirnya memutuskan untuk bertanggungjawab kepada Kay.
Ya, Kay tahu dia memanfaatkan rasa bersalah Cakka, tetapi dia mencintai Cakka dan tidak bisa membayangkan kalau harus ditinggalkan oleh lelaki itu. Pengkhianatan yang dilakukannya dengan Edo semata-mata karena pelarian, dia membutuhkan kekasih yang hangat dan penuh kasih sayang, yang selalu ada di dekatnya. Tetapi Cakka tidak bisa melakukannya, lelaki itu waktu itu sedang sibuk membangun bisnisnya, sehingga hanya punya waktu sedikit bersamanya. Dan dalam kondisi emosi yang labil, Edo datang dan semua hal buruk itupun terjadi. Semua yang Kay lakukan adalah untuk mengikat Cakka supaya bersamanya. Dia bahkan rela bertingkah seperti orang invalid, hanya agar Cakka bertahan bersamanya. Kelumpuhan ini adalah satu-satunya pengikatnya dengan Cakka, dan Kay rela kesulitan seperti ini, hanya bisa berjalan ketika dia berada di dalam rumah dan hanya di depan orang-orang yang dipercayanya, semua demi memiliki Cakka.
Dia meremas kedua jemarinya kuat-kuat, Sebentar lagi... desahnya dalam hati. Dia hanya perlu bersabar sebentar lagi dan Cakka akan menjadi miliknya sepenuhnya. Dia akan menjadi istri Cakka dan lelaki itu tidak akan punya alasan untuk tidak memperhatikannya.
⧫⧫⧫
Butik itu cukup ramai, milik seorang desainer baju pernikahan yang sangat terkenal. Pegawai Kay mendorong kursi rodanya memasuki butik itu. Kay sudah membuat janji dengan Joshua, sang perancang sekaligus pemilik butik itu.
“Hai cantik.” Joshua langsung menyapanya ketika pegawainya mendorong kursi rodanya memasuki ruangan Joshua. Kay memberikan isyarat kepada pegawainya untuk menunggunya di luar.
“Hai Joshua, kau sudah menerima pesanku untuk deskripsi gaun pengantinku?”
“Sudah sayang, Joshua mengedipkan sebelah matanya. “Sungguh deskripsi yang sangat spesfik, kau ingin gaunmu bertaburan dengan kristal yang mahal dan berkilauan ya? Untung saja tunanganmu kaya. Jadi kau bisa meminta gaun apapapun yang kau inginkan, aku akan mengukur dulu badanmu ya, baru aku terapkan ke beberapa desain dan nanti kau tinggal memilih yang mana” Joshua melirik ke arah pintu, “Ngomong-ngomong, tunanganmu yang tampan itu tidak mengantarmu?”
“Dia sibuk.” Gumam Kay sambil lalu, “Aku ingin gaun ini yang terbaik, Joshua, harus yang paling indah dan paling cantik... Ini akan menjadi pernikahan yang pertama dan satu-satunya untukku.”
“Tentu saja sayang.” Joshua terkekeh, lalu menyuruh pegawainya untuk mengukur badan Kay.
Tentu saja mereka kesulitan karena Kay berada di kursi roda dan tidak bisa berdiri. Kay sendiri merasa gemas karena sebenarnya dia bisa berdiri, tetapi dia tidak bisa melakukannya, karena semua sandiwaranya bisa ketahuan.
“Mungkin kita harus mengukur tubuhmu kalau Cakka sudah bisa datang bersamamu, sayang.” Joshua menatap Kay dengan menyesal, dia juga laki-laki tapi tubuhnya ramping dan gemulai jadi dia tidak bisa membantu Kay supaya punya tumpuan untuk berdiri. Sementara itu kebanyakan pegawainya adalah perempuan, “Jadi Cakka bisa membantumu untuk berdiri.”
“Mungkin aku bisa membantu.” Sebuah suara yang maskulin dan begitu dalam muncul dari pintu, membuat Kay dan Joshua menoleh bersamaan. Di pintu itu berdiri seorang lelaki yang amat sangat tampan. Darah asing sudah jelas mendominasi penampilannya, lelaki itu tinggi, sempurna dengan rambut cokelat muda keemasan, dan setelan tiga potong yang dijahit sempurna, menempel ketat dan seksi ke tubuhnya,
Joshualah yang kemudian memecah suasana, dia berteriak kegirangan dan hampir melompat mendekati lelaki itu.“Oh Ya Ampun! Iel, kau sudah pulang dari Paris?”