“Pengorbanan adalah
memberi, di dalamnya ada cinta yang menguasai.”
9
Santhy
Agatha
Cakka meninggalkan
rumah Kay dengan marah. Marah besar. Berani-beraninya Kay mengancamnya seperti
itu, padahal Kay sendiri telah mengkhianatinya bersama Iel. Apakah Kay pikir
Cakka tidak akan tahu? Apakah Kay pikir Cakka begitu bodohnya?
Dengan kencang dia
mengendarai mobilnya, dia butuh bertemu dengan Shilla. Di saat kemarahannya
menggelegak seperti ini, hanya Shilla yang bisa menenangkannya.
Ketika sampai di
depan cafe, Cakka memarkir mobilnya dengan sembrono. Dia tergesa memasuki cafe
itu, hendak mengambil beberapa makanan kecil untuk dibawa ke apartemen Shilla,
tadi dia sudah berjanji untuk datang jam sembilan malam ke sana.
Tetapi kemudian
langkahnya tertegun, melihat ke kursi di bagian sudut, tempat favorit Shilla
ketika duduk, dan melihat sosok itu di sana.
Shilla? Kenapa dia
ada disini? Bukankah dia masih sakit?
Cakka melangkah
mendekat, kerinduannya meluap. Dia ingin memeluk gadis itu ke dalam pelukannya,
untuk menenangkan hatinya dari kemarahannya terhadap Kay.
“Shilla, kenapa kau
ada di sini? Bukankah kita janji bertemu di apartemenmu?”
Shilla mendongak
dan Cakka tercekat, tatapan mata Shilla kepadanya penuh kemarahan... kemarahan
yang dibalut dengan luka.
Seketika itu juga
Cakka menyadari bahwa Shilla sudah tahu mengenai pertunangannya dengan Kay.
“Kau membohongiku.”
Suara Shilla bergetar meskipun dia tampak berusaha tergar, Cakka melirik ke
anggur merah yang dibawa Shilla, dan mengernyit. Perempuan itu sudah
menghabiskan lebih dari satu gelas.
“Aku bisa menjelaskannya kepadamu, Shilla.”
“Tidak!” Shilla menyela dengan keras, lalu tertawa ironis, “Ironis
bukan? Aku meninggalkan tunanganku karena dia berselingkuh dengan perempuan
lain, tetapi sekarang aku malah menjadi selingkuhan dari seorang lelaki yang
sudah bertunangan.” Matanya menyala penuh kemarahan kepada Cakka, “Kau sangat
kejam, Cakka melakukan ini semua kepadaku.”
“Aku bisa menjelaskannya Shilla, semua ini tidak seperti yang kau
kira....”
“Apakah perempuan bernama Kay itu benar-benar tunanganmu?”
Cakka tertegun, lalu memejamkan matanya dengan pedih, “Ya.”
Air mata mengalir di mata Shilla, menuruni pipinya. Dia tampak
amat sangat terluka,
“Apakah... apakah... kau mencintainya?”
Mata Cakka menajam. “Apakah aku mencintainya? Tidak. Kau pasti
bisa merasakan itu, aku jatuh cinta setengah mati kepadamu, tidak mungkin aku
mencintainya.”
“Apakah pertunangan yang kau lakukan dengan Kay dulu itu
berlangsung atas nama cinta?” Shilla bertanya lagi, berusaha menghapus air
matanya dengan usapan tangannya.
Cakka memandang Shilla dengan pedih, tidak mampu berbohong, “Pada
mulanya semua atas nama cinta... lalu.”
Hati Shilla teriris perih, Cakka sama saja dengan Raka, lelaki itu
dulu menjalin pertunangan mereka atas nama cinta, kemudian mengkhianatinya
begitu saja karena perempuan lain. Oh ya ampun! Teganya Cakka melakukan ini
semua kepadanya. Shilla tidak mau mendengar apapun dari Cakka, semua ini
terlalu menyakitkan untuk dia tanggung,
“Cukup!” Shilla
menutup telinganya dengan tangan, tidak mau mendengar apapun yang diucapkan
oleh Cakka. “Sudah cukup, kau memang penjahat! Semua lelaki sama saja! Mereka semua
jahat!” beberapa mata tampak melirik ke arah mereka, tetapi Shilla tidak
peduli. Dia terlalu marah dan sakit untuk peduli, dia beranjak pergi.
“Aku mencintaimu Shilla!” Cakka setengah berdiri, berusaha meraih
lengan Shilla dan menahannya. Tetapi Shilla yang sudah begitu marah, meraih
gelas anggur yang tinggal setengah dan menuang isinya ke wajah Cakka,
“Pergi saja ke laut dan buang cintamu itu. Aku tidak pernah
menerima cinta dari seorang pengkhianat!” Gumamnya marah, tanpa sadar dia
menggenggam gelas itu dan melangkah pergi secepat kilat.
Meninggalkan
Cakka yang masih terpaku di sana, basah oleh anggur yang dituangnya.
“Aduh!” Suara perempuan itu mengagetkannya, begitupun benturan
keras yang dirasakannya. Shilla mendongak dan terpaku karena merasa bersalah,
dia telah menabrak seorang perempuan karena kalutnya, dan gelas anggurnya yang
basah, yang dipegang di tangannya menempel di gaun putihnya, menimbulkan noda
di sana,
“Oh maafkan saya.” Perempuan yang menabraknya berucap dengan
menyesal, mendongakkan kepala dan menatap perempuan itu. Perempuan itu sangat
cantik, batin Shilla dalam hati, dia pasti perempuan bahagia yang tidak pernah
disakiti oleh laki-laki.
“Tidak apa-apa.” Gumam Shilla lembut, menyadari bahwa Cakka masih
duduk di sana, menatapnya dari kejauhan, tetapi tidak berusaha mendekatinya
Perempuan cantik itu melirik noda di gaun Shilla dan menatap Shilla
dengan tatapan bersalah, “Tapi… Noda di baju anda..”
“Tidak apa-apa. Bisa dibawa ke laundry, jangan dipikirkan.” Shilla
menganggukkan kepala kepada perempuan itu, lalu mengucap permisi dan melangkah
pergi.
Sebelum pergi dia
meletakkan gelas kosong anggur itu di sebuah meja dekat pintu. Airmata mengalir
di matanya ketika melirik cafe itu untuk terakhir kalinya sebelum ia ini jauh
lebih sakit daripada ketika Raka mengkhianatinya. Jauh lebih pedih dan
menyakitkan
Karena Sani sadar, bahwa dia sudah mencintai Azka dengan sangat
dalam.
⧫⧫⧫
Albert datang membawakan handuk untuk Cakka. Cakka menerimanya
dengan tatapan kosong, menggunakannya untuk mengelap wajah dan rambutnya yang
basah oleh anggur.
“Tidak berjalan seperti yang seharusnya ya?”
Cakka termenung pedih, “Tidak.”
“Lalu apa yang akan kau lakukan setelahnya?”
Pikiran Cakka bergejolak. Antara kemarahan yang makin menggelegak
atas kata-kata Kay kepadanya tadi, bercampur pada kemarahan ke dirinya sendiri
karena dia terlalu lambat dan membuat Shilla mengetahui mengenai pertunangan
itu sebelum waktunya,
“Aku akan berbuat sesuatu. Nanti.” Gumamnya dingin.
Malam itu, Cakka duduk di cafe semalaman, menatap ke arah jendela,
ke arah apartemen Shilla.
⧫⧫⧫
Dia masih merenung di apartemennya ketika pintunya diketuk.
“Masuk.” Gumamnya tak bersemangat.
Pintu itu terbuka dan Alvin melangkah masuk dengan gaya santainya,
dia mengangkat alis melihat Cakka yang tampak begitu murung.“Tidak bekerja hari
ini?”
Cakka melirik Alvin dengan dingin, “Tidak.”
Alvin tersenyum dan mengambil tempat duduk di depan Cakka, “Baru
kali ini seorang Cakka meninggalkan tanggung jawabnya, karena seorang
perempuan.” Gumamnya ringan, membuat Cakka melemparkan tatapan membunuh kepadanya.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku memang ingin mampir menengokmu, tetapi beberapa pelayan di
bawah tampaknya sedang asyik membicarakan insiden semalam. Dimana seorang
perempuan menumpahkan anggur dari gelasnya ke sang pemilik cafe.” Alvin terkekeh,
“Tidak ada perempuan lain yang berani melakukan itu padamu, dan kau
membiarkannya, Cakka. Kecuali Shilla.”
Cakka hanya terdiam, meneguk kopinya dengan frustrasi.
“Apakah pada akhirnya Shilla tahu tentang Kay?”
Cakka mengganggukkan kepalanya, “Dia tahu sebelum saatnya.”
“Sebelum rencanamu untuk menyingkirkan Kay eh?” Alvin melemparkan
tatapan mata penuh tanya, ingin tahu apa sebenarnya rencana Cakka untuk Kay.
Tetapi kemudian dia sadar bahwa Cakka tidak ingin menjawab pertanyaannya,
“Sudah kubilang kau sangat terkenal, dan sangat sulit menyembunyikan informasi
semacam itu.”
“Aku tahu, aku pikir aku akan punya waktu lebih lama.” Cakka
meringis pedih, “Shilla dikhianati oleh tunangannya, dan dia sekarang
menganggap aku sama brengseknya dengan tunangannya itu. Aku sudah berusaha
menjelaskan tetapi dia tidak mau mendengarkan aku.”
“Tunggu sampai dia tidak marah lagi.”
“Aku takut dia pergi Alvin, aku takut.... aku... aku tidak akan
bisa hidup tanpanya.” Cakka membungkuk, meremas rambutnya dengan frustrasi
Dan Alvin duduk di sana, mengamati dengan sedih, merasakan hatinya
teriris. Baru kali ini Cakka bersedia meninggalkan seluruh tanggung jawabnya,
demi mengejar perempuan yang dicintainya. Dan saudara kembarnya itu sekarang
harus menghadapi kemungkinan untuk patah hati.
⧫⧫⧫
Alvin berdiri di depan pintu rumah Kay, menunggu. Kay muncul
beberapa saat kemudian dan mengernyit ketika mendongak dan melihat bahwa Alvin
yang muncul di sana.
“Ada apa?” Kay tentu saja bingung, tidak pernah sekejappun dia
menyangka bahwa Alvin akan datang menemuinya. Dia pernah berusaha mengejar Alvin
dan ternyata lelaki itu tidak pernah serius kepadanya. Pada akhirnya Kay
memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya kepada Cakka, toh wajah mereka
sama... Meskipun jauh di dalam hatinya... dia lebih mencintai Alvin, Alvin yang
mudah tertawa, Alvin dengan pakaian santai dan gaya menggodanya yang selalu
membuat Kay berdebar, dan semua hal yang sangat bertolak belakang dari Cakka. Cakka
terlalu serius, terlalu formal, dan terlalu datar.
Tetapi Alvin sepertinya tidak menyimpan perasaan yang sama.
Sehingga Kayharus puas memiliki saudara kembarnya yang sangat mirip dengannya.
Alvin menatap Kay dengan serius, tatapan yang tidak pernah dilihat
Kay sebelumnya karena Alvin selalu penuh canda.
“Aku selalu tahu bahwa kau tidak pernah mencintai Cakka.” Alvin
bergumam, membuka percakapan, menatap Kay dalam-dalam, membuat Kay mengernyit.
Ketika Kay bertunangan dengan Cakka, Alvin hanya mengangkat
alisnya waktu itu, tidak menolak tapi juga tidak menyetujui. Padahal waktu itu Kay
mengharapkan setitik reaksi kecemburuan dari Alvin, sayangnya ternyata dia
tidak tersimpan sedikitpun di hati Alvin. Lalu setelah kecelakaan itu, tatapan
tidak peduli Alvin kepadanya berubah menjadi tatapan marah... Ah dia tahu
tentang pengkhianatan Kay kepada Cakka tentu saja, dan lelaki itu tampak jijik
kepadanya serta berusaha menentang ketika Cakka bersikeras melanjutkan
pertunangan itu. Tentu saja Alvin tidak bisa berbuat apapun untuk menghalangi Kay
dan Cakka, sebentar lagi Kay akan menikah dengan Cakka.
“Kau tidak pernah tahu apa yang kurasakan.” Kay bergumam,
mendongak mentaap Alvin yang masih berdiri dan menunduk ke arahnya,
“Aku tahu.” Tiba-tiba saja Alvin
berjongkok di depannya, membuat matanya sejajar dengan mata Kay, “Aku tahu
persis bahwa akulah yang kau cintai.”
Pipi Kay memerah dan jantungnya berdebar mendengar kata-kata Alvin
itu. Apa maksud Alvin sebenarnya?
Alvin mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah kotak kecil
berwarna hitam dari beludru, dibukanya kotak itu. Isinya sebuah cincin berlian
yang begitu indah dan berkilauan,
“Aku mencintaimu Kay, sudah sedari lama aku memendam perasaan ini.
Tapi kau lalu memilih bertunangan dengan Cakka. Aku menunggu lama dan pada
akhirnya sadar bahwa kalian berdua tidak pernah saling mencintai. Aku yang
mencintaimu, bukan Cakka. Dan aku yakin kau juga mencintaiku.”
“Apa?” Kay benar-benar terkejut, bibirnya menganga, matanya
berganti-ganti menatap cincin berlian itu dan beralih ke wajah Alvin. Tetapi
yang ditemukannya di wajah Alvin adalah keseriusan yang dalam.
“Kalau kau bersedia, aku akan menghadap Azka dan mengungkapkan
semuanya, bahwa kita saling mencintai, bahwa kita ditakdirkan bersama. Cakka
akan mengerti, apalagi aku sangat yakin bahwa dia tidak mencintaimu. Dia pasti
akan memberikan restu kepada kita untuk bahagia bersama.”
Mata Kay tampak berkaca-kaca. Oh astaga. Alvinnya! Lelaki yang
dicintainya dari awal. Bagaimana mungkin dia bisa menolaknya? Batinnya sendiri
sudah mengakui bahwa dia hanya menggunakan Cakka sebagai pelarian, dia
mencintai Cakka karena lelaki itu bagaikan perwakilan dari saudara kembarnya,
dan yang dicintai oleh Kay sesungguhnya adalah Alvin.
“Kau... kau tidak sedang mempermainkanku bukan?” Kay masih meragu
meskipun hatinya langsung berbunga-bunga melihat senyum lembut Alvin kepadanya,
“Aku? Bercanda?
Percayalah padaku, Kay, aku tidak pernah melakukan ini kepada perempuan
manapun, tidak pernah sebelumnya. Hanya kau satu-satunya perempuan yang bisa
membuatku berlutut dan menawarkan cincin. Dan aku akan mati karena patah hati
kalau kau menolaknya.” Alvin menunjukkan cincin itu lagi dan berubah serius,
“Nah, Kay, maukah kau memutuskan pertunanganmu bersama Cakka dan kemudian
bersumpah setia untuk menikah denganku?”
Air mata bahagia membanjiri mata Kay, “Ya!” serunya bersemangat,
dia memajukan tubuhnya, memeluk Alvin erat-erat dan merasa begitu melayang
ketika Alvin membalas pelukannya, “Ya. Alvin, aku bersedia! Aku akan menikah
denganmu!”
Kay tidak melihat wajah Alvin yang begitu pedih ketika memeluknya.
Alvin sudah terlalu sering berbuat egois, memanfaatkan kebaikan hati Cakka,
membiarkan kakaknya itu bertanggung jawab atas semua hal yang seharusnya mereka
bagi bersama. Kini giliran Alvin membalas budi, setidaknya dia bisa mengambil
salah satu tanggung jawab Cakka yang paling berat. Pemandangan Cakka yang
begitu menderita telah mendorongnya untuk berbuat ini. Dia bisa dan dia mampu
untuk menolong kakaknya.
Biarlah dia yang mengambil alih tanggung jawab terhadap Kay, dan
membiarkan Cakka bisa mengejar cinta sejatinya.
⧫⧫⧫
“Aku harus berbicara denganmu.” Alvin bergumam di pintu, menyadari
Shilla di dalam sana merasa ragu untuk membukanya.
Alvin berhasil naik ke atas karena resepsionis apartemen mengira
bahwa dia adalah Cakka, jadi dia membiarkannya masuk. Dan sekarang lelaki itu
sudah berdiri di depan apartemen Shilla, ingin memberikan penjelasan.
“Apakah Cakka yang mengirimmu kemari?” Tanya Shilla dari balik
pintu.
“Tidak. Saudaraku itu terlalu menderita untuk berpikir apapun,
yang dia lakukan hanyalah mengurung diri di apartemennya dan merenung. Tidak
makan, tidur ataupun bekerja, kalau terus-menerus begitu aku cemas dia akan
mati.”
Alvin mendesah, “Kumohon, biarkan aku bicara denganmu sekali saja,
setelah itu aku tidak akan mengganggumu lagi.’
Shilla tertegun, hatinya terasa pedih mendengar kata-kata Alvin
tentang Cakka, tetapi dia menguatkan hatinya, bukankah dia juga mengalami
kepedihan yang sama? Dia tidak bisa makan, tidak bisa tidur dan terus-terusan
menangis?
Setelah menghela napas panjang, Shilla membuka pintu dan menatap Alvin
dengan dingin, “Katakan apapun yang kau mau, lalu pergilah.”
Alvin meringis menerima sikap dingin Shilla, “Bolehkah aku masuk?
Ini akan sangat panjang.”
Shilla
menatap Alvin, lalu pada akhirnya dia memundurkan diri dan membiarkan mereka
masuk.
Mereka
duduk di sofa, dalam keheningan,
“Well? “ tanya Shilla setelah beberapa lama tampaknya Alvin
belum ingin mengatakan apapun.
Alvin mendesah, “Aku masih bingung harus memulai dari mana... kita
mulai dari Kay, tunangan Cakka.” Alvin melirik dan menemukan luka di mata Shilla
ketika nama Kay disebut, “Kay dulu mengejarku dan ingin memilikiku. Tetapi
tentu saja aku hanya main-main dengannya. Dan setelah sadar dia tidak bisa
memilikiku, dia mengejar Cakka. Cakka waktu itu masih begitu rapuh sepeninggal
orang tua kami, dan Kay menghujaninya dengan perhatian-perhatian hingga
akhirnya Cakka menerima Kay. Aku bilang ‘menerima’ karena aku yakin bahwa dari
awal, Cakka tidak pernah mencintai Kay. Dia hanya merasa dia bisa menerima Kay
di sisinya, itu saja. Dan kemudian merekapun bertunangan.” Alvin mengangkat
bahunya, “Aku sedikit terkejut ketika Cakka mengambil langkah serius itu
bersama Kay, tetapi kemudian aku sadar, Kay tahu betul kelemahan Cakka, dia
tahu Cakka mudah merasa bertanggung jawab kepada seseorang dan dia
memanfaatkannya. Mereka berduapun bertunangan. Dan semua tampak baik-baik saja.
Sampai kemudian pengkhianatan itu terjadi.”
Pengkhianatan? Jantung Shilla berdegup kencang, Apakah
sebelumnya Cakka juga pernah mengkhianati Kay?
“Kay yang mengkhianati Cakka.” Alvin bergumam, memahami pertanyaan
yang ada di mata Shilla, “Cakka sangat sibuk waktu itu, mengambil alih
perusahaan yang diwariskan oleh ayah sehingga dia tidak punya waktu untuk
memberikan perhatian kepada Kay yang manja. Kay yang manja dan haus kasih
sayang akhirnya mencari pelarian kepada pria lain, seorang pria brengsek
bernama Edo. Lelaki itu merusaknya dan meninggalkannya dalam kondisi hamil.”
“Apa?” Shilla terkesiap, menutup mulutnya dengan jemarinya, tidak
menyangka akan informasi itu.
“Ya. Dia hamil, dan dia ditinggalkan. Kay menangis, datang kepada Cakka,
berharap bisa memanfaatkan sikap tanggung jawab Cakka. Tetapi dia memperoleh
yang sebaliknya, dia marah besar, semua itu sudah berada di luar batas
toleransi Cakka. Sayangnya Kay memilih waktu yang salah ketika mengaku, dia
sedang berada di dalam mobil bersama Cakka, dan kemudian mereka mengalami
kecelakaan.”
Shilla teringat berita yang dibacanya, bahwa Kay adalah seorang
model yang kemudian berhenti setelah sebuah kecelakaan...
“Kay keguguran. Dan kakinya dinyatakan lumpuh, tidak bisa berjalan
lagi selamanya. Cakka seperti yang kau tahu merasa sangat bersalah dan kemudian
mengambil seluruh tanggung jawab terhadap Kay, dia melanjutkan pertunangan itu.
Melanjutkan rencana pernikahan itu meskipun hatinya luar biasa pedihnya.
Seluruh perasaan yang pernah dimilikinya bersama Kay tentu saja sudah musnah,
tetapi dia tetap berusaha menjalani apa yang sudah dijanjikannya, dan dia
berusaha tetap setia.”
Oh Ya ampun. Kasihan Cakka. Itulah hal yang pertama terlintas di benak Shilla. Kasihan Cakka...
lelaki itu sekali lagi memikul tanggung jawab yang bertentangan dengan hati
nuraninya.
Alvin tersenyum kecut melihat ekspresi Shilla, “Kau merasa kasihan
kepadanya bukan? Begitupun aku? Cakka hidup dengan menanggung beban karena
kebaikan hatinya dan aku selalu menentang pertunangannya dengan Kay karena aku
tidak mau dia menderita.... Apalagi ketika kemudian dia bertemu kau, Shilla.”
Alvin memajukan tubuhnya, “Kau pasti tahu dan merasakan bahwa Cakka
benar-benar mencintaimu, dia tidak pernah selembut itu dengan perempuan
manapun. Dulu dia begitu dingin, tenang dan pandai menutupi perasaannya, tetapi
kepadamu dia sepertinya tidak bisa menahan diri.” Alvin mengamati Shilla, “ Kau
pasti tidak tahu bahwa Cakka mempunyai rumah sendiri, sebuah rumah mewah di
daerah elite yang sangat sejuk dekat dengan kantor pusat perusahaannya. Tetapi
sejak bertemu denganmu, dia memilih untuk selalu pulang ke apartemen di atas
cafe yang sederhana yang jauh dari kantornya, selarut apapapun dia pulang dia
selalu berusaha ke sana. Hanya supaya dia bisa berdekatan denganmu.”
Mata Shilla terasa panas ketika dia mengingat kebaikan dan
kelembutan hati Cakka kepadanya, melihat betapa sedihnya lelaki itu ketika
pertengkaran mereka di cafe. Oh astaga, dia tidak tahu kalau seperti ini
kisahnya. Kalau saja dia tahu...
Kalau saja dia tahu dia akan berbuat apa? Tidak mungkin kan dia
menerima cinta Cakka dan membuat Cakka meninggalkan Kay? Batin mereka berdua
pasti akan sama-sama tersiksa, berbahagia di atas penderitaan perempuan lain.
Alvin menghela napas panjang, “Sekarang kalian sudah tidak perlu
bingung lagi. Aku sudah mengatasi Kay.”
Shilla menatap bingung ke arah Alvin, “Mengatasi Kay? Apa
maksudmu?”
Alvin menatap Shilla
dengan pedih, “Aku sadar bahwa selama ini aku egois, membiarkan Cakka
menanggung semuanya, aku hampir sama jahatnya seperti Kay, mengetahui kelemahan
Cakka adalah kebaikan hatinya, dan aku memanfaatkannya... Tetapi ketika hari
itu aku melihat betapa menderitanya Cakka, aku tidak tahan. Aku ini adiknya dan
adik macam apa yang bisa membiarkan kakaknya menderita padahal tahu bahwa dia
bisa berbuat sesuatu?”
“Maksudmu....?” Shilla bertanya-tanya, akan kemana arah dari
kata-kata Alvin itu.
“Yang dicintai Kay sebenarnya adalah aku. Aku tahu persis itu
sejak awal mula.” Alvin terkekeh, “Aku mendatangi Kay pagi ini dan menawarkan
pertunangan, berpura-pura mencintainya dan memintanya meninggalkan Cakka.
Perempuan itu langsung menyambarnya bagaikan ikan hiu yang kelaparan.”
“Astaga Alvin? Kenapa kau melakukan itu?”
“Karena aku menyayangi Cakka, sejak kecil dia selalu menjaga dan
melindungiku, bahkan sampai dewasapun dia selalu melakukannya. Sekarang
giliranku untuk membuatnya bahagia.”
“Tetapi kau tidak benar-benar mencintai Kay..”
“Tidak apa-apa.” Alvin tersenyum, “Aku sudah mengambil seluruh
jatah kebahagiaanku di muka, sekarang giliran Cakka yang mendapatkannya.”
⧫⧫⧫
Sepeninggal Alvin, Shilla masih merenung kebingungan. Pada
akhirnya dia memberanikan diri, menelepon nomor Cakka.
“Halo Shilla?” pada deringan pertama telepon itu langsung
diangkat, seolah-olah Cakka memang sedari tadi duduk merenung menatap
ponselnya.
“Cakka.” Shilla memejamkan matanya, merasa bersalah ketika
mendengar nada letih di suara Cakka, lelaki itu menanggung beban berat
karenanya, “Aku... bisakah aku ke cafe? Aku ingin bicara.”
Lanjutinnn lagiiii
BalasHapusLanjut pleaseee udah kepo banget nih sama ceritanya
BalasHapus